Menu Tutup

Dasar Hukum Menikah dalam Islam

Dasar disyariatkana perkawinan terdapat firman Allah dalam Al- Qur’an, diantarana QS. Ar-rum ayat 21

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS: Ar-rum : 21)[1]

Berdasarkan ayat diatas, bahwa perkawinan memang mempunyai dasar hukum yang bersumber dari firman Allah SWT yaitu Al-qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW, jelas bahwa Islam mensariatkan adanya perkawinan yang diriwayatkan dari Abdullah ibn Mas’ud RA yang berbunyi:

“Dari Abdullah Ibn Mas’ud berkata: Rasululah telah bersabda kepada kami; Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah, maka menkahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapayang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa dapat menekan hawa nafsu” (Muttafaqun ‘Alaih)

Sebagai umat yang menjalankan perintah Allah dan Rasulnya, maka menurut adanya kepatuhan, rasa cinta dan keimanan kepada Allah dan Rasulnya. Adapun dasar huku perkawinan dalam Islam adalah bersumber daridalil Al-qur’an surat An-nahl ayat 72:

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucucucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS An-nahl : 72)[3]

Berdasarkan ayat diatas jelaslah bahwa perintah atau anjuran menikah adalah perintah Allah dan menjadikan sesuatu itu dengan berpasang-pasangan, dengan adanya perkawinan maka Allah akan memberikan rizki atau karunia kepada manusia yang dianggap baik untuk menerimanya.

Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula dorongan seorang perempuan dalam memilih laki-laki untuk pasangan hidupnya. Hal ini dijelaskan Nabi dalam hadisnya yang berbunyi:

“Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: ”Wanita dinikahi karena empat hal, karena hartanya, keturunanya, kecantikanya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, maka kamu akan beruntung” (Muttafaqun alaih)

Yang    dimaksud     agama     disini    adalah     kesungguhanya     dalam menjalankan ajaran agamanya, ini dijadikan pilihan utama karena itulah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika dapat lenyap dan kecantikan suatu ketika dapat pudar. Dari hadis diatas adanya kebolehan seseorang untuk menikah dengan melihat dari latar belakang kekayaan pasanganya tetapi itu bukanlah anjuran yang utama dianjurkan oleh Rasulullah.

Segolongan Fuqoha yakni jumhur berpedapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah berpendapat bahwa nikah itu wajib bagi sebagian untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainya dan mubah untuk golongan lainya. Demikian menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya. Ulama Syafi’I mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, disamping adanya sunnat, wajib, haram dan makruh.[5]

  1. Fardu, hukum nikah fardu pada kondisi seseorang yang mampu biaya wajib nikah yakni biaya nafkah dan biaya mahar dan adanya percya diri bahwa dia dapat mengakaan keadilan dalam pergaulan dengan istri ykni pergaulan dengan baik.
  2. Wajib, hukum wajib menikah bagi seseorang yang memiliki kemampuan biaaya nikah, mampu mengakan keadilan dalam pergaulan dengan istri yang dinikahinya, dan ia mempunyai dugaan kut akan melakukan perzinaan apabila tidak menikah.
  3. Haram, hukum nikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiyayaan jika ia menikah.
  4. Makruh, nikah makruh bagi orang yang dalam kondisi campuran.seseorang mempunyai kemampuan serta biaya nikah dan tidak dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi penganiyaan istri yang tidaksampai ketingkat yakin.[6]

[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, h. 407

[2] Ibn Hajar Al-Asqolani, Bulughul Maram, terjemah Izzudin Karimi (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2014), h. 398

[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, h.275

[4] Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin jilid II,terjemahan Asmuni (Bekasi: PT Darul Falah, 2013), h.299

[5] Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 18.

[6] Abdulaziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,

(Jakarta: Amza, 2009), h.46.

Baca Juga: