Salah satu keunikan fiqih muamalat adalah hari ini kita menemukan banyak jenis akad baru yang belum pernah ada sebelumnya. Maksudnya, akad seperti itu tidak pernah ada contohnya di masa kenabian, shahabat, tabi’in, atbaut-tabi’in, bahkan sampai menjelang abad ke-14 hijriyah pun belum kita temukan adanya akad tersebut.
Sebagian kalangan menamakan akad yang semacam itu dengan istilah : ghairu musamma (غير مسمى), yang secara harfiyah maksudnya kira-kira akad-akad yang belum terpetakan sebelumnya.
Karena belum terpetakan, maka juga belum punya status hukum yang pasti, apakah halal atau haram. Dan semakin menjadi unik karena ada kaidah baku dalam fiqih muamalah bahwa segala sesuatu itu pada dasarnya halal sampai ada dalil atau qarinah yang secara tegas mengharamkan-nya.
Oleh sebagian kalangan kemudian ditetapkan bahwa bila kita menemukan akad-akad yang masih belum berstatus resmi maka hukumnya halal, karena tidak ada larangannya.
Mereka memandang bahwa akad pada bank itu termasuk akad ghairu musamma (عير مسمى). Maksudnya akad-akad pada bank sama sekali tidak ada rujukannya di masa kenabian.
Bukan Pinjaman
Ketika kita ‘menabung’ di bank, dari nama akadnya saja sudah jelas bahwa bank tidak meminjam uang dari kita. Dan secara nalar pun kita tidak pernah berkata,”Wahai bank, Aku pinjamkan uang milikku kepada mu agar aku dapat manfaat”.
Bahkan dari segi motif mengapa kita menyimpang uang di bank, rata-rata judulnya kita menitipkan uang agar disimpan dengan aman. Tidak kita taruh di bawah bantal atau kolong tempat tidur. Maka pada dasarnya akad ini bukan akad pinjam uang, tetapi akad titip uang alias wadi’ah.
Tidak Sepenuhnya Titipan
Namun dibilang wadi’ah secara 100% pun tidak juga. Sebab dalam wadi’ah, namanya kita titip, seharusnya kita bayar kepada bank, atau setidaknya gratis kalau judulnya menolong. Tapi lagi-lagi bank tidak pernah berniat menyimpankan uang kita dengan niat menolong. Sama sekali tidak, sebab bank bukan lembaga kemanusiaan yang kerja untuk sosial.
Bank adalah sebuah perusahaan, yang melakukan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Jadi seharusnya ketika kita meminta jasa bank untuk menyimpankan uang kita, kita bayar kepada bank.
Namun coba perhatikan, alih-alih kita bayar kepada bank, justru bank malah membayar kita. Wadi’ah macam mana lagi ini? Menitipkan harta kok kita malah dapat uang? So, tidak wadi’ah-wadi’ah amat kan?
Jadi kalau pinjam uang bukan, wadi’ah banget juga bukan, lantas apa nama akad ‘menabung uang di bank’?
Tidak Matching Dengan Akad Manapun
Para ulama sepanjang sejarah telah memetakang akad-akad muamalah yang diharamkan. Setidaknya ada 25 jenis akad yang dikenal sejak masa kenabian, dimana statusnya haram.
Namun menabung di bank lalu dapat keuntungan ini tidak masuk ke dalam salah satu pun dari ke-25 akad yang diharamkan. Tidak ada satu pun akad haram yang bisa dimasukkan ke dalam salah satunya.
Kira-kira ini akad jenis ke-26 yang belum pernah terpetakan sama sekali sebelumnya, di luar dari ke-25 haram sebelumnya.
Kalau tidak punya status, tentu tidak bisa dibilang haram. Karena belum cukup syarat untuk mengharamkan. Kalau cuma dititip-titipkan ke akad al-qardh jarra manfaah sih bisa saja, tapi ya itu tadi, statusnya masih belum presisi 100%, karena tidak sepenuhnya tepat juga.
Akad Tamwil Paling Mendekati
Syeikh Ali Jum’ah, mufti Darul Ifta’ Mesir kemudian menyebutkan bahwa akad ini 100% akad modern, yang paling mendekati adalah akad istitsmar atau istilah lainnya akad tamwil, yaitu investasi atau penyertaan modal.
Dan akad istitsmar atau tamwil ini memang pada umumnya bukan termasuk akad yang diharamkan sejak masa kenabian.
Sebaliknya justru Islam sangat menganjurkan agar harta itu seharusnya diputar dalam denyut nadi ekonomi dan jangan dibiarkan bertumpuk terpendam. Hikmah lainnya agar harta itu tidak terkena zakat.
Sumber: Ahmad Sarwat, Lc., MA, Hukum Bermuamalah Dengan Bank Konvensional, Rumah Fiqh Indonesia