Menu Tutup

Akad Penggunaan Kartu Kredit

Metode pembayaran dengan kartu kredit bisa dikatan merupakan hal yang baru dalam konsep dunia ‘pertransaksian’. Bagaimana tidak, jangankan di era lahirnya Islam, di era kemerdekaan Indonesia pun belum dikenal istilah yang namanya Credit Card (CC) atau kartu kredit.

Tapi ternyata, di zaman sekarang ini, kartu kredit sudah sangat populer dan semakin banyak ‘penikmatnya’, khususnya di Indonesia. Kemana pun orang-orang pergi, banyak diantara mereka yang tersimpan kartu kredit di dalam dompetnya.

Karena membawa kartu kredit memang jauh lebih simpel dan ringan ketimbang membawa uang cash atau tunai di saat bepergian atau pun belanja. Bayangkan, dengan selembar kartu yang berukuran relatif kecil dan tipis, bisa digunakan untuk beragram transaksi pembelian atau pembayaran. Mudah, simpel dan praktis bukan ?

Betul, namun disamping simplicity kartu kredit, sebagai pribadi yang beragama, mau tidak mau kita harus dan wajib mempertimbangkan dan memperhatikan bagaimana status atau pandangan agama terkait penggunaan kartu kredit, halal kah? Atau justru haram?

Kafalah

Dalam kaca mata hukum fiqih akad kafalah dibolehkan. Adapun definisi secara bahasa adalah :

الكفالة لغة الضم

“al-Kafalah secara bahasa berarti menggabung (menghimpun, menyatukan, mengumpulkan).”[1]

Dalil bahwa konsep kafalah ini dibolehkan dalam syara antara lain :

وَلمَن جَاءَ بهِ ۦ حِِۡلُ بعير وَأ انَ  بهِ ۦ زعِيم

Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.(QS> Yusuf : 72)

Ibnu Abbas menafsirkan bahwa yang dimaksud zaim adalah kafil.[2]

Untuk pengertian secara bahasa, para ulama berbeda pendapat, hal  ini dikarenakan adanya implikasi atau atsar yang berbeda-beda yang timbul dalam praktik kafalah. Tetapi paling tidak semuanya seragam dalam memaknai bahwa praktik kafalah adalah praktik jamin-menjamin.

الكفالة : يه ضم ذمة الكفيل إلى ذمة الأصيل  يف المطالبة  

“Menyatukan kewajiban untuk menenuhi tuntutan terjamin dengan penjamin.”[3]

Berarti kaitannya dengan kartu kredit, yang bertindak sebagai penjamin adalah bank penerbit kartu (Issuer), yang yang menjadi terjamin adalah si pemegang kartu (Card Holder/User).

Menjamin dalam hal apa? Ya menjamin dalam hal semua pembayaran transaksi yang dilakukan oleh si pemegang kartu. Kemudian terjamin dalam hal apa? Ya terjamin dalam hal terselesaikannya proses pembayaran transaksi yang dilakukan.

Jadi ketika seseorang memiliki kartu kredit, bisa dibilang, dia tidak perlu khawatir ketika butuh dan ingin membeli sesuatu tapi tidak punya uang, tinggal pergi saja ke  toko atau pusat perbelanjaan di mana dia bisa membeli barang-barang yang dibutuhkan, kemudian memilih, lalu mengambilnya, dan terakhir bawa ke kasir, gesekkan kartu kredit, dan barang yang dibutuhkan sudah menjadi milik anda.

Memang, ada kendala di mana kita tidak bisa menggunakan kartu kredit disembarang toko atau  pusat perbelanjaan, hanya lokasi-lokasi yang menyediakan layanan pembayaran dengan kartu kredit lah yang bisa kita datangi.

Makanya, ketika anda lapar dan anda ingin makan bakso atau pangsit, jangan datangi tukang bakso/pangsit pinggir jalan, karena mustahil mereka para pedagang seperti itu memberikan layanan pembayaran dengan kartu kredit.

Tetapi datang lah ke restoran-restoran yang besar yang menyediakan menu bakso atau pangsit , seperti di mall-mall dan pusat perbelanjaan modern, di mana sudah banyak restoran-restoran seperti itu yang menyediakan layanan atau opsi pembayaran dengan kartu kredit. Bahkan bukan tidak mungkin anda akan mendapatkan promo berupa diskon potongan harga apabila anda melakukan pembayaran dengan kartu kredit.

Qardh

Yang dimaksud qardh di sini adalah pinjaman. Setiap pengguna kartu kredit pada dasarnya mendapatkan pinjaman sejumlah uang dengan batasan atau plafon tertentu sesuai dengan jenis kartu yang dimiliki.

Semakin tinggi jenis atau level kartu yang dimiliki, semakin tinggi pula plafon dana yang diberikan oleh bank penerbit kartu tersebut.

Sebagai pemberi pinjaman, bank (Issuer) disebut sebagai muqridh dalam istilah fiqihnya, sedangkan pengguna (Card User) disebut sebagai muqtaridh.

Akad seperti ini dibolehkan dalam islam, karena mengandung unsur tolong-menolong, dan bahkan dianjurkan. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits :

عَنْ أبِ هُريْ رةَ رضِي اللهُ عَنْهُ، عَنِ الن يبِ صَلى اللهُ عَليْهِ وَسَلمَ قالَ :  مَنْ ن فَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُربةً مِنْ كُربِ الدُّنْ يا ن فَّسَ اللهُ عَنْهُ كُربةً مِنْ كُربِ ي وْم القِيامَةِ، وَمَنْ يسَّرَ عَلى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَليْهِ فِ الدُّنْ يا وَالآخِرةِ، وَمَنْ سَتَََ مُسْلماً سَتََهُ اِللهُ فِ  الدُّنْ يَا وَالآخِرةِ وَاللهُ فِ عَوْنِ العَبْدِ مَا كانَ العَبْدُ فِ عَوْن أخيِْ ه

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya di Hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya.”[4]

Ijarah

Lafaz ijarah jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti sewa/penyewaan. Nah, umumnya yang menjadi objek penyewaan adalah barang yang konkret, kelihatan mata wujud bendanya.

Tetapi ternyata dalam praktik ijarah atau sewa ini, tidak hanya terbatas pada benda-benda yang wujud atau bentuknya bisa dilihat, seperti rumah, mobil, gedung untuk resepsi pernikahan, dan sebagainya.

Karena pada dasarnya yang menjadi objek sewamenyewa adalah kemanfaatan yang kita terima atau rasakan. Ketika menyewa rumah, maka manfaat yang dirasakan adalah bisa menempatinya sehingga kita terlindung dari panas dan hujan; mobil, manfaatnya adalah sebagai alat transportasi yang membantu aktivitas kita.

Nah, dalam kartu kredit pun demikian adanya, ijarah atau sewa-menyewa yang terdapat dalam praktik penggunaannya adalah bahwa bank menyediakan jasa pelayanan berupa kemudahan pembayaran dari transaksi-transaksi yang dilakukan.

Oleh karena itu, maka setiap pengguna diwajibkan membayar fee atau biaya kepada bank sebagai bentuk timbal balik atau  feedback. Dan mengenakan  biaya tersebut dibolehkan dalam pandangan syara’.

وَٱلۡوََٰلدََٰتُ  ي رۡضِعۡنَ أوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡليِۡۡ كَامِل ِۖيِۡۡ لمَنۡ أرادَ أن يتمَّ  ٱلرضَاعَ  ةَ  وَعَ لَى  ٱلۡمَوۡلودِ   لهُ ۥ  رزۡقُ هُنَّ وكسۡوَتُُُنَُّۢ  بِٱلۡمَعۡرو  فِ لََ تكَلَّفُ ن فۡسٌ إلََّ وُسۡعَهَ ا لََ تضَارَّ وََٰلدَةُ بوَلدِهَا ولََ  مَوۡلود لهُ ۥ بوَلدِهِ ۦ  وَعَلى ٱلۡوَارثِ  مِثۡلُ ذََٰلِكََۗ فِإنۡ أرادَا فصَالًَ عَن تَ راض يمنۡ هُمَا وَتشَاور فلََ جُناحَ عَليۡهمَاَۗ وَإنۡ أرَدتُُّّۡ أن تسۡتََۡضِعوٓاْ أوۡلَٰدكُمۡ فلََ جُناحَ عَليۡكُمۡ إذَا سَلمۡتم مَّ  آ ءاتَ يۡ تم  بِٱلۡمَعۡروفَِۗ   وَٱت قُو اْ ٱلَّلَّ   وَٱعۡ لَمُوٓ اْ أنَّ ٱلَّلَّ  بِا تَ عۡمَلونَ بَصِير

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.”( QS. al-Baqarah : 233)

Dalam ayat di atas jelas sekali bahwa dulu di zaman nabi, seorang ayah boleh memanfaatkan ‘jasa penyusuan anak’ apabila si ibu sudah tidak menyusuinya lagi. Dan sebagi imblalan jasa yang diberikan, si bapak wajib membayarkan sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan.

[1] . Kementerian Wakaf dan Urusan Islam-Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah alKuwaitiyah, vol.17, hlm.299

[2] . Dr. Musthofa Bugho – Syekh Dr. Musthofa Al-Khin – Syekh Ali Asy-Syurbaji, al-

Fiqh al-Manhaji, vol.7, hlm.144

[3] . Muhammad Amim al-Ihsan al-Barkati, al-Ta’rifat al-Fiqhiyyah, hlm.182

[4] . HR. al-Bukhari dan Muslim

Sumber: Fayad Fawaz, Kartu Kredit Syariah, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018.

Baca Juga: