Terdapat banyak sekali tarekat, ada tarekat-tarekat yang merupakan induk, diciptakan oleh tokoh-tokoh tasawwuf ‘Aqidah, dan ada tarekat-tarekat yang merupakan perpecahan daripada tarekat induk itu, sudah dipengaruhi oleh pendapat Syeikh-Syeikh tarekat yang mengamalkan di belakangnya atau oleh keadaan setempat, keadaan bangsa yang menganut tarekat-tarekat itu.
Banyak di antara perpecahan tarekat-tarekat itu disusun dalam atau diberi istilah-istilah yang sesuai dengan tempat perkembangannya. Tarekat Naksyabandi misalnya banyak ditulis orang dalam bahasa dan memakai istilah-istilah Persi.[1] Berikut adalah sebagian thoriqoh dalam Islam:
Thoriqoh Qodariyah
Qodariyah adalah nama thoriqoh yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Abd al-Qodir Jilani. Thoriqoh ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas Islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi thoriqoh tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang thoriqoh di dunia Islam.[2]
Pada awalnya beliau adalah seorang ahli fiqh yang terkenal dalam madzhab Hambali, kemudian setelah beralih kegemarannya pada ilmu tarekat dan hakekat menunjukkan keramat dan tanda-tanda yang berlainan dengan kebiasaan sehari-hari.[3]
Pada dasarnya ajaran Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani tidak ada perbedaan yang mendasar dengan ajaran pokok Islam, terutama golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebab, Syaikh ‘Abd al-Qadir adalah sangat menghargai para pendiri mazhab fikih yang empat dan teologi Asy’ariyah. Dia sangat menekankan pada tauhid dan akhlak terpuji. Menurut al-Sya’rani, bahwa bentuk dan karakter Tarekat Syaikh Abdul Qadir Jilani adalah tauhid, sedang pelaksanaannya tetap menempuh jalur syariat lahir dan batin.[4]
Menurut Syaikh ‘Ali ibn al-Hayti menilai bahwa tarekat Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani adalah pemurnian akidah dengan meletakkan diri pada sikap beribadah, sedangkan ‘Ady ibn Musafir mengatakan bahwa karakter Tarekat Qadiriyah adalah tunduk di bawah garis keturunan takdir dengan kesesuaian hati dan roh serta kesatuan lahir dan batin. Memisahkan diri dari kecenderungan nafsu, serta mengabaikan keinginan melihat manfaat, mudarat, kedekatan maupun perasaan jauh.[5]
Adapu ajarann spiritual Syaikh abd al-Qadir berakar pada konsep tentang dan pengalamannya akan Tuhan. Baginya, Tuhan dan tauhid bukanlah suatu mitos teologis., melainkan merupakan sebuah pribadi yang kehadiran-Nya merangkuh seluruh pengalaman intelektual dan estetis seorang manusia.[6]
Thoriqot Naqsabandiyyah
Istilah Naqsabandiyah pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi, yang juga sekaligus sebagai pendiri Tarekat Naqsabandiyah. Terakat Naqsabandiyah adalah satu-satunya tarekat terkenal yang silsilah penyampaian ilmu spritualnya kepada Nabi Muhammad saw.
Melalui penguasa Muslim pertama yakni Abu Bakar Shidiq , tidak seperti tarekat-tarekat sufi terkenal lainnya yang asalnya kembali kepada salah satu imam Syi’ah, dan dengan demikian melalui Imam ‘Ali, sampai Nabi Muhammad SAW.
Tariqat Naqshbandiyah terbina asas dan rukunnya oleh 5 bintang yang bersinar diatas jalan Rasulullah (s.a.w) ini dan inilah yang merupakan ciri yang unik bagi tariqat ini yang membezakannya daripada tariqat lain. Lima bintang yang bersinar itu ialah Abu Bakr as-Siddiq,Salman Al-Farisi,Bayazid al-Bistami,Abdul Khaliq al-Ghujdawani dan Muhammad Bahauddin Uwaysi a-Bukhari yang lebih dikenali sebagai Shah Naqshband – Imam yang utama didalam tariqat ini.[7]
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.
Thoriqoh Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhamma al-Tijani (1150-1230 H/1737-1815 M) yang lahir di ‘Ain Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syaikh Ahmad Tijani diyakini kaum Tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat, karena didukung oleh faktor genealogis, tradisi keluarga, dan proses penempaan dirinya.[8]
Tarekat Tijaniyah ini mempunyai wirid yang sangat sederhana, dan wazifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari istighfar seratus kali, shalawat seratus kali, dan tahlil seratus kali. Boleh dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore, pagi sesudah sembahyang Subuh sampai sembahyang Dzuha, sore sesudah sembahyang Ashar sampai sembahyang Isya’. Wazifahnya terdiri dari “astaghfirullah al-adzim alladzi la ilaha illa huwal hayyul qayyum” (saya minta ampun kepada Allah, yang tidak ada Tuhan melainkan Dia, Ia selalu hidup dan mengawasi), sebanyak tigapuluh kali, kemudian dibaca shalatul fatih, yang berbunyi “Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad al-fatihi lima ughliqa, wal khatimi lima sabaqa, nasirul haqqi bil haqqi, wal hadi ila shiratil mustaqim, wa ala alihi haqqa qadrihi wa miqdarihil adzim (Ya, Tuhanku! Berikanlah rahmat kepada penghulu kami Muhammad, yang terbuka baginya apa yang tertutup, yang menjadi penutup bagi semua yang sudah lampau, pembantu kebenaran dengan kebenaran, orang yang menunjuki kepada jalan yang benar, begitu juga atas keluarganya sekadar yang layak dengan kadar yang besar) lima puluh kali, dan bacaan “la ilaha illallah” (tidak ada Tuhan melainkan Allah) seratus kali, kemudian barulah ditutup dengan do’a yang dinamakan Jauharatul kamal, sebanyak dua belas kali, didapat dalam kitab “Fathur Rabbani”, pada halaman enam puluh. Sebenarnya pembacaan wazifah ini boleh petang hari tapi yang baik adalah pada malam harinya, sekurang-kurangnya dua kali, pagi dan sore. Khusu pada hari Jum’at, terdiri dari dzikir tahlil dan Allah, Allah, sebanyak yang tidak ditentukan sejak sudah sembahyang Ashar sampai terbenamnya matahari.[9]
[1] Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik), (Aceh: Ramadhani). hlm. 303.
[2] Sri Mulyati, dkk, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia,…. hal 26
[3] Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat…. hal 308
[4] Sri Mulyati,Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia,…. hal 36
[5] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia,….hal 37
[6] Sri Mulyati,Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia,…. hal 38
[7] Anonim. http//:sufimuda.blogspot.com/naqsabandiyah. Di akses pada tanggal 19 November 2016.
[8] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia,…. hlm. 224.
[9] Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik) hlm. 375-376.