Menu Tutup

Aliran Asy’ariyah: Pengertian dan Doktrin Ajaran

Pengertian

Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al Asy’ari. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan de- mikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.

Abu Hasan Al Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan me- ninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.

Al Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan te- lah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan anta- ra dirinya dengan Al Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).

Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keya- kinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya me- nunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.

Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadis.

Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al Asy’ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hu- bungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.

Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada Dinasti Bani Saljuk dan seolah menjadi akidah resmi negara.

Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasahAn Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia.

Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al Ayyubi. Pandangan Asy’ariyah juga didukung fuqaha mazhab Asy Syafi’i dan mazhab Al Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy’ariyah ini adalah akidah yang paling pop- uler dan tersebar di seluruh dunia.

Diantara tokoh aliran Asy’ariyah adalah, Abu Hasan Al Asy’ary, Imam Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M), Imam Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210), Abu Ishaq Al Isfirayini (w 418/1027), Abu Bakar Al Baqilani (328-402 H/950-1013 M), dan Abu Ishaq Asy Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M.

Doktrin Ajaran

  • Sifat-sifat

Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman disebut di dalam Al-Qur’an, yang di sebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri di atas zat Tuhan. Sifat- sifat itu bukanlah zat Tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.

  • Al-Qur’an.

Menurutnya, Al-Qur’an adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.

  • Melihat

Menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.

  • Perbuatan

Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan Tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia itu sendiri.

  • Keadlian Tuhan

Menurutnya, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak Tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa atas segalanya.

  • Muslim yang berbuat

Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin.

Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al Ghazali meyakini bahwa:

  • Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar
  • Al-Qur’an bersifat qadim
  • Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
  • Tuhan dapat dilihat
  • Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul

Baca Juga: