Menu Tutup

Aliran Mu’tazilah: Pengertian dan Doktrin Ajaran

Pengertian

Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya “memisahkan diri”. Mu’tazilah adalah salah satu aliran pemikiran dalam Islam yang banyak terpengauruh dengan filsafat barat sehingga berkecenderungan menggunakan rasio sebagai dasar ar- gumentasi.

Latar belakang munculnya Aliran Mu’tazilah adalah sebagai respon persoalan teolo- gis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tah- kim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.

Pada mu- lanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan Al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.

Tokoh aliran Mu’tazilah diantaranya adalah Washil bin Atha’, Abu Huzail Al Allaf, Al Nazzam, Abu Hasyim Al Jubba’i.

Doktrin Ajaran

  • Al Tauhid (keesaan Allah)

Ini merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan ten- tang mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah sub- stansi Dzatnya sendiri serta Al Qur`an adalah makhluq.

Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip pandan- gan al-Asy’ari yang menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan Tauhid seb- agai berikut:

“Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang (syakhs), bukan jauhar, bukan pula aradh, tidak berlaku padanya, tidak mungkin mengambil tempat (ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluq yang menunjukkan ketidak azalian-Nya.

Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat dicapai pancaindera, tidak dapat dilihat mata kepala dan tidak bisa digambarkan akal pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hidup hanya Ia sendiri yang Qadim, dan tidak ada lainnya yang Qadim. Tidak ada yang menolong-Nya dalam menciptakan apa yang diciptakan-Nya dan tidak membikin makhluq karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.”

  • Al-‘Adl (keadlilan Tuhan)

Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak meng- hendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu. Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu (be- bas) dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya.

Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.

  • Al-Wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman)

Al-Wa’du Wal-Wa’id (janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam sur- ga, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah

  • Al-Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)

Secara harfiah, berarti posisi diantara dua posisi. Menurut Mu’tazilah maksud- nya adalah suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari pema- haman yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah Fasiq; tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, dia tidak berhak dihukumkan Mu’min dan tidak pula dihukumkan Kafir, begitu pula dihukum munafiq, karena sesungguhnya munafiq berhak dihukumkan kafir seandainya telah diketahui kenifaqkannya. Dan tidaklah yang demikian itu dihukumkan kepada pelaku dosa besar.

Amar ma’ruf nahi mungkar

Dengan berpegang kepada QS. Ali Imran; 104 dan QS. Luqman; 17, seperti halnya golongan lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat ja- hat adalah wajib ditegakkan. Dalam pandangan Mu’tazilah; dalam keadaan normal pelaksanaan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan.

Sumber: academia.edu

Baca Juga: