Menu Tutup

Apakah Berakhirnya Masa iddah Disyaratkan Mandi Wajib?

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama terkait iddah wanita dengan quru dengan pemahaman 3 kali haid. Apakah disyaratkan berakhirnya masa ‘iddah dengan mandi wajib atau cukup dengan meyakini bahwa darah sudah berhenti tanpa harus mandi wajib?

Al-Hanafiyah: Tidak Disyaratkan

Menurut pendapat Al-Hanafiyah dan Ats-Tsauri bahwasanya berakhirnya masa ‘iddah adalah dengan berhentinya darah pada haidh yang ketiga tanpa disyaratkannya mandi wajib terlebih dahulu, jika masa haidhnya adalah sepuluh hari.

Perlu di ingat kembali bahwasanya pada madzhab Al-Hanafiyah membatasi maksimal seorang wanita dikatakan haidh adalah sepuluh hari. Jadi ketika sudah mencapai sepuluh hari dapat dipastikan darah haidh akan berhenti, dan apabila setelah sepuluh hari itu ia masih melihat darah maka tidak dapat di hukumkan saat itu adalah darah haidh sehingga dikatakan ia telah berada dalam keadaan suci.

Sehingga menurut madzhab ini ketika masa haidh yang ketiga berakhir maka tidak boleh seorang wanita diruju’ oleh suaminya kembali dan telah halal bagi wanita tersebut untuk menikah lagi

Adapun jika masa haidh seorang wanita kurang dari sepuluh hari, maka sesungguhnya ia masih berada dalam masa ‘iddah selama ia belum mandi wajib, sehingga diperbolehkan baginya untuk ruju’(kembali) kepada suaminya dan saat itu belum boleh untuk menikah dengan orang lain. Tapi jika sudah mandi wajib dianggap telah habis masa iddahnya.

Pendapat ini disandarkan pada dalil-dalil berikut:

“…Dan janganlah kamu dekati mereka sebelum mereka suci…”(QS.Al-Baqarah:222)

Yang dimaksud suci disini ialah setelah mandi wajib sehabis haidh.

Dari Nabi Saw, bahwasanya beliau bersabda: “ Halal (boleh) bagi suami kembali kepada istrinya (ruju’) sampai dia mandi dari haidhnya yang ketiga”(HR. Abdur Razaq)

Hadits diatas diriwayatkan oleh Abdur Razaq di dalam mushannif, hadits ini mauquf hanya sampai pada shahabat Umar dan Ali radhiyallahu ‘anhuma.

Dalil Ijma’

Seluruh shahabat radhiyallahu ‘anhum telah sepakat untuk menjadikan mandi sebagai syarat berakhirnya masa ‘iddah.

Sebagaimana terdapat sebuah riwayat dari Makhul bahwasanya Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu mas’ud, Abu Darda’, ‘Ubadah bin Shamit, dan Abdullah bin Qais Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhum mereka berkata bahwasanya seorang laki-laki yang mencerai istrinya dengan satu kali thalaq atau dua kali thalaq, maka dia lebih berhak terhadap istrinya selama si istri belum mandi wajib dari haidhnya yang ketiga, istri masih berhak terhadap harta warisan suami dan suami pun juga berhak terhadap harta istri selama masih berada dalam masa ‘iddah.

Para shahabat radhiyallahu ‘anhum dalam hal ini juga telah sepakat dalam satu kata untuk menjadikan mandi sebagai syarat berakhirnya masa ‘iddah wanita.

Dalil akal.

Sesungguhnya darah haidh jika kurang dari sepuluh hari maka belum bisa dipastikan darah telah benar-benar berhenti, karena bisa jadi darah haidh akan kembali datang dan terulang di sela-sela sepuluh hari tersebut, sehingga jika darah berhenti kurang dari sepuluh hari, maka belum bisa dipastikan seorang wanita dikatakan suci karena sucinya dalam keraguan, kemungkinan benar-benar suci tapi kemungkinan akan haidh lagi, sehingga ia tetap dikatakan dalam masa ‘iddah.

Tetapnya seorang wanita dalam masa ‘iddah inilah yang bisa ditetapkan secara yakin ketika dia haidh kurang dari sepuluh hari bukan sucinya, dan menetapkan sesuatu dengan sebuah keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan

Oleh karena itu, apabila seorang wanita telah mandi wajib, maka habislah masa ‘iddahnya dan habis masa ruju’(kembali) dengan suaminya, karena sudah tetap baginya hukum sebagaimana hukum orang-orang yang sudah bersuci, yaitu dengan kembali diperbolehkannya ia menunaikan sholat.

B. Al-Hanabilah: Di Syaratkan

Sedangkan menurut madzhab Al-Hanabilah dalam satu riwayatnya yang memahami makna quru adalah haid mengatakan bahwasanya berakhirnya masa ‘iddah dan diperbolehkannya seorang wanita untuk menikah lagi ialah di saat ketika ia telah mandi wajib dari haidhnya yang ketiga tanpa melihat berapa lama masa haidhnya.

Disini kemudian terjadi lagi perbedaan pendapat dikalangan mereka:

1. Pendapat Pertama (Harus Mandi Wajib)

Bahwa seorang wanita dikatakan masih dalam masa ‘iddah selama ia belum mandi wajib, maka seorang suami boleh meruju’ istrinya pada saat itu, dan tidak boleh orang lain menikahinya karena dia masih hak milik suaminya.

Hal ini didasarkan karena wanita tersebut masih belum boleh untuk shalat dikarenakan belum bersuci (mandi) maka tidak diperbolehkan pula saat itu untuk menikah, dan saat itu ia masih dikatakan orang yang haidh yang artinya masih dalam masa ‘iddah.

2. Pendapat Kedua (Tidak Harus Mandi)

Sedangkan pendapat kedua masih dari kalangan Hanabilah dalam salah satu qoulnya mengatakan bahwasanya ‘iddah akan berakhir dengan sucinya seorang wanita dari haidhnya yang ketiga dengan terhentinya darah haidh, ini adalah pendapat Abu Al-Khathab.

Pendapat ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala:

“ Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’…”(QS.Al-Baqarah:228)

Dari ayat di atas jelas bahwasanya setelah seorang wanita menjalani masa ‘iddah selama tiga kali quru’ (3 kali haid) secara sempurna maka berakhirlah masa ‘iddahnya.

Al-Qadhi Menambahkan: “Apabila kita syaratkan berakhirnya masa ‘iddah dengan mandi wajib, berarti ketika ia belum mandi boleh seorang suami meruju’ istrinya kembali dan bagi istri haram untuk menikah lagi. Sedangkan menurutnya seluruh hukum ‘iddah

akan berakhir dengan berhentinya darah haidh pada seorang wanita tanpa adanya syarat untuk mandi wajib terlebih dahulu.”

Referensi:

Vivi Kurniawati, Lc, Kupas Habis Hukum Iddah Wanita 2, Rumah Fiqih Indonesia, 2019.

Baca Juga: