Dari penjelasan sebelumnya tentang rukun tempat untuk I’tikaf, dapat disimpulkan bahwa para ulama sepakat akan tidak sahnya i’tikaf bagi laki-laki di dalam rumah.
Sedangkan untuk wanita, maka para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa hal itu tidak sah juga sebagaimana laki-laki. Sedangkan sebagian ulama seperti kalangan al-Hanafiyyah membolehkannya secara khusus untuk wanita. Namun dengan catatan, i’tikaf dilakukan di tempat khusus untuk shalat di salah satu sudut rumah.
Di samping itu, umumnya para ulama sepakat bahwa dianjurkan bagi setiap keluarga muslim untuk menyiapkan suatu tempat secara khusus di bagian sudut rumah mereka, untuk didirikannya beragam ibadah di dalamnya, khususnya ibadah shalat. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut:
Dari Mahmud bin ar-Rabi’ al-Anshari: Bahwa ‘Itban bin Malik selalu menjadi imam shalat bagi kaumnya. Dan pada suatu hari dia berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, sering terjadi malam yang gelap gulita dan jalanan becek sedangkan aku orang yang sudah lemah penglihatan. Untuk itu aku mohon shalatlah Tuan pada suatu tempat di rumahku yang akan aku jadikan tempat shalat. Maka Rasulullah saw mendatanginya di rumahnya. Beliau lalu berkata: “Mana tempat yang kau sukai untuk aku shalat padanya.” Maka dia menunjuk suatu tempat di rumahnya, Rasulullah saw kemudian shalat pada tempat tersebut.” (HR. Bukhari Muslim)
Lantas, apakah ada kemungkinan bagi kita untuk mendapatkan pahala i’tikaf di tengah wabah saat ini, di mana secara realitas kita tidak mampu melakukannya, karena masjid-masjid tidak beroperasi lagi selama wabah ini belum terangkat, atas dasar pilihan preventif untuk menghindari kerumunan masa di dalamnya?.
Wallahua’lam, secara faktual memang kita tidak bisa melakukan ibadah i’tikaf yang mensyaratkan berdiam diri di dalam masjid. Namun mungkin saja, kita bisa mendapatka pahalanya melalui niat yang kita azamkan di dalam hati untuk bisa beri’tikaf. Meskipin secara praktis hal itu tidak bisa dilakukan karena suatu kondisi uzur pandemik wabah saat ini.
Dan mudah-mudahan dengan niat tersebut, Allah menetapkan bagi kita pahala yang sama sebagaimana seorang yang bisa beri’tikaf di rumah-Nya yang mulia.
Dari Anas ra: Nabi – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dalam suatu peperangan pernah bersabda: “Sesungguhnya ada kaum yang berada di Madinah tidak ikut berperang bersama kita, tidaklah kita mendaki bukit, tidak pula menyusuri lembah melainkan mereka bersama kita (dalam mendapat) pahala berperang karena mereka tertahan oleh udzur (alasan) yang benar.” (HR. Bukhari Muslim)
Dari Abu Musa, ia berkata: Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Jika seorang hamba sakit atau bepergian (lalu beramal) ditulis baginya (pahala) seperti ketika dia beramal sebagai muqim dan dalam keadaan sehat.” (HR. Bukhari)
Sumber:
Isnan Ansory, Lc., M.Ag., I’tikaf, Qiyam al-Lail, Shalat ’Ied dan Zakat al-Fithr di Tengah Wabah, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2020.