Menu Tutup

Apakah Boleh Mengganti Puasa di Tahun Berikutnya atau Beberapa Tahun Kemudian?

Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu. Namun, ada beberapa hal yang dapat menghalangi seseorang untuk berpuasa, seperti sakit, haid, hamil, menyusui, dan lain-lain. Dalam hal ini, Allah SWT memberikan keringanan bagi mereka untuk mengganti puasa yang ditinggalkan di luar bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah ayat 185:

” … Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. .. .”

Namun, kapan batas akhir untuk mengganti puasa Ramadhan? Apakah boleh menundanya sampai tahun berikutnya atau bahkan dua-tiga tahun sesudahnya? Tentu saja hal ini tidak disarankan, karena mengganti puasa Ramadhan adalah sebuah kewajiban yang harus segera dilunasi. Selain itu, menunda-nunda qadha puasa juga dapat menyebabkan lupa, malas, atau meninggal sebelum sempat menggantinya.

Para ulama berbeda pendapat tentang batas akhir qadha puasa Ramadhan. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah, batas akhirnya adalah sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya. Jika tidak mengganti puasa sebelum Ramadhan datang lagi, maka ia berdosa dan harus membayar fidyah selain mengqadha puasanya. Hal ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang tidak mengqadha puasanya sebelum datang Ramadhan (berikutnya), maka tidak ada qadha baginya kecuali jika dia membayar fidyah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, batas akhir qadha puasa Ramadhan adalah tidak ada. Artinya, seseorang boleh mengganti puasa kapan saja selama ia masih hidup, baik itu setelah Ramadhan berakhir atau pada tahun-tahun berikutnya. Namun, ia tetap berdosa jika menundanya tanpa alasan yang syar’i. Hal ini didasarkan pada perbuatan Aisyah RA yang menunda qadha puasanya hingga bulan Syakban.

Dari Abu Salamah, ia pernah mendengar Aisyah RA berkata: “Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Syakban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari dua pendapat di atas, tampak bahwa pendapat ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah lebih kuat dan lebih aman untuk diamalkan. Sebab, dengan mengganti puasa sebelum Ramadhan datang lagi, kita dapat menjaga hak Allah SWT atas diri kita dan tidak menambah dosa karena menunda-nunda kewajiban. Selain itu, kita juga dapat mempersiapkan diri untuk menyambut bulan suci dengan hati yang bersih dan jiwa yang tenang.

Wallahu alam bisawab

Baca Juga: