Pada masa ini, perdebatan di bidang aqidah sudah sangat tajam. Kondisi ini terjadi karena kedaulatan Islam sudah mulai kokoh, sehingga umat Islam semakin leluasa untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran yang sebelumnya tidak disentuh. Masuknya pemeluk Islam yang berasal dari berbagai daerah yang masih membawa alam pikiran dari keyakinan sebelum memeluk Islam juga menjadi faktor perkembangan pemikiran kalam. Umat Islam mulai tertarik untuk mendiskusikan masalah qadar, begitu juga masalah istiṭa’ah.
Corak pemerintahan yang represif dari beberapa khalifah Bani Umayyah menyebabkan sebagian umat Islam bersikap apatis. Mereka beranggapan bahwa apa yang selama ini dialami oleh umat Islam pada hakikatnya sudah menjadi suratan taqdir. Corak pemikiran yang demikian ini sangat menguntungkan pihak pemerintahan. Maka paham ini dimanfaatkan pemerintah untuk melegitimasi segala kebijakannya. Tokoh yang memunculkan pemikiran ini adalah Jaham bin Abi Ṣufyān. Inilah yang kemudian dikenal dengan paham Jabariyah.
Pada akhirnya ada reaksi dari sebagian umat Islam yang menginginkan adanya perubahan. Mereka menandingi paham Jabariyah dengan memunculkan konsep teologi baru. Motor penggerak paham ini misalnya: Ma’bad al-Juhani, Ghailan ad- Dimasyqi, dan Ja’ad bin Dirham. Mereka inilah tokoh Qadariyah yang pertama.
Adapun sikap para sahabat yang masih hidup pada masa itu, misalnya: Ibnu Umar, Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah beserta sahabat lain, tidak mau terlibat dalam perdebatan tersebut dan bahkan menolaknya.
Pada masa Daulah Umayyah ini juga muncul pemikir yang cerdas yaitu Hasan al-Baṣri yang kemudian dijadikan rujukan oleh mayoritas Umat Islam dengan pendapatnya bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar dipandangnya sebagai orang fasik.