Menu Tutup

Argumentasi “Mazhabku Rasulullah”

Para penganut ‘madzhabku rasulullah’, -selain memiliki seruan-seruan yang tampak manis namun mengandung implikasi berbahaya seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya-, juga memiliki sejumlah argumentasi yang tampak kokoh bagi sebagian kaum muslimin.

Dengan seruan-seruan manis dan sejumlah argument yang tampak kokoh itulahmadzhab tanpa imam ini mampu menarik minat dan ketertarikan banyak sekali pengikut. Sebagian pengikutnya ada yang semakin larut dalam keyakinan madzhab ini, namun sebagian yang lain sudah ada yang terselamatkanoleh hidayah Allah subhanahu wa ta’ala.

Kalau dalam pembahasan sebelumnya sudah disampaikan seruan-seruan manisnya, maka pada bagian ini akan disajikan segala argumentasi mereka.

Nanti pada gilirannya akan sampai pada bagian khusus tentang kajian kritis atas argumentasiargumentasi tersebut.

Argumentasi-argumentasi itu antara lain ;

1. Ketaatan Hanya Untuk Allah dan Rasul

Salah satu nalar mereka yang tidak mau bermadzhab dengan madzhab-madzhab yang dikenal dalam Islam adalah karena mengikuti madzhab dianggap sebagai penyekutuan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah dan rasul-Nya tidak pernah memerintahkan kita mengikuti madzhab-madzhab. Allah hanya memerintahkan kita untuk mentaati-Nya. Jika ada selain-Nya yang kita taati dan yakini, maka itu tidak lain merupakan tandingan bagi syariat Allah subhanahu wa ta’ala.

Untuk memperkuat nalar ini, mereka melandaskan argumentasinya pada ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al Qur’an.

Ayat-ayat itu antara lain At Taubah ayat 31 (tentang ahlul kitab yang menjadikan para ulama dan rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah).

Kemudian ayat 36 surat Al Ahzab (tentang ketidaklayakan seorang mukmin untuk mencari pilihan pada saat Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan). Dan ayat-ayat lain tentang kewajiban taat kepada Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan ketaatan kepada madzhab dianggap sebagai ketaatan yang terlarang berdasarkan ayat-ayat di atas. Keterlarangan itu semakin besar jika ada ayat atau hadits yang dianggap sudah cukup jelas tapi masih mempertimbangkan dalam mengamalkannya atau bahkan lebih memilih pandangan madzhab yang tampak bertentangan dengan ayat atau hadits tersebut.

2. Hadits Sahih Adalah Madzhab Mujtahid

Dengan redaksi yang beragam, hampir semua ‘pendiri’ madzhab fiqih yang ada mengatakan, “Andai saja haditsnya sahih, itulah madzhabku”. Ungkapan ini senada dengan kaidah para ulama ushul fiqih, “Jika sudah terdapat atsar, maka gugurlah nalar” atau “tidak ada ijtihad jika sudah terdapat nash”

Senada yang penulis maksud disini adalah bahwa semua ungkapan tadi memiliki semangat mengunggulkan wahyu di atas akal. Maka jika sudah jelas bahwa kehendak wahyunya demikian, maka tidak perlu lagi melihat madzhab, ijtihad, atau nalar apapun.

Bahkan para ulama mujtahid itu sendiri yang memerintahkan agar semua pendapat atau madzhabnya yang bertentangan dengan hadits sahih untuk dilemparkan saja tanpa perlu dilihat lagi.

Mereka para mujtahid adalah manusia-manusia mulia yang sangat mentaati Allah dan rasul-Nya. Mereka dengan mudah untuk rujuk (kembali) dari pandangannya yang ternyata keliru kepada madzhab yang lebih sesuai dengan hadits sahih. Dan hadits sahih itulah sebenar-benarnya madzhab bagi mereka. Madzhab mereka adalah hadits sahih. Sehingga madzhab mereka adalah ‘Madzhab

Rasululah’.

3. Para ‘Pendiri’ Madzhab Melarang Taklid

Bukan saja mengatakan bahwa hadits sahih adalah madzhab mereka. Para ‘pendiri’ madzhab juga dengan tegas melarang untuk taklid.

Imam Abu Hanifah dengan tegas mengatakan, “tidak halal”. Yaitu tidak halal untuk mengikuti madzhab beliau kecuali jika benar-benar paham dari mana beliau menggalinya.

Begitu juga dengan Imam Malik misalnya. Beliau juga senada dengan Imam Abu Hanifah melarang mengikuti pandangan dan madzhab beliau kecuali benar-benar yakin bahwa pandangan beliau itu tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah.

Demikian juga dengan Imam As Syafi’i. Beliau juga memerintahkan agar jika ada hadits yang bertentangan dengan madzhabnya, maka amalkanlah hadits dan tinggalkan madzhabnya.

Sementara Imam Ahmad ibn Hanbal malah bukan saja melarang taklid kepada beliau saja. Imam Ahmad juga melarang taklid kepada Malik, At Tsauri dan Al Auzai. Yang beliau perintahkan adalah untuk mengambil atau mengikuti sumber madzhab mereka. Iya, sumbernya.

4. Para Shahabat Saja Tidak Bermadzhab

Mereka yang tidak mau bermadzhab dengan madzhab yang populer, dan hanya ingin bermadzhab dengan ‘madzhab rasulullah’, biasanya bertanya dengan pertanyaan yang sebenarnya tidak relevan untuk dijawab. Pertanyaan itu adalah; apa madzhab Abu Bakar ? Umar ? Utsman ? Ali ? dan para shahabat yang lain ?

Mengapa tidak ada sejarah para shahabat itu bermadzhab ? Kalau ada, berapa madzhab yang eksis di masa shahabat ? Madzhab siapa yang pengikutnya paling banyak ? Dan sederet pertanyaan-pertanyaan lain.

Karena hampir tidak ada jawaban yang sesuai dengan harapan mereka, maka kemudian mereka menyimpulkan bahwa para shahabat memang tidak bermadzhab.

Dan lagi, yang namanya madzhab itu baru benarbenar lahir jauh setelah masa shahabat. Maka tidak mungkin jika para shahabat itu menganut madzhab yang kita kenal.

Jika para shahabat saja tanpa madzhab-madzhab mereka bisa mengamalkan Islam dengan segala ajarannya, maka sangat logis jika generasi setelahnya juga mencukupkan diri dengan apa yang sudah diwariskan para shahabat itu.

5. Madzhab itu Sumber Perpecahan

Tidak diragukan lagi bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan persatuan kaum muslimin dan mengharamkan perpecahan.

Salah satu penyebab perpecahan tersebut adalah adanya perbedaan madzhab-madzhab fiqih. Karena para penganutnya lebih membela madzhabnya daripada agamanya.

Sebagian fanatisan madzhab non qunut subuh misalnya, tidak mau shalat berjamaah di sebuah masjid jika imamnya adalah pelaku qunut subuh. Begitu juga sebaliknya. Yang terbiasa qunut, tidak mau bermakmum kepada imam yang berani meninggalkan qunut subuh.

Walaupun kejadian seperti itu bukan kejadian yang terjadi di semua masyarakat kaum muslimin, akan tetapi jika terdapat banyak perbedaan pandangan dalam ritual ibadah kaum muslimin, maka potensi perpecahan itu benar-benar terbuka lebar.

Dan jika perpecahan yang diharamkan itu tidak akan berhenti kecuali dengan menyatukan umat dengan Al Qur’an dan Sunnah, maka menghilangkan pandangan-pandangan madzhab tersebut secara bertahap menjadi satu keniscayaan.

Dan pada masanya nanti kita akan menyaksikan kaum muslimin tidak perlu lagi untuk menghindar dalam berjamaah dengan imam yang beda madzhab.

Sumber: Sutomo Abu Nashr, Madzhabmu Rasulullah? Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Indonesia, 2018

Baca Juga: