Menu Tutup

Arti Takdir yang Buruk

Dalam beberapa hadits yang shahih disebutkan bahwa ada takdir Allah Ta’ala yang bersifat “buruk”, misalnya dalam hadits Jibril yang terkenal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk”.[1]

Juga dalam doa qunut pada waktu shalat witir, yang diajarkan oleh Nabi r kepada cucu kesayangan beliau, Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu: “…(Ya Allah) jagalah diriku dari keburukan takdir yang Engkau tetapkan”.[2]

Apakah arti “takdir-Nya yang buruk”? Apakah ada perbuatan-Nya yang buruk? Bukankah AllahTa’ala maha indah dan sempurna semua sifat dan perbuatan-Nya, serta maha suci dari semua bentuk keburukan? Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa iftitah: “…Kebaikan itu semua ada di tangan-Mu, dan keburukan itu tidaklah ada pada-Mu…”.[3]

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab pertanyaan di atas[4] dalam ucapan beliau: “Keburukan (yang ada) pada takdir bukanlah ditinjau dari takdir Allah (perbuatan-Nya menakdirkan), akan tetapi keburukan tersebut (ada pada) al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya), karena (kata) al-qadar (bisa) berarti at-taqdir (perbuatan Allah menakdirkan) dan (bisa) berarti al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya). Sebagaimana (kata al-khalqu bisa berarti) menciptakan (perbuatan Allah Ta’ala) dan (bisa berarti) makhluk (yang diciptakan-Nya)…

Oleh karena itu, (jika) ditinjau dari perbuatan Allah menakdirkan maka tidak ada (padanya) keburukan (sedikitpun) bahkan semua adalah kebaikan, meskipun tidak sesuai dengan (keinginan) manusia dan meskipun menyakitkan baginya. Adapun kalau ditinjau dari al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) maka kita katakan: ada yang baik dan ada yang buruk. Sehingga arti (kalimat) “takdir yang baik dan yang buruk” adalah al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) ada yang baik dan ada yang buruk.

Kita bisa menjadikan contoh dalam masalah ini dengan firman Allah Ta’ala:

{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}

“Telah nampak kerusakan (bencana) di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (dosa) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS ar-Ruum:41).

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan kerusakan (bencana) yang terjadi (di muka bumi), beserta sebab dan tujuan (hikmah)nya. Kerusakan (bencana) adalah keburukan, sebabnya perbuatan buruk (dosa) manusia, dan tujuan (ditimpakan-Nya) bencana tersebut adalah “supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Maka terjadinya keburukan (bencana) di daratan dan di lautan adalah dengan hikmah (yang agung), meskipun bencana itu sendiri adalah keburukan, akan tetapi karena padanya ada hikmah yang agung (yaitu agar manusia kembali ke jalan yang benar), maka dengan ini (berarti) perbuatan Allah menakdirkan bencana tersebut adalah kebaikan.

Demikian pula perbuatan maksiat dan kekafiran adalah keburukan, dan semuanya (terjadi) dengan ketetapan takdir-Nya, akan tetapi (Dia menakdirkannya) dengan hikmah yang agung, kalau bukan karena (hikmah tersebut) maka akan sia-sialah hukum-hukum syariat (yang Allah Ta’ala turunkan) dan (jadilah) penciptaan manusia tanpa tujuan dan makna”.[5]

[1] HSR Muslim (no. 8).

[2] HR Abu Dawud (no. 1425), an-Nasa’i (no. 1745), Ibnu Majah (no. 1178), dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah (no. 1095), Ibnu Hibban (no. 722) dan Syaikh al-Albani rahimahullah.

[3] HSR Muslim (no. 771).

[4] Lihat juga keterangan Imam an-Nawawi rahimahullah dalam “Syarhu shahiihi Muslim” (6/59).

[5] Kitab “Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (2/191-192).

Baca Juga: