Menu Tutup

Aspek Kemu’jizatan Al-Quran

Aspek Kemu'jizatan Al-Quran

Para ulama sepakat bahwa al-Qur’an memiliki mukjizat dalam berbagai aspek, termasuk aspek kebahasaan (lafzhiyah), makna (ma’nawiyah), dan spiritual (rûhiyah), yang semuanya menjadi satu kesatuan mukjizat yang tidak dapat ditandingi manusia.

Beberapa pemikir memberikan penekanan berbeda tentang aspek kemukjizatan al-Qur’an. Fâthimah Ismâ’îl, dalam bukunya al-Qur’ân wa al-Nazhr al-‘Aql, menyoroti sisi rasionalitas al-Qur’an, yang selalu mengajak umat manusia untuk berpikir. Contoh jelasnya adalah balasan al-Qur’an terhadap tuntutan kaum musyrik untuk menunjukkan mukjizat materi melalui ayat rasional (QS. al-‘Ankabût: 50-51). Rasulullah SAW menegaskan bahwa al-Qur’an bukan mukjizat yang meniadakan akal, melainkan ajaran yang membutuhkan tadabur mendalam.

Sementara itu, ‘Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd menekankan kemukjizatan al-Qur’an pada ajaran akidah yang relevan untuk seluruh umat manusia tanpa terikat waktu dan ruang. Râyid Ridhâ lebih menyoroti keindahan uslub dan balaghah al-Qur’an, serta pengaruhnya terhadap perubahan sosial yang luar biasa di kalangan bangsa Arab. Mannâ’ al-Qaththân juga menekankan perubahan besar yang dibawa oleh al-Qur’an bagi umat Arab, yang sebelumnya adalah penggembala menjadi pemimpin peradaban.

Menurut Abdul Wahhâb Khallaf, beberapa aspek kemukjizatan al-Qur’an antara lain: keterpaduan antara ungkapan, makna, hukum, dan konsep-konsep yang disampaikannya tanpa kontradiksi; kesesuaian dengan penemuan ilmiah; pemberitaan tentang peristiwa gaib yang hanya diketahui oleh Allah; serta kefasihan dan keindahan bahasanya.

Al-Shabûnî menambahkan sepuluh aspek mukjizat al-Qur’an, di antaranya adalah keindahan susunan kata, kepadatan makna, kesempurnaan ajaran tasyrî’î (syariat), berita gaib yang akurat, kesesuaian dengan ilmu pengetahuan, dan pengaruhnya yang mendalam pada pengikutnya.

Dari berbagai aspek kemukjizatan al-Qur’an tersebut, tiga sisi yang penting untuk dibahas lebih lanjut adalah: al-i’jâz al-‘ilmî (kemukjizatan dalam ilmu pengetahuan), al-i’jâz al-lughawî (kemukjizatan dalam kebahasaan), dan al-i’jâz al-tasyrî’î (kemukjizatan dalam ajaran syariat).

A. Al-I’jâz al-‘Ilmî: Hubungan Al-Qur’an dengan Ilmu Pengetahuan

Quraish Shihab menjelaskan bahwa al-Qur’an mengandung banyak kebenaran ilmiah, namun tujuan utama penyebaran ayat-ayat ini adalah untuk menunjukkan kebesaran dan keesaan Tuhan, serta mendorong umat manusia untuk berpikir, mengamati, dan meneliti alam demi memperkuat iman kepada-Nya. Menurut Mahmûd Syaltut, al-Qur’an tidak dimaksudkan untuk menjelaskan teori ilmiah atau masalah seni, tetapi sebagai petunjuk hidup.

Dari pendapat ini, Quraish Shihab menyimpulkan enam hal penting:

  1. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang mengarahkan umat manusia dalam masalah akidah, ibadah, dan akhlak untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
  2. Tidak ada kontradiksi antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
  3. Hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan seharusnya dilihat dari bagaimana al-Qur’an mendorong kemajuan ilmu, bukan dengan mencari teori ilmiah di dalamnya.
  4. Menilai teori ilmiah berdasarkan al-Qur’an bertentangan dengan tujuan utama al-Qur’an dan karakter ilmu pengetahuan.
  5. Terkadang, penafsiran ilmiah yang menghubungkan al-Qur’an dengan teori ilmiah muncul karena rasa rendah diri dalam masyarakat Islam atau ketakutan akan pertentangan antara agama dan ilmu.
  6. Memahami ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan penemuan ilmiah adalah ijtihad yang baik, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an.

Pendapat ini sejalan dengan Mannâ’ al-Qaththân yang menegaskan bahwa al-Qur’an tidak berisi teori ilmiah yang statis. Keyakinan bahwa al-Qur’an mengandung teori ilmiah yang tetap bertentangan dengan sifat ilmu pengetahuan yang selalu berkembang. Al-Qur’an sebenarnya mendorong umat manusia untuk berpikir dan mengamati alam, serta mempergunakan akal mereka. Al-Qur’an tidak menghalangi umatnya untuk menambah ilmu pengetahuan.

Ahmad Baiquni menambahkan bahwa al-Qur’an memberi petunjuk agar umat manusia menggunakan akal untuk bertindak demi kebahagiaan dunia dan akhirat, serta memanfaatkan alam untuk kebutuhan hidup. Dengan bimbingan al-Qur’an, manusia diajak untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, agar dapat mengelola alam dengan bijak, sebagai khalifah yang bertanggung jawab. Hal ini menjadi mungkin karena Allah telah menetapkan hukum-hukum alam yang diungkap melalui sains.

B. Al-I’jâz al-Lughawî (Keajaiban Bahasa Al-Qur’an)

Al-Shabûnî mengidentifikasi tujuh karakteristik utama yang membedakan uslub (gaya bahasa) Al-Qur’an. Karakteristik-karakteristik ini menunjukkan keajaiban bahasa Al-Qur’an yang tidak hanya bersifat retoris, tetapi juga mendalam dalam makna dan efektif dalam menyampaikan pesan-pesan Ilahi. Berikut penjelasan tentang karakteristik-karakteristik tersebut:

  1. Keindahan Bahasa yang Memukau
    Al-Qur’an dikenal dengan nuansa bahasa yang sangat indah dan menawan. Keindahan ini tercermin tidak hanya dalam pemilihan kata-kata, tetapi juga dalam bunyi dan irama yang dihasilkan. Misalnya, dalam surat-surat yang mengandung asonansi atau aliterasi (pengulangan bunyi), yang menambah daya tarik dan kesan mendalam saat dibaca atau didengarkan. Sebagai contoh, dalam surah Al-Rahman (55:13), yang berulang “فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ” (“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”) memberi kesan ritmis yang kuat dan memukau.
  2. Menarik Semua Kalangan
    Al-Qur’an mampu menginspirasi dan menyentuh hati setiap orang, baik itu kalangan awam maupun orang-orang yang terpelajar. Pesannya tidak hanya dipahami oleh kalangan tertentu, tetapi mampu diterima dan dihargai oleh semua lapisan masyarakat. Hal ini menunjukkan sifat universal dari Al-Qur’an, yang tidak terbatas oleh zaman, budaya, atau latar belakang sosial-ekonomi.
  3. Menggugah Akal dan Hati Secara Bersamaan
    Keindahan Al-Qur’an tidak hanya terletak pada keindahan bahasa, tetapi juga pada bagaimana ia merangsang akal (rasio) dan hati (emosi) secara bersamaan. Pembaca atau pendengarnya tidak hanya diberikan pengetahuan, tetapi juga diperintahkan untuk merenungkan dan merasakan kebenaran yang disampaikan. Konsep ini sejalan dengan apa yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai tazakkur (merenungkan) dan tadhakkur (mengambil pelajaran).
  4. Kualitas Pemaparan yang Tinggi
    Al-Qur’an disampaikan dengan kualitas pemaparan yang sangat tinggi. Pemilihan kata yang tepat, susunan kalimat yang padat namun jelas, dan cara penyampaian makna yang kokoh membuat Al-Qur’an sangat luar biasa. Ini bukan hanya soal struktur bahasa, tetapi juga tentang bagaimana pesan-pesan yang dalam dan kompleks disampaikan dengan cara yang mudah dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat.
  5. Keutuhan dan Keterpaduan Pesan
    Secara keseluruhan, Al-Qur’an tidak terfragmentasi. Setiap bagian dan suratnya saling terhubung dalam suatu jalinan yang utuh dan memikat. Al-Qur’an seolah-olah mengajak akal dan hati untuk merenung dalam sebuah perjalanan intelektual dan spiritual yang menyatu, yang menarik perhatian pembaca dari awal hingga akhir. Keutuhan ini menunjukkan betapa harmonisnya pesan-pesan yang ada, meskipun dibawa dalam bentuk yang sangat bervariasi.
  6. Kecakapan dalam Mengolah Kata
    Salah satu ciri khas dari bahasa Al-Qur’an adalah kemampuannya dalam menyampaikan berbagai makna dengan menggunakan banyak pilihan kata dan struktur kalimat yang berbeda. Kadang satu makna dapat dijelaskan dengan cara yang berbeda dalam beberapa tempat di Al-Qur’an, yang semuanya memiliki keindahan tersendiri. Kemampuan untuk menggubah berbagai ungkapan ini menunjukkan kecakapan luar biasa dari bahasa yang digunakan.
  7. Perpaduan antara Penuturan Global dan Detail
    Al-Qur’an sering menyampaikan gambaran besar atau konsep-konsep global, tetapi juga tidak melupakan pentingnya penjelasan yang lebih mendalam. Terkadang, suatu topik besar, seperti tauhid atau hukum, dibahas secara luas dan global dalam satu surat, tetapi juga dijelaskan dengan rinci dalam surat lain. Inilah salah satu cara bagaimana Al-Qur’an menyeimbangkan antara kebijaksanaan universal dan detail yang esensial untuk penerapan ajaran-Nya.

Rasyîd Ridhâ dan Keistimewaan Al-Qur’an

Rasyîd Ridhâ menulis tentang keistimewaan Al-Qur’an dengan perspektif yang sangat mendalam. Dalam pandangannya, jika ajaran-ajaran dalam Al-Qur’an tentang akidah, ibadah, hukum, dan kisah-kisah umat terdahulu disusun terpisah-pisah berdasarkan tema, maka Al-Qur’an akan kehilangan esensi dan kemukjizatannya.

  • Kehilangan Kesatuan Pesan: Ridhâ berpendapat bahwa jika seluruh ajaran tentang akidah Islam seperti keimanan kepada Allah, malaikat, rasul, dan hal-hal lain disusun hanya dalam beberapa surat atau ayat tertentu, maka orang yang hanya membaca bagian-bagian itu akan kehilangan makna penuh yang terkandung dalam keseluruhan Al-Qur’an. Setiap tema dalam Al-Qur’an saling berkaitan dan memperkuat satu sama lain. Pemisahan tema-tema tertentu dalam Al-Qur’an akan menghilangkan kekuatan dan kedalaman wahyu yang datang secara terpadu.
  • Pengaruh Terhadap Penghafal Al-Qur’an: Jika Al-Qur’an hanya terdiri dari potongan-potongan surat yang disusun berdasarkan tema, para penghafal akan kehilangan banyak pelajaran berharga dan hikmah hidup yang tersebar di seluruh Al-Qur’an. Ridhâ menegaskan bahwa cara Al-Qur’an disusun — dengan penggabungan berbagai ajaran dalam satu surat atau dalam urutan tertentu — tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan pengetahuan, tetapi juga untuk mendidik dan membimbing hati dan pikiran pembacanya secara keseluruhan.
  • Keistimewaan Hidayah Al-Qur’an: Salah satu keistimewaan terbesar dari Al-Qur’an adalah kemampuannya untuk memberikan hidayah (petunjuk hidup) yang menyeluruh. Ridhâ menjelaskan bahwa jika Al-Qur’an disusun berdasarkan tema atau topik saja, maka ia akan kehilangan kualitas hidayah yang menyeluruh, yang hanya bisa diperoleh dengan membaca Al-Qur’an dalam bentuk aslinya, dengan susunan ayat dan surat yang ada.

Dengan demikian, Al-Qur’an bukan sekadar kitab yang mengajarkan hukum atau akidah dalam potongan-potongan terpisah. Al-Qur’an adalah sebuah wahyu yang utuh dan terpadu, yang menyampaikan segala ajaran dalam suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, serta menyentuh segala aspek kehidupan manusia, baik secara fisik maupun spiritual.

C. Al-Ij’jâz al-Tasyrî’î: Kemukjizatan Hukum Islam dalam Al-Qur’an

Kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek ini terletak pada kemampuannya memberikan manhaj tasyrî’ (sistem hukum) yang sempurna dan komprehensif. Al-Qur’an bukan hanya sebagai petunjuk hidup yang relevan pada zaman turunnya, tetapi juga relevan untuk setiap waktu dan tempat. Dengan ajaran ini, segala kebutuhan manusia—baik individu maupun kelompok—terpenuhi, dan kondisi hidup mereka menjadi mulia, baik di dunia maupun di akhirat. Hukum yang dihadirkan oleh al-Qur’an sangat berbeda dengan hukum buatan manusia, karena ia bersifat universal dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

Butir-butir Kemukjizatan Al-Qur’an dalam Sistem Hukum

1. Memperbaiki dan Meluruskan Akidah
Al-Qur’an menjelaskan dengan jelas hakikat asal kehidupan manusia (al-mabda`) dan tujuan akhir kehidupan (al-ma’âd), serta proses kehidupan di antara keduanya. Ajaran ini mencakup keimanan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir. Konsep ini memberikan arah yang jelas tentang makna kehidupan dan tujuan akhir manusia, yang membimbing umat manusia untuk hidup sesuai dengan tujuan penciptaannya. Dengan pemahaman ini, umat Islam dituntut untuk menjalani hidup yang sesuai dengan fitrah dan tujuan asalnya.

2. Memperbaiki dan Meluruskan Praktik Ibadah
Al-Qur’an menunjukkan ajaran-ajaran yang dapat membersihkan jiwa dan mental manusia. Ajaran ini mencakup kewajiban beribadah kepada Allah dan berbagai praktik ibadah yang dapat menyucikan jiwa, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Ibadah dalam Islam tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan moral yang sangat penting dalam membentuk karakter umat Islam yang mulia. Al-Qur’an memerintahkan untuk menjalankan ibadah dengan ikhlas, sehingga dapat mendekatkan diri kepada Allah dan membentuk kepribadian yang baik.

3. Memperbaiki Akhlak
Salah satu tujuan utama turunnya al-Qur’an adalah untuk memperbaiki akhlak umat manusia. Al-Qur’an mengajarkan nilai-nilai keutamaan, seperti kejujuran, kesabaran, dan kasih sayang, serta melarang segala bentuk keburukan, seperti kedengkian, kebohongan, dan kekerasan. Ajaran moral ini juga menekankan pentingnya keseimbangan dalam hidup, di mana umat Islam diajarkan untuk tidak berlebihan dalam segala hal, baik dalam ibadah, kehidupan sosial, maupun dalam urusan duniawi. Oleh karena itu, akhlak yang baik menjadi salah satu ciri utama umat yang beriman kepada Allah.

4. Memperbaiki Kehidupan Sosial dan Persatuan
Al-Qur’an memerintahkan umat manusia untuk menyatukan barisan dan menghindari perpecahan. Dalam kehidupan sosial, Allah mengingatkan manusia bahwa mereka berasal dari jenis dan jiwa yang sama, yang artinya tidak ada perbedaan mendasar antar sesama umat manusia. Perintah ini bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk fanatisme dan perbedaan yang dapat menyebabkan perpecahan, serta membangun solidaritas dan persatuan antar umat manusia. Oleh karena itu, ajaran al-Qur’an sangat mendukung terciptanya masyarakat yang adil dan damai, tanpa membedakan suku, ras, atau agama.

5. Meluruskan Kehidupan Politik dan Negara
Salah satu aspek kemukjizatan al-Qur’an adalah sistem politik yang diajarkannya. Al-Qur’an menekankan pentingnya keadilan, persamaan, dan keutamaan dalam hubungan sosial, termasuk dalam kehidupan bernegara. Dalam hal ini, al-Qur’an mengajarkan nilai-nilai seperti syura (musyawarah), adil (keadilan), dan ihsan (kebaikan). Sistem pemerintahan yang diajarkan dalam al-Qur’an tidak hanya mengutamakan hak-hak individu, tetapi juga kesejahteraan kolektif. Negara yang berdasarkan ajaran al-Qur’an berfungsi untuk menegakkan keadilan, menjaga hak asasi manusia, dan memelihara nilai-nilai moral yang luhur.

6. Memperbaiki dan Meluruskan Kehidupan Ekonomi
Al-Qur’an memberikan panduan yang sangat jelas tentang ekonomi, yang mengajarkan umat untuk hidup hemat dan menghindari pemborosan. Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mengatur tentang penggunaan harta, termasuk larangan terhadap riba (bunga), penekanan pada zakah (pembagian kekayaan untuk yang membutuhkan), serta anjuran untuk berusaha dengan cara yang halal. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan sosial dan menghindari ketimpangan ekonomi yang dapat menyebabkan ketidakadilan dalam masyarakat.

7. Meluruskan Aturan Perang dan Perdamaian
Al-Qur’an mengajarkan tentang perang yang adil, yaitu perang yang dilakukan untuk membela diri atau untuk menegakkan kebenaran. Namun, al-Qur’an juga dengan tegas melarang penganiayaan dan tindakan berlebihan dalam perang. Selain itu, perdamaian dan rekonsiliasi selalu diutamakan daripada peperangan. Dalam hal ini, al-Qur’an menekankan pentingnya menepati perjanjian dan menjaga hak-hak sesama, baik dalam konteks perang maupun perdamaian.

8. Memerangi Sistem Perbudakan
Al-Qur’an tidak hanya mengatur kehidupan sosial dan politik, tetapi juga memberikan petunjuk tentang masalah perbudakan. Dalam sejarah Islam, al-Qur’an mengajak umat untuk membebaskan para budak dan memberikan kebebasan kepada mereka. Salah satu cara untuk membebaskan budak adalah dengan memberikan mereka kesempatan untuk menebus diri melalui mukâtabah (perjanjian pembebasan). Al-Qur’an mengajarkan bahwa semua manusia diciptakan sama di hadapan Allah, sehingga perbudakan tidak sejalan dengan ajaran Islam.

9. Membebaskan Akal dan Pikiran
Akal adalah anugerah besar dari Allah yang harus digunakan dengan bijaksana. Al-Qur’an mendorong umat manusia untuk berpikir dengan bebas dan terbuka, serta untuk mencari kebenaran melalui ijtihad (usaha keras dalam menafsirkan hukum). Ajaran Islam memerangi segala bentuk pemaksaan, tirani, dan absolutisme yang membelenggu kebebasan berpikir. Oleh karena itu, al-Qur’an mengajarkan pentingnya kebebasan berpendapat dan mengutamakan ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya akan mencerahkan umat manusia dan memperbaiki kualitas hidup mereka.

Referensi

Abû Thâlib, Masmû Ahmad, Khulashah al-Bayân fî Mabâhits min ‘Ulûm al-Qur’ân,Cairo: Dâr al-Thibâ’ah al-Muhammadiyah, cet. I, 1994.

Al-‘Aqqâd, ‘Abbâs Mahmûd, al-Falsafah al-Qur’âniyah,Cairo: Dâr al-Hilâl, tt.

Al-Ghazâlî, Muhammad, al-Mahâwir al-Khamsah lî al-Qur’ân al-Karîm, Mansoura: Dâr al-Wafâ`, cet. I, 1989.

Al-Qaththân, Mannâ’, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân,Beirut: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, cet. III, 1973.

Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,Beirut: Mu`assasah Manâhil al-‘Irfân, cet. II, 1980.

Al-Suyûthî, Jalâluddîn, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. III, 1995.

Baiquni, Achmad, al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman,Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Primayasa, cet. I, 1996.

Ismâ’îl, Fâthimah, al-Qur’ân wa al-Nazhr al-‘Aqlî, Virginia: International Institute of Islamic Though, cet. I, 1993.

Khalaf, ‘Abdul Wahhâb, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh,Cairo: Maktabah al-Da’wah al-Islâmiyah, cet. VIII, 1990.

Muhammad, Mamdûh Hasan, I’jâz al-Qur’ân lî al-Bâqilânî,Cairo: Dâr al-Amîn, cet. I, 1993.

Ridhâ, Muhammad Rasyîd, al-Wahy al-Muhammadî,Beirut: al-Maktab al-Islâmî, cet. X, 1985.

Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan al-Qur’an,Bandung: Mizan, cet. XIII, 1996.

Lainnya