Menu Tutup

Aspek Kemu’jizatan Al-Quran

Merupakan kesepakatan para ulama bahwa al-Qur’an mempunyai mukjizat bukan hanya dalam satu sisi tertentu saja, melainkan dalam banyak aspek: lafzhiyah(aspek kebahasaan), ma’nawiyah dan rûhiyah. Semuanya menjadi satu kesatuan mukjizat yang manusia tidak mampu berbuat apa pun di hadapannya.

Terdapat perbedaan dalam menentukan berapa jumlah aspek kemukjizatan al-Qur’an. Penulis dan pemikir Muslimah Mesir, Fâthimah Ismâ’îl dalam bukunya al-Qur’ân wa al-Nazhr al-‘Aql misalnya, lebih menekankan bahwa kemukjizatan al-Qur’an terdapat pada sisi rasionalitasnya. Al-Qur’an, menurutnya, senantiasa menyeru manusia dengan menggunakan bahasa akal. Contoh paling kentara adalah ketika kaum musyrik menuntut Muhammad mendatangkan ayat-ayat (mukjizat) yang bersifat materi-indrawi, dengan tegas al-Qur’an membalas tuntutan itu dengan jawaban rasional (QS. al-‘Ankabût/29: 50-51).

Selain itu Rasul Saw. menyeru kaumnya seraya menegaskan bahwa al-Qur’an bukanlah tipe mukjizat yang menyepelekan akal dan budaya berpikir. Melainkan berupa ayat-ayat yang memerlukan tadabur dan penelaahan saksama yang mendalam akan isi kandungannya.

Penulis dan pemikir Mesir lainnya, ‘Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd, lebih menyoroti sisi kemukjizatan al-Qur’an pada keseluruhan ideal-moralnya. Menurutnya, kemukjizatan al-Qur’an tertumpu pada relevansi ajaran akidah (falsafah qur’âniyah) yang dibawanya bagi kehidupan manusia tanpa mengenal batas ruang dan waktu.

Bagi Râyid Ridhâ, selain terdapat pada keindahan uslub dan balaghahnya yang luar biasa, dia lebih menilik kemukjizatan al-Qur’an pada pengaruh kejiwaannya terhadap bangsa Arab umunya, dan terhadap penganutnya secara khusus. Al-Qur’an, menurutnya, telah melahirkan perubahan besar dan revolusi dahsyat yang dilakukan oleh mereka yang mempedomaninya dengan benar dan baik.

Mannâ’ al-Qaththân mempunyai sorotan yang sama dengan Râsyid Ridhâ, yaitu ketika ia mengatakan bahwa al-Qur’an, bagaimana pun adalah Kitab Suci yang telah mengubah bangsa Arab para penggembala binatang ternak menjadi pemimpin dan pemegang kendali peradaban manusia. Kenyataan ini saja cukuplah menjadi kesaksian bagi kamukjizatan al-Qur’an.

Sedangkan menurut ‘Abdul Wahhâb Khallaf, aspek-aspek kemukjizatan al-Qur’an antara lain:

Pertama, keterpaduan dan keserasian antara ungkapan-ungkapan, makna-makna, hukum-hukum dan konsep-konsep yang dibawa dan ditawarkannya. Al-Qur’an, dengan 6000 lebih ayat yang dikandungnya, ketika ia mengungkapkan sesuatu yang hendak disampaikannya, baik tentang masalah keimanan, akhlak, hukum, maupun beberapa konsep dasar tentang semesta, kehidupan sosial dan individual, menggunakan ungkapan-ungkapan dan redaksi yang bercorak dan beragam. Dalam keragaman ini tidak ditemukan adanya pertentangan dan kontradiksi satu sama lainnya.

Kedua, kesesuaian ayat-ayatnya dengan penemuan-penemuan ilmiah.

 Ketiga, kandungan beritanya tentang berbagai peristiwa yang hanya diketahui oleh Yang Maha Mengetahui tentang alam gaib.

 Keempat, kefasihan kata-kata yang dipilihnya, keindahan redaksi yang digunakannya serta kekuatan pengaruh yang ditimbulkannya.

Sementara itu al-Shabûnî menandai tidak kurang dari sepuluh aspek kemukjizatan al-Qur’an, sebagai berikut:

Susunan kata-katanya yang sangat indah dan menarik, sangat berbeda dengan susunan yang kerap diucapkan oleh bangsa Arab.

Susunan redaksional yang indah menawan, sangat berbeda dengan uslub-uslub orang Arab umunya.

Kekayaan dan kepadatan makna yang dikandungnya. Tidak mungkin ada makhluk yang mampu mendatangkan ayat serupa ayat al-Qur’an.

Muatan ajaran tasyriknya yang lengkap dan sempurna. Sama sekali berbeda dengan hukum-hukum buatan manusia.

Berita-berita gaib yang diceritakannya yang tidak mungkin diketahui selain lewat wahyu.

Tidak adanya pertentangan dengan ilmu-ilmu kealamsemestaan.

Ketepatan janji dan ancamannya sesuai dengan apa yang diberitakannya.

Ilmu dan pengetahuan yang dikandungnya (ilmu-ilmu syariah dan kauniyah).

Memenuhi segala kebutuhan manusia.

Pengaruhnya yang mendalam dalam hati para pengikutnya.

Dari sekian aspek kemukjizatan al-Qur’an tersebut di atas, ada tiga sisi yang penulis anggap perlu dibahas secara tersendiri, yaitu al-i’jâz al-‘ilmî (kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek ilmu pengetahuan kealaman), al-i’jâz al-lughawî(kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek kebahasaan, uslub yang digunakan dan susunan serta tertib ayatnya) dan al-i’jâz al-tasyrî’î (kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek ajaran syariat yang dikandungnya).

Al-I’jâz al-‘Ilmî

Tentang hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan, Quraish Shihab menyatakan bahwa ada sekian kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh al-Qur’an, tetapi tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan keesaan-Nya, serta mendorong manusia seluruhnya untuk mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan keimanan dan kepercayaan kepada-Nya. Quraish lalu mengutip pendapat Mahmûd Syaltut yang mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan tidak menurunkan al-Qur’an untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni serta aneka warna pengetahuan.

Tentang hal ini, Quraish menyimpulkan enam hal:

  • Al-Qur’an adalah kitab hidayah yang memberikan petunjuk kepada manusia seluruhnya dalam persoalan-persoalan akidah, tasyrik dan akhlak demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
  • Tiada pertentangan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
  • Memahami hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat adakah teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di dalamnya, tapi dengan melihat adakah al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorong lebih maju.
  • Membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah berdasarkan al-Qur’an bertentangan dengan tujuan pokok atau sifat al-Qur’an dan bertentangan pula dengan ciri khas ilmu pengetahuan.
  • Sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah (pembenaran teori-teori ilmiah berdasarkan al-Qur’an) adalah akibat perasaan rendah diri dari masyarakat Islam dan akibat pertentangan antara golongan gereja (agama) dengan ilmuan yang dikuatirkan akan terjadi pula dalam Islam, sehingga cendekiawan Islam berusaha menampakkan hubungan antara al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.
  • Memahami ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai akidah Qur’aniyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip atau ketentuan bahasa.

Pendapat Quraish ini senada dengan Mannâ’ al-Qaththân yang dengan tegas menyatakan bahwa orang telah melakukan kesalahan ketika dengan menggebu mengatakan bahwa al-Qur’an mengandung segala teori ilmiah. Keyakinan serupa ini, kata al-Qaththân, akan bertabrakan dengan kenyataan bahwa sifat teori-teori ilmu pengetahuan senantiasa berubah sejalan dengan dinamika perubahan waktu sesuai dengan sunnah kemajuan. Apa yang diklaim sebagai kebenaran ilmiah pada satu saat, pada saat mendatang tidak mustahil terbukti kesalahannya. Kemukjizatan ilmiah al-Qur’an, tegas al-Qaththân, justru terletak pada motivasinya untuk berpikir. Ia mendorong manusia untuk memperhatikan dan mencermati alam dan gejalanya, sambil memberikan akses dan porsi yang baik dan besar bagi akal. Al-Qur’an tidak pernah menghalang-halangi pemeluknya untuk menambah ilmu pengetahuannya kapan dan di mana pun.

Sedangkan menurut Ahmad Baiquni, hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan kealaman adalah bahwa sebagai hamba Allah manusia dikaruniai akal serta pikiran untuk dapat memilih tindakan mana yang baik dan mana yang tidak untuk kebahagiaan akhiratnya, tetapi juga untuk bertahan hidup di dunia dan memanfaatkan lingkungannya sebagai sumber bahan pangan dan papan, sehingga ia dapat memperoleh kebahagiaan dunia sebagai khalifah yang bertanggung jawab. Untuk itu semua, Allah telah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh manusia, secara garis besar, baik untuk ilmu keakhiratannya yang rinciannya ada di dalam Sunnah Rasul, maupun ilmu keduniaan yang rinciannya berada di dalamal-kaun (semesta).

Dengan bimbingan al-Qur’an manusia diarahkan agar mengembangkan sains untuk mengetahui sifat dan tingkah laku alam sekitarnya pada kondisi-kondisi tertentu, dan dengan penguasaan sains ini manusia dapat membuat kondisi yang sedemikian rupa hingga alam beraksi, yang mengarah pada hasil yang menguntungkannya; ia menciptakan teknologi. Dengan sains dan teknologilah manusia memanfaatkan dan melestarikan alam sekelilingnya sebagai layaknya penguasa yang baik. Kemampuan manusia untuk mengarahkan alam lingkungannya dengan teknologi agar alam beraksi yang menguntungkannya itu disebabkan karena Allah, Sang Pemurah dan Penyayang telah menetapkan peraturan-peraturan-Nya yang harus diikuti dengan taat oleh seluruh alam, dan manusia mengetahui Sunnatullah yang telah diberlakukan itu dari nazhr pada sisi langit dan bumi yang menghasilkan sains.

Al-I’jâz al-Lughawî

Al-Shabûnî menandai adanya tujuh karakteristik uslub al-Qur’an:

  • Sentuhan serta nuansa kata-kata al-Qur’an yang indah dan menawan, seperti terlihat dalam keindahan bunyi dan nada yang ditimbulkan serta bahasa yang elok menarik.
  • Membuat rela dan puas semua kalangan, baik khalayak awam maupun kalangan khusus tertentu. Dalam arti, semua sepakat mengakui keagungannya dan merasakan keindahannya.
  • Memberikan kepuasan bagi akal dan emosi secara berbarengan. Ia menyentuh akal dan hati serta memadukan kebenaran dan keindahan secara apik dan indah.
  • Kualitas pemaparan yang tinggi serta cara penuangan makna-makna yang kokoh.
  • Keseluruhan al-Qur’an bak satu jalinan yang memikat dan memesona akal serta mengundang perhatian pandangan hati.
  • Kelihaiannya dalam mengolah kata dan menuangkan aneka ragam penyampaian. Artinya, ia kerap menuangkan satu makna dengan beragam kata dan cara penuturan. Semua mempunyai nilai keindahan yang amat tinggi.
  • Memadukan antara penuturan global dengan penjelasan detil.

Singkat redaksi padat arti.

Sekaitan dengan hal ini Rasyîd Ridhâ menulis:

Jika semua ajaran akidah Islam yang disampaikan al-Qur’an, seperti tentang keimanan kepada Allah, malaikat, rasul dan seterusnya disatukan secara urut dalam tiga surat saja; jika semua ajaran tentang ibadah disusun dan disatukan dalam beberapa surat saja; jika semua hukum, etika, nilai-nilai keutamaan yang diajarkannya disampaikan dalam sepuluh surat saja atau lebih; seandainya kaidah-kaidah dasar tentang hukum syariah, hukum-hukum perdata, politik, ekonomi, kepemilikan, sosial dan hukum-hukum pidana lainnya diurut dan disatukan dalam beberapa surat secara tersendiri; jika kisah-kisah yang dibawakan al-Qur’an dengan ajaran, petuah, dan wejangan yang dikandungnya dipaparkan dalam satu atau dua surat saja secara tersendiri layaknya buku sejarah; jika semua muatan al-Qur’an yang telah disebutkan dan yang belum disebutkan dipisahkan secara sendiri-sendiri, pastilah al-Qur’an akan kehilangan keistimewaan hidayah teragungnya dari ajaran tasyrik yang dibawanya, juga akan kehilangan hikmah dari diturunkannya al-Qur’an itu sendiri, yaitu ta’abbud, juga tentulah para penghafalnya akan kehilangan banyak ajaran, pelajaran, dan nilai-nilai ideal yang dikandungnya. Sebab, misalnya, jika ada orang yang hafal satu atau dua surat saja, maka yang akan ia dapatkan hanya satu ajaran saja, umpamanya tentang tentang akidah atau tentang hukum saja, sementara ajaran-ajaran lainnya luput darinya. Selain akan kehilangan banyak mutiara kandungan al-Qur’an, juga seandainya disusun secara sendiri-sendiri berdasarkan tema-tema tertentu, maka ia akan kehilangan ciri paling khas dari kemukjizatan al-Qur’an itu sendiri.

Al-Ij’jâz al-Tasyrî’î

Kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek ini adalah bahwa al-Qur’an datang membawamanhaj tasyrî’ yang sempurna, yang menjamin terpenuhinya segala kebutuhan manusia seluruhnya pada setiap zaman dan tempat. Dengan ajaran ini kondisi manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, menjadi mulia dan luhur, di dunia dan akhirat. Model tasyrî’ qur’ânî ini sangat berbeda dengan semua jenis hukum, aturan dan perundangan buatan manusia.

Masmû’ Abû Thâlib menilik beberapa butir yang menjadi bukti kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek ini. Sebagai berikut:

Memperbaiki dan meluruskan akidah dengan jalan menunjukkan manusia akan hakikat asal kejadian (al-mabda`) dan akhir (al-ma’âd) kehidupan serta kehidupan di antara keduanya. Butir ini berisi ajaran tentang keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, para rasul dan hari akhir.

Memperbaiki dan meluruskan praktik ibadah dengan jalan menunjukkan manusia akan ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang dapat menyucikan jiwa dan mental manusia.

Memperbaiki akhlak dengan jalan menunjukkan manusia akan nilai-nilai keutamaan dan perintah untuk menjauhi segala bentuk kekejian dan keburukan, serta menjaga keseimbangan.

Memperbaiki dan meluruskan kehidupan dengan jalan memerintahkan manusia agar mereka menyatukan barisan, menghapus segala benih fanatisme dan gap yang membawa kepada perpecahan. Ini dilakukan dengan jalan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari jenis dan jiwa yang sama.

Meluruskan kehidupan politik dan tata kehidupan bernegara. Ini dilakukan dengan jalan memancangkan keadilan mutlak, persamaan antara sesama manusia dan memelihara nilai-nilai luhur keutamaan seperti keadilan, dedikasi, kasih sayang, persamaan dan kecintaan dalam segala bentuk hukum dan interaksi sosial.

Memperbaiki dan meluruskan perilaku ekonomi dan pendayagunaan harta, dengan jalan anjuran untuk membudayakan hidup hemat, memelihara harta dari kesia-siaan dan kepunahan.

Meluruskan aturan perang dan perdamaian, dengan jalan memberikan pengertian hakiki tentang perang, larangan menganiaya, kewajiban menepati perjanjian dan mengutamakan perdamaian daripada peperangan.

Memerangi sistem perbudakan dan anjuran untuk memerdekakan para budak.

Membebaskan akal budi dan nalar pikir dari segala tiran yang membelenggunya, seraya memerangi pemaksaan, intimidasi dan absolutisme.

Referensi

Abû Thâlib, Masmû Ahmad, Khulashah al-Bayân fî Mabâhits min ‘Ulûm al-Qur’ân,Cairo: Dâr al-Thibâ’ah al-Muhammadiyah, cet. I, 1994.

Al-‘Aqqâd, ‘Abbâs Mahmûd, al-Falsafah al-Qur’âniyah,Cairo: Dâr al-Hilâl, tt.

Al-Ghazâlî, Muhammad, al-Mahâwir al-Khamsah lî al-Qur’ân al-Karîm, Mansoura: Dâr al-Wafâ`, cet. I, 1989.

Al-Qaththân, Mannâ’, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân,Beirut: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, cet. III, 1973.

Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,Beirut: Mu`assasah Manâhil al-‘Irfân, cet. II, 1980.

Al-Suyûthî, Jalâluddîn, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. III, 1995.

Baiquni, Achmad, al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman,Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Primayasa, cet. I, 1996.

Ismâ’îl, Fâthimah, al-Qur’ân wa al-Nazhr al-‘Aqlî, Virginia: International Institute of Islamic Though, cet. I, 1993.

Khalaf, ‘Abdul Wahhâb, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh,Cairo: Maktabah al-Da’wah al-Islâmiyah, cet. VIII, 1990.

Muhammad, Mamdûh Hasan, I’jâz al-Qur’ân lî al-Bâqilânî,Cairo: Dâr al-Amîn, cet. I, 1993.

Ridhâ, Muhammad Rasyîd, al-Wahy al-Muhammadî,Beirut: al-Maktab al-Islâmî, cet. X, 1985.

Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan al-Qur’an,Bandung: Mizan, cet. XIII, 1996.

Baca Juga: