Bagaimana Cara Kita Memandang Bencana?

B

encana, apapun bentuknya, sesungguhnya merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada manusia. Berbagai peristiwa yang menimpa manusia pada hakikatnya merupakan ujian dan cobaan atas keimanan dan perilaku yang telah dilakukan oleh manusia.

Sistem keimanan yang diajarkan dalam Islam bertumpu pada keyakinan bahwa Allah merupakan Zat Yang Maha Raḥmah (kasih dan sayang). Allah sendiri menetapkan bagi diri-Nya sifat raḥmah. Allah berfirman:

Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: “Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Q.S. al-An’ām (6): 54].

Begitu pula sebaliknya, orang beriman dan bertakwa selalu mengakui bahwa apa yang diberikan oleh Allah kepada mereka adalah “kebaikan”. Allah berfirman:

Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: “Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab: “(Allah telah menurunkan) kebaikan”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa [Q.S. alNaḥl (16): 30]

Sifat raḥmah Allah akan membentuk sebuah sikap yang merupakan tujuan puncak dalam Islam, yakni kebaikan dan keadilan [Q.S. Ali ‘Imrān (3): 18; al-A’rāf (7): 29; al-Syūrā (42): 17].

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [Q.S. ‘Ali ‘Imrān (3): 18].

Katakanlah: “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”. Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepada-Nya)” [Q.S. al-Naḥl (16): 29].

Dalam menjalani kehidupan, manusia selalu berhadapan dengan sesuatu yang menimpa dirinya. Sesuatu yang menimpa ini disebut dengan muṣībah. Konsekuensi dari ajaran tauhid, peristiwa yang menimpa manusia tersebut bukanlah sebuah persoalan, karena manusia hidup pasti akan diuji dengan berbagai persoalan.