Bai’at Aqabah Kedua adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah awal Islam yang menjadi landasan bagi hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Peristiwa ini bukan hanya menjadi momentum kesepakatan antara kaum Anshar di Madinah dengan Nabi dan para sahabat, tetapi juga menandai awal kebangkitan Islam secara signifikan. Dalam Bai’at Aqabah Kedua, kaum Anshar berjanji untuk melindungi Nabi dan kaum Muslimin serta berkomitmen memerangi siapa saja yang menjadi musuh Islam.
Latar Belakang Bai’at Aqabah Kedua
Peristiwa ini terjadi setelah dakwah Islam di Mekkah mengalami berbagai penentangan keras dari kaum Quraisy. Meski menghadapi berbagai rintangan, dakwah Nabi tetap berlangsung, dan pada akhirnya, Islam mulai tersebar di luar Mekkah. Salah satunya adalah di Yatsrib (Madinah), sebuah kota yang dihuni oleh dua suku besar, yaitu Aus dan Khazraj. Kedua suku ini sebelumnya sering berperang, tetapi mulai tertarik pada ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi ﷺ karena melihat potensi ajaran tersebut sebagai jalan keluar dari konflik berkepanjangan.
Pada tahun ke-12 kenabian, datanglah 12 orang dari Madinah, yang semuanya berasal dari suku Khazraj. Mereka menemui Nabi di Aqabah, sebuah lokasi di dekat Mekkah, dan membaiat beliau. Mereka bersumpah untuk meninggalkan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, dan membunuh. Ini dikenal sebagai Bai’at Aqabah Pertama. Setelah itu, Islam mulai menyebar lebih luas di Madinah, dan semakin banyak orang dari kedua suku besar yang tertarik dengan ajaran Islam.
Bai’at Aqabah Kedua: Persiapan dan Pelaksanaan
Pada tahun ke-13 kenabian, 73 laki-laki dan 2 perempuan dari Madinah datang kembali ke Mekkah untuk menemui Nabi Muhammad ﷺ. Mereka datang dengan tujuan yang lebih besar, yakni untuk memberikan janji setia yang lebih serius kepada Rasulullah ﷺ. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang telah memeluk Islam dan menyadari perlunya perlindungan bagi Nabi dan kaum Muslimin di Mekkah yang semakin terdesak oleh kekerasan kaum Quraisy.
Bai’at Aqabah Kedua berlangsung secara rahasia pada malam hari selama musim haji, dengan tujuan agar tidak diketahui oleh orang-orang Quraisy. Para peserta bai’at ini diwakili oleh Al-Barra bin Ma’rur, yang memimpin rombongan Madinah. Mereka melakukan pertemuan rahasia dengan Rasulullah ﷺ di sebuah bukit di Mina, dan dalam bai’at tersebut, mereka berjanji untuk:
- Melindungi Nabi Muhammad ﷺ sebagaimana mereka melindungi keluarga mereka sendiri.
- Siap berperang melawan siapa pun yang menjadi musuh Islam, baik dari kaum Quraisy maupun musuh lainnya.
- Mematuhi semua perintah Rasulullah ﷺ dalam situasi damai maupun perang.
- Menjalankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya, tanpa memandang ancaman atau tekanan yang mungkin datang .
Bai’at ini sangat berbeda dari Bai’at Aqabah Pertama yang bersifat lebih individual dan moral, karena Bai’at Aqabah Kedua mencakup janji untuk memerangi musuh-musuh Islam dan membela Rasulullah ﷺ dengan jiwa dan raga. Bai’at ini juga menandakan bahwa kaum Anshar siap menanggung segala risiko dan konsekuensi politik dari perjanjian ini.
Peran Kaum Anshar dan Pemilihan Pemimpin
Setelah perjanjian bai’at ini, Nabi Muhammad ﷺ memilih 12 orang pemimpin dari kalangan kaum Anshar. Mereka dipilih untuk memimpin kaumnya dan bertanggung jawab atas perkembangan Islam di Madinah. Dari 12 pemimpin ini, 9 berasal dari suku Khazraj, dan 3 dari suku Aus, menunjukkan adanya kesetaraan antara kedua suku besar tersebut dalam mendukung perjuangan Islam .
Para pemimpin ini kemudian memainkan peran penting dalam mempersiapkan Madinah sebagai tempat hijrah bagi Nabi dan kaum Muslimin dari Mekkah. Mereka juga memastikan bahwa Islam diterima di Madinah dan masyarakat di sana siap menerima kaum Muslimin yang akan datang.
Peserta Bai’at Aqabah Kedua
Bai’at Aqabah Kedua diikuti oleh 73 laki-laki dan 2 perempuan. Mereka adalah tokoh-tokoh penting di Madinah yang kelak berperan dalam mengokohkan Islam di kota tersebut. Di antara mereka terdapat pemimpin-pemimpin yang nantinya menjadi sahabat dekat Rasulullah ﷺ, seperti Al-Barra bin Ma’rur, Sa’ad bin Ubadah, dan As’ad bin Zurarah .
Dua perempuan yang turut serta dalam bai’at ini adalah Ummu Umarah Nasibah binti Ka’ab dan Asma binti Amr bin ‘Adi. Kehadiran mereka menunjukkan peran penting perempuan dalam perjuangan Islam sejak masa awal, termasuk dalam aspek pertahanan dan dukungan penuh terhadap Rasulullah ﷺ.
Implikasi Bai’at Aqabah Kedua
Bai’at Aqabah Kedua memiliki dampak besar bagi perkembangan Islam. Peristiwa ini menandai komitmen kaum Anshar dalam membantu perjuangan Nabi Muhammad ﷺ dan mempersiapkan hijrahnya kaum Muslimin ke Madinah. Bai’at ini bukan hanya janji verbal, tetapi juga merupakan ikatan politik, sosial, dan militer antara kaum Muslimin Mekkah dan Madinah. Setelah bai’at ini, Rasulullah ﷺ mulai merencanakan hijrah ke Madinah sebagai strategi untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari penindasan Quraisy.
Hijrah ke Madinah menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam, karena di sanalah Islam berkembang pesat, dan Madinah menjadi pusat pemerintahan Islam pertama. Di Madinah, kaum Anshar dan kaum Muhajirin (Muslimin dari Mekkah yang hijrah) bersatu dalam ikatan persaudaraan yang kuat. Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran sentral Bai’at Aqabah Kedua sebagai fondasi awal .
Selain itu, Bai’at Aqabah Kedua juga menjadi cikal bakal pembentukan sistem politik Islam di Madinah. Dengan adanya komitmen dari kaum Anshar untuk melindungi Nabi, Rasulullah ﷺ memiliki basis kekuatan di luar Mekkah yang cukup kuat untuk mendirikan negara Islam. Ini menjadi tonggak penting dalam peralihan dari fase dakwah secara sembunyi-sembunyi menjadi perjuangan terbuka dalam menyebarkan ajaran Islam.
Kesimpulan
Bai’at Aqabah Kedua adalah salah satu peristiwa paling bersejarah dalam Islam yang menandai titik balik perjuangan Nabi Muhammad ﷺ. Peristiwa ini tidak hanya membuktikan komitmen kaum Anshar untuk melindungi Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin, tetapi juga membuka jalan bagi hijrah dan perkembangan pesat Islam di Madinah. Dengan janji yang kuat dan keberanian yang luar biasa, kaum Anshar memainkan peran penting dalam keberhasilan dakwah Islam dan membentuk dasar bagi berdirinya negara Islam pertama di Madinah.
Referensi:
- Hisyam, Ibnu. Sirah Nabawiyah. Qisthi Press, 2019.
- Al-Mubarakfuri, Shafiyurrahman. Ar-Rahiq al-Makhtum: Sirah Nabawiyah – Sejarah Lengkap Kehidupan Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wasalam. Qisthi Press, 2016.
- Katsir, Ibnu, dan Abu Ihsan al-Atsari. Sirah Nabi Muhammad. Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2010.