Menu Tutup

Batas Usia Perkawinan dalam Hukum Keluarga Negara-negara Muslim

Turki

Dalam undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendak menikah adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Dalam kasus-kasus tertentu pengadilan dapat mengijinkan pernikahan pada usia 15 tahun laki-laki dan 14 tahun perempuan setelah mendapat ijin orang tua atau wali. Undang-undang yang mengatur nikah ini sudah diamandemen pada tahun 1938.

Pada tahun 1972 dalam kasus-kasus tertentu, pengadilan masih boleh mengizinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan. Dalam fiqih Hanafi wacana tentang batasan umur pernikahan tidak secara kongrit menyebut umur, hanya secara tegas disebutkan bahwa salah satu syarat pernikahan adalah berak dan baligh, sebagaimana juga keduanya menjadi syarat umum bagi operasional seluruh tindakan yang bernuansa hukum. Karena itu baligh hanyalah syarat bagi kelangsungan suatu tindakan hukum bukan merupakan syarat keabsahan pernikahan.

Iran

Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan bagi pria adalah 18 tahun dan bagi wanita 15 tahun. Bagi seorang yang mengawinkan seseorang yang masih di bawah usia minimum nikah dapat dipenjara antara 6 bulan hingga 2 tahun. Jika seorang anak perempuan dikawinkan di bawah usia 13 tahun, maka yang mengawinkannya dapat dipenjara selama 2 minggu hingga 3 tahun. Di samping itu, bagi yang melanggar ketentuan ini dapat dikenai denda 2-20 riyal.

Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan tersebut berbeda dengan pandangan hukum mazhab Ja’fari. Menurut mazhab Ja’fari, seseorang telah dipandang dewasa (karenanya dpat melangsungkan pernikahan) jika telah berumur 15 tahun bagi pria dan 9 tahun bagi wanita. Mazhab Ja’far juga memandang bahwa seorang wali boleh mengawinkan anak yang masih di bawah umur. Dengan demikian ancaman hukuman bagi wali yang mengawinkan anak di bawah umur merupakan pembaharuan hukum keluarga di Iran yang bersifat administratif.

Yaman Selatan

Sebagaimana hukum keluarga di Negara-negara yang lain, Yaman Selatan juga diterapkan adanya batasan minimal usia nikah, yakni 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Namun batasan ini tidak terkait dengan keabsahan akad nika, hanya disebutkan bahwa itu merupkan suatu yang perlu untuk diperhatikan. Tampaknya hanya kemaslahatanlah yang mendasari ketetapan ini dan tidak banyak kepentingan Negara untuk ikut mengaturnya, sehingga peraturan ini hanya bersifat “anjuran”. Bila dikaitkan dengan fiqih klasik, hal ini terlihat tidak banyak berubah.  Perkawinan perempuan yang belum baligh (bila batasan usiah pernikahan tersebut boleh dikiaskan dengan kedewasaan, bulug), hampir semua fuqaha menyatakan keabsahannya. “Anjuran” di atas sama dengan satu riwayat dari asy-Syafi’I yang menyebutkan bahwa saya lebih senang jika seorang ayah tidak menikahkan anak perempuannya sebelum baligh.

Masih terkait dengan usia antara calon pengantin, juga ditetapkan bahwa perbedaan usia antara kedua calon pengantin tidak boleh lebih dari 20 tahum, kecuali bila calon perempuannya telah mencapai usia 35 tahun. Dalam pandangan fuqaha klasik, tidak ada larangan seperti ini. Preseden yang sering dijadikan rujukan adalah perkawinan Nabi dengan Aisyah, yang berbeda usia keduanya sangat jauh pada saat pernikahan.

Republik Tunisia

Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan perkawinan jika telah berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5 undang-undang 1956, yang mana sebelum diubah, ketentuan usia pernikahan adalah 17 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki.

Dengan ketentuan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus berusia 20 tahun untuk boleh melangsungkan perkawinan, bagi wanita yang berusia 17 tahun harus mendapat izin dari walinya. Jika sang wali tidak memberi izin, perkara tersebut dapat diputuskan oleh pengadilan. Akan tetapi pada tahun 1981, ketentuan pasal ini berubah, yaitu bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan, seseorang laki-laki harus sudah mencapai usia 20 tahun dan wanita telah mencapai umur 17 tahun. Sehingga bagi mereka yang belum sampai batasan usia tersebut, harus mendapat izin khusus dari pengadilan. Izin tidak dapat diberikan kalu tidak alas an yang kuat dan keinginan yang jelas dari masing-masing pihak. Di sampng itu, pernikahan di bawah umur, tergantung kepada izin wali. Jika wali menolak memberikan izin padahal para pihak sudah berhasrat kuat untuk menikah,perkara dapat diputuskan pengadilan. Ketentuan ini merupakan langkah maju jika dilihat dari ketentuan-ketentuan di dalam kitab fiqih maliki. Sebab tidak ada batasan yang jelas mengenai usia nikah ini dalam kitab-kitab tersebut.

Maroko

Batasan minimal usia kawin di Maroko bagi laki-laki 18 tahun sedangkan bagi wanita 15 tahun. Namun demikian disyaratkan izin wali jika perkawinan dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan.

Pembatasan demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam Al-Quran, al-Hadist maupun kitab-kitab Fiqih. Hanya saja para ulama mazhab sepakat bahwa baligq merupakan salah satu syarat bolehnya perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai. Imam Malik menetapkan umur 17 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan untuk dikategorikan baligh, sementara syafi’I dan hanbali menentukan umur 15 tahun, sedangkan Hanafi yang membedakan batas usia umur baligh bagi keduanya, yakni laki-laki 18 tahun sedangkan permpuan 17 tahun. Batasan ini merupakan batasan maksimal, sedangkan batasan minimal adalah laki-laki 15 tahun dan perempuan 9 tahun, dengna alas an bahwa pada umur itu ada laki-laki yang sudah mengeluarkan sperma da nada perempuan yang sudah haid sehingga bisa hamil.

Dalam hal ini nampaknya Maroko mengikuti ketentuan umur yang ditetapkan oleh Syafi’I dan Hambali. Batas umur 15 tahun bagi wanita Turki, Yordania dan Yaman Utara.

Aljazair

Pembentukan hukum keluarga di Aljazair diantaranya bermaksud meningkatkan usia nika bagi kedua calon mempelai. Hukum keluarga 1984 dengan tugas memperlihatkan hal ini. Pada pasal 7 secara jelas ditetapkan usia calon mempelai laki-laki 21 tahun dan calon mempelai perempuan 18 tahun. Usia nikah ini cukup tinggi dibandingkan dengan usia nikah yang terdapat dalam hukum keluarga di Negara-negara Islam lain. Tercatat hanya Banglades yang menyamai batas minimum usia nikah.

Dalam Nash (Al-Quran dan Hadist) tidak terdapat ketentuan  yang secara ekslipisit menetapkan batasan usia nikah. Para ahli fiqih juga tidak membahas usia nikah. Barangkali melacak pendapat mereka dapat dilakukan dengan mengaitkan usia baligh, karena baligh adalah syarat bagi calon mempelai untuk dapat melangsungkan pernikahan. Dalam hal ini, Maliki menetpakan usia 17 tahun. Namun demikian, pernikahan bagi yang masih di bawah usia 17 tahun dianggap sah, kalau menurut wali dapat mendatangkan kebaikan bagi yang bersangkutan.

Dapat di duga ketentuan suia nikah yang terdpaat dapam perundang-undangan Aljazair ini murni atas pertimbangan yang lebih bersifat sosiologis, sebab ketentuan ini tidak di ambil dari pandangan mazhab di luar Maliki. Mazhab Hanafi yang disinyalir menempati posisi kedua di Aljazair setelah mazhab Maliki, menetapkan usia baligh yang lebih rendah dari batasan ini, yakni 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.

Jadi, dalam batasan usia nikah Aljazair melakukan reformasi extra dektrinal, yaitu keluar dari pendapat yang berkembang di kalangan pemikir hukuk Islam (mazhab), seterusnya membuat keputusan hukum baru melalui ijtihad, dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip hukum islam.

Aturan usia nikah 20 tahun bagi laki-laki, 28 tahun bagi perempuan dapat saja diabaikan hakim atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan dan atas pertimbangan demi kebaikan para calon.

Afganistan

Perlakuan Undang-undang mengenai perkawinan anak tampak bahwa pakar hukum Afganistan mengikuti dua tujuan dalam masalah ini yaitu pembatasan dan pelanggaran secara tidak langsung. Undang-undang juga menentukan pembatasan-pembatasan terhadap praktik-pratik perkawinan anak saat menguatkan legalitas perkawinan anak, atau mencoba menghapus praktek perkawinan anak dengan mengundangkan hukum mengenai ketentuan usia perkawinan. Ketika Nizamnama 1921 Hukum Sipil 1977 menghapus perkawinan anak, hukum-hkum mengenai perkawinan tahun 1960 dan 1971 mengadopsi perundang-udangan untuk membatasi praktik perkawinan anak.

Tidak ada ketentuan jumlah umur layak nikah dalam Syariah. Merupakan prinsip umum kedewasaan untuk menikah ditenggarai dengan adanya masa puberitas secara fisik. Hukum sipil 1977 menetpakan bahwa “konfensasi” untuk menikah adalah ketik sudah mencapai umur 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk wanita. Wanita yang belum mencapai umur ini hanya dapat dinikahkan oleh ayahnya atau oleh Qhadi, perkawinan tidak diperkenankan bagi gadis dibawah umur 17 tahun bagaimana pun keadaanya. Wanita dewasa dan berkompeten dimungkinkan menikah tanpa izin wali. Sebagai konsekuensi dari legislasi ini, perkawinan anak secara efektif dapat terhapus dan kekuasaan wali memaksa wanita hanya berlaku dengan memperhatikan kondisi gadi-gadi antara umur 15 dan 16 tahun, walupun begitu hal ini pun masih bergantung kepada izin dari pengadilan.

Pada tahun 1978 Majelis Revolusuiner menerbitkan sebuah keputusan nomor 7 mengenai perkawinan anak. Di bawah keputusan ini, ketentuan perkawinan gadis di bawah umur 16 tahun dan pemuda di bawah 18 tahun adalah terlarang, dan pelanggaran dapat dikenakan hukuman penjara antara 6 bulan sampai 3 tahun.

Somalia

Di dalam kitab-kitab hukum keluarga klasik disebutkan bahwa pria dapat melangsungkan pernikahan jika ia telah “mimpi (ihtilam) dan untuk wanita telah mengalami mentruasi (haid). “Mimpi dan menstuasi adalah tanda bahwa baik pria maupun wanita tersebut telah dewasa tau akil baligh. Peristiwa “mimpi” dan menstruasi umumnya akan dialami oleh mereka pada usia 13-14 tahun, tergantung pada kondisi alam di suatu tempat dan masyarakat tertentu.

Somalia menetapkan umur minimal 18 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita untuk melangsungkan perkawinan.  Hanya saja dalam kondisi tertentu pihak pengadilan dapat memberikan izin nikah bagi pasangan yang belum cukup umur. Selain itu Somalia juga mengatur pernikahan di bawah umur bagi wanita dengan beberapa persyaratan. Seseorang fadis yang belum mencapai umur di dalam perkawinan dapat diwakili oleh ayahnya dan jika ayahnya tidak ada, oleh ibunya, kakek saudara tertua atau paman. Jika mereka tidak ada atau berada jauh dari 100 km dari tempat dilangsungkan perkawinan, pengadilan atau petugas yang diberikan kuasa dapat bertindah sebagai wali.

DAFTAR PUSTAKA

  • Titik Triwulan dan Tranto, Pologami perspektif, Perikatan Nikah, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), Hal. 2
  • M. Attho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Pres, 2003), hal. 10
  • Amir Syarifuddin, Hukum Perkawnan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 67
  • Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hal. 35
  • Lili Rasjidi, Hukum Perkwinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 111
  • R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1960), hal. 41

Baca Juga: