Batasan Bercumbu Saat Haid Menurut 4 Mazhab

Seluruh ulama fiqih sepakat haramnya berjima’ dengan isteri yang sedang haid. Namun, mereka membolehkan untuk mencumbui bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut isterinya itu dalam batasan-batasan tertentu. Apa saja batasannya?

Seluruh ulama fiqih dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) sepakat bahwa wanita yang sedang mengalami haid dilarang untuk berjima’ atau berhubungan intim.[1]

Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran Al-Kariem berikut ini:

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.. (QS. Al-Baqarah:222)

Dalil keharamannya juga disebutkan dalam hadits ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang sedang haid maka beliau menjawab:

Dari Anas RA bahwa orang yahudi bila para wanita mereka sedang mendapat haidh, mereka tidak memberikan makanan pada para wanita itu. Rasulullah SAW bersabda, “Lakukan segala yang kau mau kecuali nikah (hubungan badan).” (HR Muslim).

Batasan mengenai larangan hubungan badan yang disepakati para ulama diatas adalah apabila terjadi jima’ dalam arti yang sesungguhnya, yakni terjadinya dukhul atau penetrasi.

Mereka juga membolehkan percumbuan yang dilakukan dengan isterinya itu, di anggota tubuh SELAIN yang ada di antara pusar dan lutut isteri. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah RA :

“Dari Aisyah RA beliau berkata : Rasululullah SAW menyuruhku untuk memakai sarung, kemudian beliau mencumbuiku dalam keadaan haid.” (Muttafaq Alaih)

Dalam hadits yang lain dari Aisyah RA:

“Jika salah satu dari kami (isteri Nabi) ada yang haid, dan Rasulullah SAW ingin mencumbuinya, maka beliau Saw menyuruh isterinya yang haid itu untuk memakai kain sarung, kemudian beliau mencumbuinya.” (HR. Bukhari)`.

Dalam hadits dari Ummul Mukminin Maimunah RA:

“Rasulullah Saw mencumbui isterinya dalam keadaan haid, apabila isterinya itu memakai sarung” (HR. An-Nasa’i)

Ketika para ulama membolehkan percumbuan dengan selain yang ada di antara pusar dan lutut, lalu bagaimana hukumnya mencumbui bagian itu jika tidak sampai terjadi jima’?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat sebagaimana berikut :

A. Madzhab Hanafi

Ulama dalam madzhab ini membolehkan seorang suami untuk mencumbui anggota tubuh isterinya yang ada di antara lutut dan pusarnya. Dengan syarat, percumbuan itu terjadi dengan adanya penghalang yang mencegah sentuhan langsung kulit dengan kulit, seperti sarung, kain, atau sejenisnya. Namun suami tidak boleh melihat bagian-bagian tersebut.