Namun untuk bisa dianggap sebagai riba nasi’ah secar benar dan akurat, setidaknya harus ada lima ketentuan yang terpenuhi.
Hutang
Tidaklah disebut riba nasi’ah kalau akadnya bukan hutang piutang. Misalnya A pinjam uang dari B, lalu B harus membayar lebih dari jumlah yang dia pinjam.
Namun kalau yang terjadi bukan pinjam melainkan titip uang, kasusnya sudah keluar dari riba. Misalnya A titip uang 10 juta kepada B. Jelas sekali akadnya bukan hutang melainkan titipan.
Seandainya saat pengembaliannya B memberi tambahan kepada A menjadi 11 juta, kasus ini tidak bisa dihukumi sebagai riba. Sebab riba itu hanya terjadi kalau kasusnya pinjam meminjam atau hutang.
Berupa Uang
Hutang yang dimaksud di atas hanya sebatas pada hutang dalam wujud uang, baik emas perak di masa lalu atau pun uang kertas di masa sekarang. Pendeknya harus berupa benda yang berfungsi sebagai alat pembayaran dalam jual-beli.
Sedangkan hutang dalam wujud benda-benda, barang atau aset-aset, misalnya rumah, kendaraan, tanah dan lainnya, tidak berlaku riba meski saat pengembaliannya ada tambahan atau kelebihan yang harus dibayarkan. Sebab pinjam benda yang harus ada tambahannya masuk ke dalam akad sewa menyewa, atau disebut dengan ijarah (إجارة). Dan ijarah adalah akad yang dihalalkan dalam agama.
Tambahan Menjadi Syarat di Awal
Titik keharaman riba nasi’ah ini sebenarnya ada pada syarat yang disepakati di awal, dimana harus ada tambahan dalam pengembaliannya.
Seandainya tambahan itu tidak disyaratkan di awal dan terjadi begitu saja, ini pun juga bukan termasuk riba yang diharamkan.
Dasarnya adalah kasus yang terjadi pada Rasulullah SAW, ketika beliau meminjam seekor unta yang masih muda (kecil) dari seseorang. Giliran harus mengembalikan, ternyata Beliau tidak punya unta yang muda. Maka diberikanlah unta yang lebih tua (besar).
Hadits ini menunjukkan bahwa seandainya kelebihan atau tambahan ini diberikan begitu saja, tidak lewat syarat atau kesepakatan sebelumnya, maka tidak menjadi riba.
Tambahan Yang Menjadi Kebiasaan
Namun meski tidak disyaratkan saat akad peminjaman, tetapi bila sudah jadi kebiasaan (’urf) yang berlaku, sehingga setiap pinjam selalu ada tambahan yang diberikan, maka ini termasuk riba yang diharamkan. Memang tidak disyaratkan, tetapi kalau sudah jadi kebiasaan, hukumnya menjadi tidak boleh.
Tidak Dalam Kasus Inflasi
Di masa sekarang kita mengenal ada inflasi yang ekstrem, sehingga membuat nilai mata uang anjlok. Misalnya pinjam uang senilai 10 rupiah juta di tahun 1970. Kalau sampai 50 tahun kemudian belum dikembalikan, apakah pengembaliannya tetap 10 juta ataukah harus disesuaikan dengan nilainya di hari ini?
Di tahun 1970 uang 10 juta bisa beli rumah lumayan besar. Tapi uang segitu di 2020 cuma cukup buat beli pintu gerbangnya saja.
Maka hal ini membuat para ulama berbeda pendapat. Ada yang keukeuh hanya boleh dibayar 10 juta saja. Tapi ada juga yang lebih realistis dan membolehkan pengembaliannya disesuaikan dengan nilai yang setara di hari ini.