Istilah “kekerasan” dalam kamus besar bahasa Indonesia juga diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera, luka, atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[1] kekerasan dalam rumah tangga, diatur dalam pasal 5 PKDRT yang menyatakan bahwa: ”Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam ruang lingkup rumah tagganya, dengan cara: a) kekerasan fisik, b) kekerasan psikis, c) kekerasan seksual, atau, d) penelantaran rumah tangga “.[2]
Dari pengertian diatas, ada beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan atau sebainya yaitu:
- Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).
- Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaanpsikisberatpadaseseorang (pasal7)
- Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
- Kekerasan seksual meliputi (pasal 8):
- Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut.
- Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
- Penelantaran dalam rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga.
Dari bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga diatas, pastinya ada beberpa faktor yang melatar belakangi terjadinya tindak kekerasan gender yaitu: faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berkaitan erat dengan kekuasaan lak-laki di kalangan masyarakat. Diantaranya:[3] Pertama, Budaya patriakhi yang menempatkan posisi laki-laki dianggap lebih unggul dari pada perempuan. Dan hal ini pengaruh yang kuat dari tradisi atau budaya lokal tertentu yang berkembang di daerah Islam dan lain sebagainya. Kedua, Pemahaman agama yang bias gender menganggap bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan dan berhak dalam bentuk apapun.[4] Ketiga, Labelisasi perempuan dengan kondisi fisik yang lemah, cendrung menjadi anggapan objek pelaku kekerasan. Akibat dari lebeling ini laki-laki memanfaatkan kekuatannya untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik, psikis maupun seksual. Empat, Kekuasaan dan keudukan bisa menjadi terjadinya kekerasan pengucilan. Hakekat kekuasaan kedudukan sesungguhnya merupakan kewajiban untuk mengatur, bertanggung jawab dan melindungi menghormati, pihak yang lemah, namun seringkali kebalikannya, dengan sarana kekuasaan kedudukan yang legitimate.
Faktor internal, penyebab faktor ini Menurut R. Langlai dan Pauol Levy mengatakan bahwa bentuk timbulnya kekersan laki-laki terhadap perempuan dikarenakan: emosional, pihak ketiga, sakit mental, pecandu alkohol dan obat bius, penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, kurangnya komunikasi, penyelewengan seks, citra diri yang rendah, frustasi, perubahan situasi dan kondisi.[5]
Dari beberapa faktor internal tersebut yang biasanya tidak disadari oleh suami atau istri dalam rumah tangga akan memicu kepada kekerasan dan hal ini banyak terjadi sampai kepada meja hijau demi mencari perlindungan hukum agar terbebas dari diskriminasi. Dampak dari hal itu juga ikatan perkawinan menjadi retak oleh factor-faktor tersbut yang menuju kepada perceraian.
Untuk memahami masalah kekerasan dalam rumah tangga, kita harus memahami siklus atau lingkaran kekerasan tersebut. Adapun siklus atau tahap-tahap tersebut sebagai berikut: tahap awal (konflik) tahap munculnya ketegangan, tahap kekerasa, dan tahap bulan madu semu.
[1] WJS. Purwodarminto, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 489.
[2] UU.PKDRT, 5.
[3] Mufidah Ch et al. “Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan? Panduan Pemula Untuk Pendamping Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak”, (PT. PSG dan pilar media, 2006), 8-10.
[4] Farkha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasn Dalam Rumah Tangga (Jakarta:
Lembaga Kajian Agama Dan Gender, 1999), 25-27.
[5] Fathul Djannah, Kekerasan terhadap Istri, (Yogyakarta:LKIS, 2003), 14-15.