Menu Tutup

Bentuk-bentuk Mahar dalam Pernikahan

[otw_shortcode_dropcap label=”D” background_color_class=”otw-green-background” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]alam Islam, mahar bukanlah “harga” dari seorang perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah jual beli wanita. Maka dari itu, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar, ia bersifat relatif bahkan bisa disesuaikan dengan standar kemampuan dan kepantasan dalam suatu masyarakat.

Secara umum, para ulama mensyaratkan bahwa mahar adalah sesuatu yang dapat disebut sebagai harta (maal). Hal ini didasarkan kepada ayat berikut:

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban … (QS. An-Nisa’: 24)

Para ulama juga menyebutkan bahwa mahar yang berupa harta itu, dapat berbentuk tiga hal, yaitu: (1) tsaman (ثَمَن) atau uang yang dapat digunakan untuk membeli sesuatu, (2) mutsamman (مُثَمَّن) atau benda / barang yang memiliki nilai jual, dan (3) ujrah (أُجْرَة) atau upah / honor atas suatu jasa pekerjaan tertentu.

Mahar Berupa Tsaman atau Uang

Para ulama sepakat bahwa bentuk mahar dapat berupa uang (tsaman) yang biasa digunakan untuk membeli sesuatu. Hal ini didasarkan pada praktik pernikahan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan para shahabat yang memang terbiasa menunaikan mahar menggunakan uang.

Dalam sutau hadits, disebutkan bahwa mahar Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – saat menikah sebesar 500 dirham, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:

Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah, istri Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -: “Berapakah maskawin Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -?” Dia menjawab: “Mahar beliau terhadap para istrinya adalah 12 uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu, berapakah satu nasy itu?” Abu Salamah menjawab: “Tidak.” Aisyah berkata: “1/2 uqiyah, jumlahnya (total) sama dengan 500 dirham. Demikianlah maskawin Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – untuk masing-masing istri beliau.” (HR. Muslim)

Imam an-Nawawi – rahimahullah – berkata dalam kitabnya, al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj:

Ashhab (ulama Syafi’iah) kami, berdasarkan haditsni menganjurkan untuk memberi mahar pernikahan sebesar 500 dirham. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin al-Hajjaj, (Bairut: Dar Ihya’ at-Turats al-’Arabi, 1392), cet. 2, hlm. 9/215.)

Dirham adalah mata uang perak yang sudah biasa digunakan dalam perniagaan pada masa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Kira-kira, berapakah nilai 500 dirham jika dikonversikan ke mata uang rupiah hari ini?

Menurut informasi dari geraidinar.com yang penulis akses pada tanggal 2 Mei 2020, mata uang satu dirham setara dengan Rp. 62.725,-. Dengan demikian jika 500 dirham dikalikan dengan Rp. 62.725, maka setara dengan Rp. 31.362.500,- (31,4 juta rupiah).

Mahar Berupa Mutsamman atau Benda

Di samping dalam bentuk uang, para ulama juga sepakat bahwa mahar juga boleh berbentuk mutsamman atau barang / benda yang memiliki nilai jual. Hal ini juga didasarkan kepada praktik pernikahan para shahabat yang diakui oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Di mana, di antara shahabat ada yang memberikan mahar pada istrinya berupa batu emas sampai sepasang sandal.

Dari Anas bin Malik – radhiyallahu ‘anhu –: bahwasannya Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – melihat bekas kuning pada Abdurrahman bin Auf – radhiyallahu ‘anhu –, maka beliau bersabda: “Apa ini?” Abdurrahman menjawab: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku baru menikahi wanita dengan maskawin berupa emas seberat biji kurma.” Lalu beliau bersabda: “Semoga Allah memberkati perkawinanmu, adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari Muslim)

Dari Sahl bin Sa’d – radhiyallahu ‘anhu –: bahwasanya Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda kepada seseorang: “Menikahlah meskipun maharnya hanya dengan cincin besi.” (HR. Bukhari)

Dari Ibnu Abbas, bahwa Ali berkata: Dahulu saat aku akan menikahi Fathimah – radliallahu ‘anha -, aku berkata: wahai Rasulullah, tolong Fatimah serumahtanggakan denganku, beliau bersabda: “Baik, berilah ia sesuatu.” Aku berkata: Aku tidak memiliki sesuatu. Beliau bersabda: “Dimanakah baju zirahmu yang anti pedang itu?.” Aku menjawab: Ia ada padaku. Beliau bersabda: “Berikan padanya.” (HR. Nasai, Thabrani dan Baihaqi)

Dari Amir bin Rabi’ah – radhiyallahu ‘anhu –: bahwa ada seorang wanita dari bani Fazarahmenikah dengan mahar berupa sepasang sandal. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – lantas bertanya: “Apakah kamu rela atas diri dan hartamu dengan dua sandal ini?.” Dia menjawab: “Ya.” (‘Amir bin Rabi’ah) berkata; (Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -) membolehkannya. (HR. Ahmad, Tirmizi dan Ibnu Majah)

Hanya saja, para ulama mensyaratkan beberapa syarat untuk sahnya pemberian mahar yang berupa benda atau barang. Imam ad-Dardir al-Maliki mengatakan bahwa di antara syarat mahar yang berupa benda adalah benda tersebut merupakan benda yang memiliki nilai (mutamawwil), suci/ tidak najis (thohir), bermanfaat (muntafi’ bihi), bisa diserahkan (maqdur) dan diketahui kadarnya (ma’lum). (Ahmad bin Muhammad ash-Shawi, Hasyiah ash-Shawi ‘ala asy-Syarh ash-Shaghir: Bulghah as-Salik li Aqrab al-Masalik, hlm. 2/428.)

Dengan demikian, tidak sah suatu mahar apabila yang diserahkan itu bukan merupakan harta dengan syarat-syaratnya, seperti jika:

  • Benda tidak bernilai, seperti sampah, reruntuhan bangunan dan semisalnya.
  • Benda najis, seperti darah, bangkai, tinja, dan semua benda najis, termasuk anjing dan babi.
  • Benda yang tidak ada manfaatnya, seperti barang bekas limbah yang tidak lagi berguna.
  • Benda yang tidak bisa diserahkan, seperti ikan yang berenang di laut lepas.
  • Benda yang tidak diketahui keberadaannya, seperti mobil yang dicuri dan tidak jelas apakah bisa kembali atau tidak.

Mahar Berupa Ujroh atau Jasa

Pada dasarnya para ulama sepakat bahwa mahar dapat berwujud pemberian manfaat atas sesuatu kepada istri. Apakah berupa manfaat dari benda seperti kendaraan atau perbuatan manusia seperti pelayanan seorang pembantu yang disewa oleh suami untuk menjadi mahar bagi istrinya.

Hal ini didasarkan kepada ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang mahar dari pernikahan Nabi Musa – ’alaihis salam – dengan anak gadis Nabi Syuaib – ’alaihis salam – yang berupa jasa pekerjaan yyang dilakukanoleh Nabi Musa – ’alaihis salam -.

Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku 8 tahun dan jika kamu cukupkan 10 tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”. (QS. al-Qosos: 27)

Namun para ulama berbeda pendapat terkait mahar dalam bentuk jasa yang diisyaratkan dalam hadits-hadits pernikahan shahabat. Di mana hadits-hadits tersebut seakan mengisyaratkan bahwa mahar berupa jasa tersebut tidak memiliki nilai harta. Padahal syarat sahnya mahar adalah jika memiliki nilai harta (mutaqowwam).

Seperti mahar pernikahan Ummu Sulaim dan Abu Thalhah dalam riwayat Nasai, yang berupa keislamannya.

Dari Anas – radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim. Kemudian Ummu Sulaim berkata: demi Allah, orang sepertimu tidakpantas ditolak wahai Abu Thalhah. Akan tetapi engkau adalah orang kafir dan aku adalah wanita muslimah. Tidak halal aku menikah denganmu, maka jika engkau masuk Islam maka itu adalah maharku. Dan aku tidak meminta selain itu kepadamu. Kemudian iapun masuk Islam, dan itulah yang menjadi maharnya. Tsabit berkata: aku tidak mendengar sama sekali wanita yang maharnya lebih mulia daripada Ummu Sulaim, yaitu Islam. Kemudian Abu Thalhah berumah tangga dengannya dan melahirkan anak dari perkawinannya. (HR. Nasai)

Dalam memahami hadits ini dan kaitannya dengan ketentuan mahar yang mesti berupa harta atau sesuatu yang bernilai harta, para ulama memberikan dua takwil.

Pertama: Bahwa maksud dari keislaman Abu Thalhah sebagai mahar, bukanlah mahar secara hakiki. Namun sebagai bentuk tujuan yang mulia dari suatu pernikahan, yaitu untuk memeluk Islam. Seakan-akan, islamlah yang menjadi maharnya.

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (w. 312 H) berkata dalam kitabnya, Syarah Ma’ani al-Atsar:

Mahar islam tersebut, bukanlahmahar secara haqiqi. Namun maksudnya adalah maksud dari pernikahannya dengan tujuan keislamannya. Dengan demikian, maknanya adalah ia menikahinya agar memeluk agama Islam. (Ahmad bin Muhammad Abu Ja’far ath-Thahawi, Syarah Ma’ani al-Atsar, t.t: ‘Alam al-Kutub, 1994/1414), cet. 1, hlm. 3/17)

Kedua: Mahar keislaman itu dibolehkan sebelum diwajibkannya mahar berupa harta dalam QS. An-Nisa’ ayat 4. Sebab, Abu Thalhah termasuk shahabat Anshor yang masuk Islam pada masa awal fase Madinah.

Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (w. 456 H) berkata dalam kitabnya, al-Muhalla fi Syarh al-Mujalla bi al-Hujaj wa al-Atsar:

Mahar keislaman itu sebelum hijrahnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – beberapa waktu ke Madinah. Sebab Abu Thalhah termasuk shahabat Anshor yang terdahulu masuk Islam. Dan saat beliau menikah, ayat tentang kewajiban memberi mahar mahar harta belumlah turun. (Ali bin Ahmad Ibnu Hazm azh-Zhahiri, al-Muhalla fi Syarh al-Mujalla bi al-Hujaj wa al-Atsar, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 9/98.)

Begitu pula mahar pernikahan yang berupa bacaan al-Qur’an, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

Dari Sahl bin Sa’d – radhiyallahu ‘anhu – ia berkata; Ada seorang wanita datang kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan berkata: “Sesungguhnya aku menghibahkan diriku.” Wanitaitu berdiri agak lama, lalu seorang laki-laki pun berkata: “Nikahkahlah aku dengannya, jika memang Anda tidak berhasrat padanya.” Beliau lantas bertanya: “Apakah kamu memiliki sesuatu untuk maharnya?.” Laki-laki itu berkata: “Aku tidak punya apa-apa kecuali kainku ini.” Beliau bersabda: “Jika kamu memberikannya, maka kamu duduk tidak berkain. Carilah sesuatu.” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak mendapatkan sesuatu.” Beliau bersabda lagi: “Carilah, meskipun hanya berupa cincin besi.” Namun laki-laki itu ternyata tak mendapatkan sesuatu, akhirnya beliau bertanya: “Apakah kamu hafal sesuatu dari al-Qur`an?.” laki-laki itu menjawab: “Ya, yaitu surat ini dan ini.” Ia menyebutkannya. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya kami menikahkanmu dengan wanita itu dengan mahar hafalan al-Qur’anmu.” (HR. Bukhari Muslim)

Dalam memahami hadits ini, para ulama sepakat bahwa jika yang dimaksud dengan hafalan al-Qur’an adalah sekedar hafalan yang dimiliki oleh suami, namun bukan untuk diajarkan kepada istri, maka hal ini tidak bisa menjadi mahar.

Namun jika bacaan al-Qur’an itu berupa jasa pengajaran yang akan dilakukan suami kepada istrinya, pada dasarnya para ulama sepakat bahwa hal itu dibolehkan. Namun mereka berbeda pendapat terkait apakah pengajaran al-Qur’an termasuk jasa yang bernilai harta hingga dapat dijadikan mahar pernikahan.

Imam an-Nawawi – rahimahullah – berkata dalam kitabnya, al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, yang menegaskan kebolehan hal tersebut sekaligus menjelaskan kedua mazhab yang berbeda dalam mengkatagorikan pengajaran al-Qur’an sebagai sesuatu yang dapat bernilai harta:

Dalam hadits ini terdapat dalil akan bolehnya mahar berupa pengajaran al-Qur’an dan bolehnya mengambil upah dari mengajar al-Qur’an. Dan kedua hal tersebut dihukumi boleh oleh Imam asy-Syafi’i, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan bin Shalih, Malik bin Anas, Ishaq bin Rahawaih dan selain mereka. Namun tidak diperbolehkan oleh sejumlah ulama seperti az-Zuhri dan Abu Hanifah. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin al-Hajjaj, hlm. 9/214.)

Selain itu, jumhur ulama yang membolehkan jasa mengajarkan al-Quran dijadikan sebagai mahar, mensyaratkan dua hal untuk kebolehannya:

  • Bahwa harus ditetapkan dengan pasti kuantitas materi yang harus diajarkan, apakah seluruh ayat al-Quran, atau setengahnya, atau sebagian dari surat-suratnya. Demikian pula batas waktu pengajaran, apakah sepekan, sebulan, setahun atau seumur hidup.
  • Bahwa ayat yang hendak diajarkan merupakan ayat al-Qur’an yang belum dikuasai oleh istri, hingga tampak adanya beban usaha yang dilakukan suami. Dengan demikian, jika maharnya adalah ayat yang umumnya sudah dihafal oleh umat Islam seperi surat al-Fatihah, maka pengajaran surat ini tidak boleh dijadikan sebagai mahar.

Imam an-Nawawi berkata dalam kitabnya, Raudhah ath-Thalibin wa ’Umdah al-Muftin:

Setiap perbuatan yang boleh dijadikan objek jual beli jasa, maka boleh untuk dijadikan mahar, seperti pengajaran al-Qur’an. Dan disyaratkan dua hal untuk boleh dijadikan mahar. Pertama: Suami istri mengetahui batasan pengajarannya dengan dua cara: (1) Kadar ayat al-Qur’an yang hendak diajarkan. Dengan mengatakan, “Seluruh ayat al-Qur’an, atau tujuh surat di awal atau di akhir …” dan kadar waktu pengajarannya, seperti sebulan … Dan syarat kedua: Kadar ayat yang diajarkan terdapat unsur kulfah (beban usaha)… (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, hlm. 7/304-305.)

 

Baca Juga: