Menu Tutup

Bepergian dengan Pesawat di Siang Hari di Bulan Ramadhan, Apakah Harus Berpuasa?

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan rahmat bagi umat Islam. Di bulan ini, umat Islam diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa adalah salah satu rukun Islam yang memiliki banyak hikmah dan manfaat, baik secara spiritual maupun kesehatan.

Namun, bagaimana jika kita harus bepergian dengan pesawat di siang hari di bulan Ramadhan? Apakah kita harus tetap berpuasa atau boleh membatalkannya? Bagaimana hukum puasa bagi orang yang melakukan perjalanan jauh dengan pesawat? Dan bagaimana cara mengganti puasa yang ditinggalkan?

Hukum Puasa bagi Orang yang Bepergian dengan Pesawat

Dalam Islam, orang yang bepergian dengan jarak sekitar 80,6 kilometer atau lebih dapat dikategorikan sebagai musafir atau orang yang dalam perjalanan jauh. Musafir termasuk dalam golongan yang mendapatkan keringanan atau rukhsah untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 184:

“Barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan [lalu berbuka], maka [wajiblah baginya berpuasa] sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memberikan kemudahan bagi umat-Nya yang mengalami kesulitan atau keberatan untuk berpuasa karena sakit atau bepergian. Mereka boleh membatalkan puasanya dan menggantinya di hari-hari lain setelah Ramadhan.

Namun, keringanan ini tidak bersifat mutlak. Artinya, musafir boleh memilih untuk tetap berpuasa atau membatalkannya, tergantung pada kondisi dan kemampuan masing-masing. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Hamzah bin Amr Al-Aslami RA:

“Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku sering melakukan safar dan aku kuat untuk berpuasa.’ Beliau bersabda: ‘Jika kamu menghendaki maka tetaplah berpuasa, dan jika kamu menghendaki maka batalkanlah.’” (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memberikan kebebasan kepada musafir untuk memilih antara berpuasa atau tidak. Jika musafir merasa kuat dan tidak merasakan kesulitan atau bahaya akibat berpuasa saat bepergian, maka ia boleh melanjutkan puasanya. Namun, jika musafir merasa lemah atau khawatir akan terkena dampak negatif akibat berpuasa saat bepergian, seperti dehidrasi, mabuk udara, atau gangguan kesehatan lainnya, maka ia boleh membatalkannya.

Adapun tujuan dari perjalanan juga menjadi pertimbangan dalam menentukan hukum puasa bagi musafir. Jika tujuan perjalanan adalah untuk ibadah, seperti haji, umrah, ziarah, dan sebagainya, atau tujuan mubah, seperti berdagang, silaturahmi, pendidikan, dan sebagainya, maka perjalanan tersebut boleh menjadi alasan untuk tidak berpuasa. Namun, jika tujuan perjalanan adalah untuk maksiat, seperti berjudi, minum-minuman keras, zina, dan sebagainya, maka perjalanan tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk tidak berpuasa. Justru orang yang melakukan perjalanan maksiat harus tetap berpuasa dan bertaubat kepada Allah SWT.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum puasa bagi orang yang bepergian dengan pesawat adalah boleh tidak berpuasa dengan syarat:

  • Jarak perjalanan minimal 80,6 kilometer atau lebih.
  • Tujuan perjalanan adalah untuk ibadah atau hal-hal yang mubah.
  • Merasa lemah atau khawatir akan terkena dampak negatif akibat berpuasa saat bepergian.

Cara Mengganti Puasa yang Ditinggalkan

Jika musafir memilih untuk tidak berpuasa saat bepergian dengan pesawat, maka ia harus mengganti puasanya di hari-hari lain setelah Ramadhan. Hal ini disebut dengan qada puasa atau puasa ganti. Qada puasa adalah kewajiban bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadhan dengan alasan yang dibenarkan syariat, seperti musafir, sakit, haid, nifas, dan sebagainya.

Qada puasa dianjurkan untuk segera dilakukan setelah Ramadhan berakhir. Rentang waktu qada puasa dapat ditunaikan mulai dari bulan Syawal hingga Syaban tahun berikutnya, asalkan belum masuk Ramadhan lagi. Jika seseorang menunda-nunda qada puasa hingga masuk Ramadhan lagi tanpa alasan yang dibenarkan syariat, maka ia berdosa dan harus membayar kaffarah atau denda selain mengganti puasanya.

Cara melakukan qada puasa adalah dengan meniatkan puasa ganti di malam hari sebelum tidur atau sebelum terbit fajar. Kemudian menjalankan puasa seperti biasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Qada puasa tidak harus dilakukan secara berturut-turut, tetapi boleh dipisah-pisah sesuai kemampuan dan kesempatan.

Contoh niat qada puasa adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ فَرْضِ رَمَضَانَ الْمَاضِي لِلّهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an fardi ramadhani al-madhi lillahi ta’ala

Artinya: “Saya niat puasa esok hari untuk mengganti puasa Ramadhan yang lalu karena Allah Ta’ala.”

Baca Juga: