Menu Tutup

Biografi Empat Imam Mazhab

Riwayat Hidup Imam Hanafi

Imam Abu Hanifah dikenal dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit Al Kufi, lahir di Irak (kufah) pada tahun 80 Hijrah ( 699 M). Ia hidup pada dua masa: masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan dan masa Bani Abbas, Khalifah Al-Manshur. Digelar Abu Hanifah ( suci lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia, serta menjahui perbuatan dosa dan keji. Atjep Djazuli menjelaskan “Abu Hanifah diambil dari ayat Fattabi’umillata Ibrahima Hanifa ( maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus), Q.S. Ali Imran ayat 95.[1]

Imam Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 H di kufah pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan ( Bani Umayyah).

Mengenai kelahiran Abu Hanifah, di antaranya ahli sejarah sebenarnya terdapat perbedaan. Ada di antara ahli yang menyebut tahun 61 H sebagai tahun kelahiran beliau, namun ada juga yang mengatakan tahun 70 H, di antara semua pendapat, yang paling kuat dan dapat digunakan adalah 80 H. jika Abu Hanifah lahir tahun 61 H, berarti beliau ditugaskan menjadi Qadhi pada usia Sembilan puluh tahun. Tentu saja ini tidak masuk akal. Tidak mungkin orang setua itu diberikan tugas berat yang berkaitan dengan kemaslahatan umat.[2]

Imam Abu Hanifah tinggal di kota kupah di Irak. Kota ini terkenal sebagai kota yang dapat menerima perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Ia seorang yang bijak dan gemar ilmu pengetahuan. Ketika ia menambah ilmu pengetahuan, mula-mula ia belajar sastra bahasa arab. Karena ilmu bahasa, tidak banyak dapat digunakan akal ( pikiran) ia meninggalkan pelajaran ini dan beralih mempelajari fiqih. Ia berminat pada pelajaran yang banyak menggunakan pikiran. Di samping mempelajari ilmu fiqih, beliau sempat juga mempelajari ilmuilmu yang lain, seperti tauhid dan lain-lain, beliau berpaling untuk memperdalam ilmu pengetahuan karena menerima nasihat seorang gurunya bernama Al-Sya’ab.[3]

Abu Hanifah memiliki seorang ayah bernama Thabit bin Zauty Al-Farisy,sementara kakeknya merupakan penduduk Kabul, sebuah kota di Afganistan,[4] ibu Abu Hanifah tidak terkenal dikalangan ahli-ahli sejarah tetapi walau bagaimanapun ia menghormati dan sangat taat kepada ibunya.[5] Keluarga Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedagang di sendiri sempat terlibat dalam urusan perdagangan namun hanya sebentar sebelum dia memutuskan perhatian pada soal-soal keilmuan.

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai gambaran, dia pernah belajar fiqih kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu, yakni Humad Bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya.

Setelah wafat gurunya, Imam Abu Hanifah kemudian mulai mengajar di banyak majelis ilmu di Kuffah.[6]

Sepuluh tahun sepeninggal gurunya, yakni pada tahun 130 H, Imam Abu Hanifah pergi meninggalkan Kuffah menuju Makkah. Dia tinggal beberapa tahun lamanya di sana, dan di tempat itu pula dia bertemu dengan salah seorang murid Abdullah Bin Abbas r.a. Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu’, dan sangat teguh memegang ajaran agama. Kecerdasan Imam Abu Hanifah diketahui melalui pengakuan dan pernyataan para ilmuwan, diantaranya:

  1. Imam Ibnul Mubarok, pernah berkata: “Aku belum pernah melihat seorang laki-laki lebih cerdik dari pada Imam Abu Hanifah”.
  2. Imam Ali Bin Ashim, berkata: “Jika sekiranya ditimbang akal Abu Hanifah dengan akal penduduk kota ini, tentu akal mereka itu dapat dikalahkannya”.
  3. Raja Harun al-Rasyid, pernah berkata: “Abu Hanifah adalah seseorang yang dapat melihat dengan akalnya pada barang apa yang tidak dapat dilihat dengan mata kepalanya”.
  4. Imam Abu Yusuf, berkata: “Aku belum pernah bersahabat dengan seorang yang cerdas dan cerdik melebihi kecerdasan akal pikiran Abu Hanifah”.[7]

Imam Abu Hanifah dikenal sangat rajin menuntut ilmu. Semua ilmu yang berkaitan dengan keagamaan dipelajari, mulai dari hukum agama hingga ilmu kalam. Beliau juga dikenal sebagai salah satu ulama yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, sejak dari proses belajar hingga dikenal sebagai imam mazhab.

Sebagai seorang yang alim dan cerdas, Abu Hanifah pernah mendapat tawaran dari penguasa (Bani Umayyah) untuk menjadi Gubernur. Namun tawaran itu ditolaknya, sehingga beliau disiksa dan dipenjara. Namun berkat bantuan pengawal penjara (sipir), dia kemudian dapat diloloskan, untuk selanjutnya pergi ke Mekkah dan bermukim di sana beberapa saat lamanya. Setelah Bani Umayyah runtuh, dia pun pulang ke Kuffah. Namun pada masa setelah Bani Umayyah, di mana pemerintahan dipegang oleh Bani Abbasiyyah, beliau juga mengalami nasib yang sama. Bahkan nasib beliau lebih tragis. Akibat penolakan untuk menjadi Qadli Qudlot, Abu Hanifah dipenjara dan disiksa hingga akhir hayatnya.[8]

Adapun  murid-murid  Abu  Hanifah yang berjasa dimadrasah Kuffah dan membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal dunia Islam, adalah:

  1. Zufar bin Az-Zuhail meninggal pada tahun 158 H.
  2. Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim bin Habib Al-Anshory

meninggal pada tahun 182 H.

  1. Muhammad bin Al-Hasan meninggal pada tahun 189 H.
  2. Al-Hasan bin Ziyad Al-Lu’lui meninggal pada 204 H.[9]

Adapun kitab-kitab yang sudah dibukukan adalah:

  1. Kitab al-Mabsuth
  2. Kitab al-Jami’ ash-Shaghir
  3. Kitab al-Jami’ al-Kabir
  4. Kitab asy-Syarh ash-Shagir
  5. Kitab asy-Syarh al-Kabir
  6. Kitab az-Ziadat
  7. Kitab al-Faraidl
  8. Kitab asy-Syuruth
  9. Fiqh al-Akbar[10]

Keteladanan seorang imam beliau mempunyai akhlak yang luar biasa, juga kewarakan yang tercermin dalam pelaksanaan ibadah, serta kehidupan yang benar-benar konsisten di jalan kebenaran, banyak ulama memuji Abu Hanifah. Beliau benar-benar menjaga wibawa dan muruah baik ketika berada di khalayak ramai maupun saat sendirian. Hal ini dilakukan karena

Abu Hanifah sadar ketika manusia melakukan maksiat kepada Allah SWT, meski tidak disaksikan oleh manusia, namun sesungguhnya Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui semua yang dikerjakan ciptaannya.[11]

Abu Hanifah meninggal dunia pada tahun 150 Hijrah dan ada beberapa pendapat yang berbeda tentang tarikh ini, di antara mereka ada yang mengatakan bahwa beliau meninggal pada tahun 151 dan 153 hijrah, pendapat yang lebih kuat ialah beliau meninggal pada tahun 150 hijrah.Imam Nawawi berpendapat beliau meninggal dunia ketika dalam tahanan. Jenazah Abu Hanifah dikebumikan di makam perkuburan Al-khaizaran’ di Timur kota Baghdad.[12]

Riwayat Hidup Imam Malik.

Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin

Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M. Dia dilahirkan pada zaman al-walid bin abdul malik dan meninggal di Madinah pada zaman pemerintah al-rasyid. Dia tidak pernah keluar daerah meninggalkan Madinah.

Sama seperti imam abu hanifah, dia hidup dalam dua zaman pemerintahan, yaitu bani umayyah dan Bani abbasiyah. Negara Islam telah berkembang luas dalam kedua masa pemerintahan ini, hingga kelautan atlantik di barat dan ke Negeri Cina di Timur. Juga telah sampai ke tengah-tengah benua Eropa, yaitu ketika Negara Spanyol berhasil dikuasai. [13]

Dia berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Malik , adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmuyang sangat terkenal.

Mengetahui bahwa Imam Malik berasal dari sebuah keluarga berilmu dan tumbuh besar di Madina al-Munawwara yang merupakan ibu kota ilmu pengetahuan di saat itu, khususnya ilmu hadits, dan juga mengetahui kuatnya ingatan Malik, pemahaman, taqwa, keteguhan dan ketabahannya dalam menghadapi segala hambatan pencarian ilmu, tidaklah mengherankan jika kita melihat bahwa ia dapat menyelesaikan pelajaranya pada usia yang sangat muda.

Periwayat yang dapat dipercaya menyatakan bahwa ia sudah duduk memberikan fatwa pada usia 17 tahun. Ini bukan karena ambisi orang muda atau karena hasratnya untuk tampil, akan tetapi 70 orang imam telah bersaksi bahwa ia patut memberi fatwa dan mengajar.[14]

Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadis terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.

Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan, menurut beliau kemiskinan adalah ujian hakiki seorang manusia. Apabila kita melihat hal tersebut tidak menjadi suatu keanehan apabila beliau menjadi ulama besar.

Setelah beliau mengerti dan memahami serta menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan agama Islam khususnya masalah fikih dan hadits, maka beliau melakukan pengembangan pemikirannya dengan cara mendatangi para ulama di masjidil haram, mengadakan forum diskusi di madinah maupun di kediamannya bersama murid-muridnya dan kegiatan lainnya yang bersifat diskusi atau bertukar pendapat dengan para ulama-ulama terkenal pada masa itu. Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan.

Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Mamun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.[15]

Adapun karya-karya Imam Malik memiliki beberapa karya tulis yang terkenal di kalangan umat islam, baik yang berbentuk buku maupun risalah. Karya utama beliau dalam bentuk buku yang dikenal sampai sekarang adalah Al-Muwatta. Kitab sang Imam ini merupakan kumpulan hadis sahih dan amalan-amalan penduduk Madinah yang berkaitan dengan fikih. setelah kitab atau buku, beliau juga pernah menulis beberapa risalah. Risalah fil Qadar, risalah fi An Nujum wa Manazili Al  Qamar, risalah fil Al Aqdliyyah, risalah ila Abi Ghassan Muhammad binMutharrif, risalah Juz’un fil at-tafsir, risalah kitabu as sir, dan Risalatu ila Ar Rasyid adalah contohnya. Semacam surat untuk pribadi tertentu yang sesungguhnya sangat layak kita kaji.[16]

Riwayat Hidup Imam Syafi’i 

Imam Syafi’i bernama Abu Abdullah Muhammad bin Idris binal Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushai Al Qurasyi Al Muththalibi Asy-Syaif’i Al Hijazi Al Makki. Dia terhitung masih keluarga Rasulullah SAW yang keturunannya bertemu pada Abdu Manaf.[17]

Ia dilahirkan pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Ia dilahirkan di Ghazzah, ketika umurnya mencapai dua tahun, ibunya memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Keduanya pun menetap disana. Namun ketika umurnya telah mencapai sepuluh tahun, ibunya memindahkannya ke Makkah karena khawatir akan melupakan nasabnya.[18]

Imam Syafi’I ketika umurnya kurang lebih 10 tahun dibawa oleh ibunya ke Mekkah, ketika itu beliau telah hafal Al-Qur’an

Di Mekkah beliau banyak mendapatkan Hadits dari ulama-ulama Hadits. Karena kepakirannya sering memungut kertas-kertas yang telah dibuang kemudian dipakainya untuk menulis. Ketika semangatnya untuk menuntut ilmu makin kuat dan menyadari bahwa Al-Qur’an itu bahasanya sangat indah dan maknanya sangat dalam, maka pergi ke Kabilah Hudzail untuk mempelajari dan mendalami Sastra Arab serta mengikuti saran hidup Nabi Muhammad SAW.[19]

Ia pergi ke Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam Syafi’i tinggal di pedusunan itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam bidang syair yang digubah kabilah Huzail itu, amat indah susunan bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain panah. Dalam masa itu Imam Syafi’i menghafal al-Qur’an, menghafal hadits, mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah.

Imam Syafi’i datang menemui Imam Malik saat berusia tiga belas tahun, kemudian ia berangkat ke Yaman hingga dikenal masyarakat lantaran riwayat hidupnya yang baik, arahannya agar selalu berpedoman kepada sunnah, metode yang baik dan lain sebagainya. Setelah itu ia pindah ke Irak. Disana ia mendalami ilmu dengan serius, bertukar pikiran dengan Muhammad bin Al Hasan dan yang lain,menyebarkan ilmu hadits, menegakkan madzhab penduduk Irak, serta membela Sunnah hingga namanya dikenal dan semakin harum. Abdurrahman bin Mahdi, tokoh ahli hadits di zamannya, kemudian meminta untuk menyusun kitab Ushul Fikih.[20]

Namun demikian, Imam Syafi’i belum puas menuntut ilmu karena semakin dalam ia menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum ia mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i sangat banyak, sama dengan banyak muridnya.

Meskipun menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, Imam Syafi’i lebih dikenal sebagai ahli hadits dan hukum karena inti pemikiranya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi membuat ia digelari Nashiru Sunnah ( pembela Sunnah Nabi).[21]

Ulama Mekkah yang menjadi gurunya ialah, Muslim bin Khalid Az-Zinji, Sufyan bin Uyainah, Said bin Al-Kudah, Daud bin Abdur Rahman, Al-Attar dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Daud. Sementara di Madinah ialah Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad Al-Ansari, Abdul Aziz bin Muhammad AdDawardi, Ibrahim bin Yahya Al-Usami, Muhammad Said bin Abi Fudaik dan Abdullah bin Nafi’ As-Saigh.

Sedangkan di Yaman, Matraf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Kadhi bagi kota san’a, Umar bin Abi Maslamah, dan Al-Laith bin Saad. Di Irak: Muhammad bin Al-Hasan, Waki’ bin Al-Jarrah AlKufi, Abu Usamah Hamad bin Usamah Al-Kufi, Ismail bin Attiah Al-Basri dan Abdul Wahab bin Abdul Majid Al-Basri.[22]

Buku –buku karangan Imam syafi’i

  1. Ar-Risalah Al Qadimah ( Kitab Al Hujjah).
  2. Ar-Risalah Al Jadidah
  3. Ikhtilaf Al Hadits
  4. Ibthal Al Istihsan
  5. Ahkam Al Qur’an
  6. Bayadh Al Fardh
  7. Sifat Al Amr wa Nahyi
  8. Ikhtilaf Al Malik wa Syafi’i
  9. Ikhtilaf Al Iraqiyin
  10. Ikhtilaf Muhamad bin Husain
  11. Fadha’il Al Quraisy
  12. Kitab Al Umm
  13. Kitab As Sunan[23]

Menurut Ar-Rabi Imam syafi’i wafat pada malam jum’at setelah magrib saat aku sedang berada di sampingnya. Jasadnya kemudian disemayamkan setelah Ashar pada hari Jum’at , yaitu hari terakhir bulan Rajab tahun 204 H. kuburnya berada di Mesir. Ia sangat dihormati dan disanjung lantaran predikat imam yang disandangnya.[24]

Riwayat Hidup Imam Ahmad Bin Hambal.

Beliau ialah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy-Syaibani, beliau lahir Di Baghdad pada tahun 164 H Bulan Rabiul Awwal, Imam Ahmad biasanya dinisbatkan kepada kakeknya, maka dia dinamakan” Ahmad bin Hambal, karena kakeknya lebih terkenal dari pada ayahnya. Ayahnya wafat ketika dia berumur tiga tahun, beliau wakaf ketika umur tujuh puluh tahun. Ibunya adalah Shafiah binti Maimunah binti Abdul Malik Asy-Syaibani, dia berasal dari Syaiban seperti ayahnya dia adalah orang yang mengurus, merawat dan mendidik Imam Ahmad dengan sangat baik.[25]

Ahmad bin Muhammad bin hambal atau Ahmad bin hambal adalah Imam yang keempat dari para Fuqaha Islam. Beliau adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat yang luhur dan tinggi yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang hidup semasa dengannya, juga orang yang mengenalinya. Beliau Imam bagi umat Islam seluruh dunia, juga Imam bagi Darul Salam, mufti bagi negeri Irak dan seorang yang alim tentang hadis- hadis Rasulullah SAW. Juga seorang yang zuhud dewasa itu, penerang untuk dunia dan sebagai contoh dan teladan bagi orang-orang ahli Sunnah, seorang yang sabar di kala menghadap percobaan, seorang yang saleh dan zuhud.[26]

Bagi Imam Ahmad bin Hambal, jika sudah ditemukan nas hadis Nabi SAW yang dianggapnya sah untuk dijadikan sumber hukum, maka ia berpegang teguh kepadanya, meskipun pendapatnya itu bisa berbeda dengan pendapat sahabat. Berpegang teguh pada sunnah Nabi SAW di samping Al- Qur’an dan mengabaikan segala bentuk pendapat yang berbeda dengan merupakan prinsip yang sangat mendasar dalam pembentukan Mażhab Hambali.

Kepandaian Imam Hambali dalam ilmu hadis tak diragukan lagi putra sulungnya Abdullah bin Ahmad, menyatakan bahwa Imam Hambali telah hafal 700.000 hadis di luar kepala. Hadis sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis kembali dalam kitabnya Al-Musnad berjumlah 40.000 hadis berdasarkan susunan nama sahabat yang meriwayatkan. Kemampuan dan kepandaian Imam Hambali mengundang banyak tokoh ulama yang berguru kepadanya dan melahirkan banyak ulama dan pewaris hadis terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud.[27]

Imam Ahmad tidak menulis kitab-kitabnya sendiri, meskipun beliau mempunyai banyak catatan tentang Hadis, kitab Musnad Ahmad Ibn Hambal dalam hadis, disusun, dan dikumpulkan oleh putranya yang bernama Abdullah. Bahkan untuk masalah fiqih , Imam Ahmad tidak memcatatnya. Fiqih Imam Ahmad kemudian ditulis oleh murid- muridnya. Adalah Abdullah bin Ahmad, Abu Bakar al-Asdom, Abdul Malik, al- Malmuny, Ibrahim bin Ishak, al-Hasbi, dan lain-lain. Murid-muridnya ini menulis risalahrisalah dan melaksanakannya berdasarkan fiqih yang diterima dari Imam Ahmad.[28]

Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk berapa kali, di sanalah beliau bertemu dengan Imam Syafi’i.  beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir. Di antaranya guru beliau yang lain adalah Yusuf Al-Hasan bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Humam dan Ibn Abbas, Imam Ahmad bin Hambal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadis, dan beliau tidak mengambil hadis, kecuali hadis-hadis yang sudah jelas sahihnya. Oleh karena itu, akhirnya beliau berhasil mengarang kitab hadis, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad Hambal, beliau mulai mengajar ketika berusia empat puluh tahun.[29]

Selain sebagai Imam besar, Imam Ahmad adalah seorang penulis produktif yang menyembungkan begitu banyak karya kepada umat islam, baik dalam bidang hadis, fikih, ibadah, akhlak, dan lain-lain. Sebagian besar karya beliau pun dicetak dan disebarluaskan agar bisa dimanfaatkan.

Beberapa diantara karya-karya sang Imam antara lain kitab Al Musnad, kitab At-Tafsir, kitab An-Nasikh Wa Al-Mansukh, kitab At-Tarikh, kitab Hadis Syu’bah, kitab Al-Muqaddam Wa Al-

Mu’akkhar fi Al-Qur’an, kitab Al-Manasik As-saghir, kitab Alilal, kitab Al-Manasik, kitab Az-Zuhd kitab Al-Iman, kitab Al-

Masa’il, kitab Al-Asyribah,kitab Al-Fadha’il, kitab Tha’ah ArRasul, kitab Al-Fara’idh, dan kitab Ar-Radd Ala Az-Zanadiqah Wa Al-Jahmiyyah. Dari sekian banyak karya beliau , Al-Masa’il,  Ar-Radd Ala Az-Zanadiqah Wa Al-Jahmiyyah, Al-ilal, dan Az- Zuhd adalah paling terkenal.[30]

Perjalanan hidup Imam Hambali yang penuh dengan derita dan luka tak menggetarkan dia untuk mencari ilmu dan membuat karya. Ahmad Ibn Hambal meninggal pada hari Jum’at pagi tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H/ 855 M dalam usia 77 tahun. Dimakamkan di pemakaman Bab Harb di kota Bagdad.[31]

[1] Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru, ( Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2008), h. 102-103.

[2] Pakih Sati, Jejak Hidup dan Keteladanan Imam 4 Mazhab,( Yogyakarta : Kana Media,2014),cet 1, h. 16.

[3] Ahmad Asy-Syurbari, Sejarah dan Biografi Empat Mazhab, ( Jakarta: Amzah, 2015), cet 8, h. 17.

[4] Pakih Sati, Jejak Hidup ……,h.18.

[5] Ahmad Asy-Syurbari, Sejarah dan Biografi …..,h.15

[6] Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab……, h. 105

[7] M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),cet,4,h. 184.

[8] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan  Madzhab,(Jakarta: Logos, 1997), cet 1,h. 95

[9] Pakih Sati, Jejak Hidup ……,h.67-68.

[10] Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab……, h.227-228.

[11] Pakih Sati, Jejak Hidup ……,h.50.

[12] Ahmad Asy-Syurbari, Sejarah dan Biografi …..,h.69.

[13] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Darul Fikir, 2010), h. 41

[14] Imam Malik Ibn Anas, Al-Mutawatta Imam Malik Ibn Anas, Penterjemah Dwi Surya Atmaja,( Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 1999) h.VIII

[15] Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab……, h.106-107.

[16] Pakih Sati, Jejak Hidup ……,h.126-127

[17] Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Musnad Imam  Syafi’i, penterjemah: Edy Fr, Rahmatullah,( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h.1

[18] Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al Umm, penterjemah: Mohammad Yasir Abd Mutholib,( Jakarta: Pustaka Azzam, 2015)cet.12, h.3.

[19] A.Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,(Jakarta:Kencana Penada Media Group,2005), cet.5,h. 129.

[20] Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Musnad Imam Syafi’i……,h.9.

[21] Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab……, h.109.

[22] Ahmad Asy-Syurbari, Sejarah dan Biografi …..,h.149.

[23] Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab  Al Umm……..,h.9

[24] Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Musnad Imam  Syafi’i……,h.5

[25] Asy-Syami Shahih Ahmad, Al Mawa’izh, penterjemah Team Azzam,( Jak-Sel: Pustaka Azzam, 2014) cet. 1, h.252.

[26] Ahmad Asy-Syurbari, Sejarah dan Biografi …..,h.190.

[27] Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab……, h.111.

[28] A. Djazuli, Ilmu Fiqih Pengalian, Perkembangan……..,h.133.

[29] Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib alKhamsah, Terj Masykur,Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, “ Fiqih Lima Mazhab”, ( Jakarta: Lentera, 2010) h.xxxi.

[30] Pakih Sati, Jejak Hidup ……,h. 208-209.

[31] Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab……, h.112.

Baca Juga: