Sekitar pertengahan abad ke-16 Masehi tersebutlah seorang pemuda gagah berdarah Arab di tepi barat pulau Jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan ia berlayar dari kampung halamannya di negara Yaman.
Saat itu memang sedang gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi ke tanah Jawa. Dan salah satunya adalah kakek Mbah Sayid Sulaiman, tokoh yang disebut di awal tulisan ini.
Orang-orang Arab ini datang dengan maksud bermacam-macam. Ada yang berdakwah untuk menyebarkan agama Islam, ada pula yang berniaga seraya berdakwah.
Pemuda itu bernama Abdurrahman. Ia adalah seorang Sayyid keturunan Rasulullah yang bergelar Basyaiban. Basyaiban adalah gelar warga habib keturunan Sayyid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadramaut, yang terkenal alim dan sakti.
Sayid Abu Bakar mendapat julukan Syaiban (yang beruban) karena ada kisah unik dibalik julukannya itu. Suatu ketika, Sayid Abu Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang.
Sejak itu ia tidak muncul-muncul. Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Baru setelah sekitar tiga puluh tahun, Sayid Abu Bakar muncul di Tarim. Ia tetap tampak muda. Tapi aneh, rambutnya putih, tak selembar pun yang hitam. Ia seperti berambut salju. Sejak itulah orang-orang menjulukinya Syaiban (yang beruban).
Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayyid Abu Bakar Basyaiban. Ia putra sulung Sayyid Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban. Lahir pada abad 16 Masehi di Tarim, Yaman bagian selatan, perkampungan sejuk di Hadramaut yang masyhur sebagai gudang para wali.
Dalam masa perantauannya ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa, Sayid Abdurrahman memilih bertempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian, ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin (?-1570 M). Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah.
Ia bernama Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dari pasangan dua keturunan Rasulullah ini, lahir tiga orang putra: Sayid Sulaiman, Sayyid Abdurrahim (terkenal dengan sebutan Mbah Arif Segoropuro Pasuruan), dan Sayid Abdul Karim.
Mewarisi ketekunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, di Cirebon.
Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak dewasa, Sayyid Sulaiman dibuang oleh mereka.
Putra sulung Sayyid Abdurrahman ini, kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah. Di Pekalongan, beliau menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat di antaranya laki-laki, yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir, dan Ali Akbar.