
Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain yang lebih lemah atau rentan. Bullying bisa berupa kekerasan fisik, verbal, psikologis, atau seksual. Bullying merupakan masalah serius yang bisa menimbulkan dampak negatif bagi korban maupun pelaku, seperti gangguan kesehatan, trauma, depresi, rendah diri, stres, hingga bunuh diri.
Bullying sering terjadi di lingkungan sekolah, baik di tingkat dasar, menengah, maupun atas. Beberapa contoh kasus bullying yang terjadi di Indonesia antara lain adalah kasus penganiayaan siswa SMP oleh seniornya di Bogor pada tahun 2020, kasus perundungan siswi SMA oleh teman sekelasnya di Bandung pada tahun 2021, dan kasus pemukulan siswa SMP oleh gurunya di Lampung pada tahun 2022.
Apakah bullying bisa dipidana dan apa saja sanksi hukum yang berlaku bagi pelaku bullying? Artikel ini akan membahas pertanyaan tersebut dengan mengacu pada undang-undang dan konstitusi yang berlaku di Indonesia.
Bullying sebagai Bentuk Kekerasan terhadap Anak
Menurut undang-undang dan konstitusi, bullying merupakan bentuk kekerasan terhadap anak yang dilarang dan harus dicegah. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Selain itu, Pasal 76C UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan terhadap Anak baik secara fisik maupun nonfisik.”
Kekerasan terhadap anak bisa berupa penganiayaan, pengeroyokan, perundungan, pelecehan seksual, penyiksaan, penelantaran, eksploitasi, atau diskriminasi. Pelaku kekerasan terhadap anak bisa berasal dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, atau pihak lain yang berhubungan dengan anak. Korban kekerasan terhadap anak bisa mengalami luka fisik maupun mental yang bisa mengganggu perkembangan dan kesejahteraannya.
Bullying sebagai Tindak Pidana
Selain melanggar undang-undang dan konstitusi tentang perlindungan anak, bullying juga bisa dikategorikan sebagai tindak pidana yang bisa dituntut secara pidana. Ada beberapa pasal dalam KUHP yang bisa menjerat pelaku bullying, tergantung pada jenis dan tingkat kekerasan yang dilakukan.
Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan menyatakan bahwa “Barang siapa dengan sengaja melukai atau menyakitkan orang lain dengan jalan memukul atau menendang atau dengan jalan lainnya diancam karena penganiayaan dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Pasal ini bisa diterapkan bagi pelaku bullying yang melakukan kekerasan fisik terhadap korban.
Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan menyatakan bahwa “Barang siapa dengan sengaja mengambil bagian dalam suatu serangan dengan kekerasan terhadap orang atau barang dari seorang atau beberapa orang bersama-sama dengan orang lain melakukan kekerasan terhadap orang atau barang diancam karena pengeroyokan dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.” Pasal ini bisa diterapkan bagi pelaku bullying yang melakukan kekerasan secara bersama-sama atau berkelompok terhadap korban.
Pasal 310 dan 311 KUHP tentang Perundungan menyatakan bahwa “Barang siapa merusak nama baik atau menghina seseorang baik dengan lisan maupun tulisan diancam karena perundungan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Pasal ini bisa diterapkan bagi pelaku bullying yang melakukan kekerasan verbal atau psikologis terhadap korban, seperti mencaci maki, menghina, mengejek, mengancam, atau menyebarkan gosip.
Bullying sebagai Tuntutan Perdata
Selain dituntut secara pidana, pelaku bullying juga bisa dituntut secara perdata oleh korban atau keluarganya. Tuntutan perdata bertujuan untuk meminta ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh korban akibat perbuatan bullying. Pasal 1365 KUH Perdata tentang Ganti Rugi Akibat Perbuatan Melawan Hukum menyatakan bahwa “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Ganti rugi yang bisa diminta oleh korban atau keluarganya bisa berupa materiil maupun immateriil. Ganti rugi materiil adalah ganti rugi yang berhubungan dengan kerugian harta benda, seperti biaya pengobatan, perawatan, rehabilitasi, atau pendidikan. Ganti rugi immateriil adalah ganti rugi yang berhubungan dengan kerugian non-harta benda, seperti penderitaan fisik, mental, moral, atau sosial.