Menu Tutup

Bolehkah Masuk Rumah Ibadah Non Muslim?

Bila tidak ada akfitas ritual peribadatan di dalam rumah ibadah itu, maka para ulama berbeda pendapat dalam hukum memasukinya. Jumhur ulama umumnya membolehkan hal itu, namun pandangan mazhab Al-Hanafiyah memakruhkan-nya.

Jumhur ulama baik dari mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah serta sebagian ulama Al-Syafi’iyah berpendapat bahwa seorang muslim diperbolehkan memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir lainnya. Di antara dasar kebolehan memasuki rumah ibadah agama lain adalah :

Rasulullah SAW Shalat di Depan Ka’bah

Ketika Rasulullah SAW masih tinggal di Mekkah, saat itu Ka’bah masih dikelilingi dengan 360 berhala. Boleh dibilang bahwa saat itu Ka’bah lebih merupakan tempat ibadah orang kafir, ketimbang rumah ibadah agama Islam.

Namun beliau SAW tetap datang dan masuk ke Ka’bah. Bahkan beliau SAW shalat di depan Ka’bah, padahal di sekeliling beliau terdapat berhala yang begitu banyak.

Hanya saja beliau tidak mau ikut dalam ritual ibadah yang dikerjakan oleh orang kafir jahiliyah. Sehingga ketika orang-orang jahiliyah sedang menjalankan ritual ibadah mereka, beliau SAW tidak turut campur.

Rasulullah SAW Masuk Masjid Al-Aqsha

Walaupun di dalam Al-Quran tetap disebut dengan istilah Al-Masjid Al-Aqsha, namun ketika Rasullullah SAW di-isra’-kan kesana, sebenarnya saat itu wujud masjid itu lebih merupakan tempat ibadah orang-orang Nasrani.

Faktanya saat itu memang belum ada orang yang beragama Islam di tempat itu, yang ada

hanyalah pemeluk agama nasrani, alias kristen. Maka kedudukannya tempat itu lebih merupakan rumah ibadah agama Kristen.

Pada saat itu dakwah Nabi dan penyebaran Islam memang belum mencapai tempat sejauh itu. Peristiwa isra’ itu terjadi menurut para sejarawan, kurang lebih satu setengah sebelum hijrah. Jangankah Palestina, Madinah pun belum mengenal agama Islam.

Namun diriwayatkan bahwa beliau SAW pada saat isra; itu masuk ke dalamnya, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau shalat sunnah di dalamnya.

Umar di Masjid Al-Aqsha

Ketika Rasulullah SAW wafat, akhirnya beberapa tahun kemudian barulah dakwah Islam masuk ke Palestina, hingga Masjid Al-Aqsha secara resmi diserahkan kepada umat Islam lewat tangan Umar.

Pada saat itu Umar memang menolak untuk mengerjakan shalat di dalamnya, namun alasannya bukan karena keharamannya, melainkan karena untuk menjaga perasaan dan hati para pemeluk nasrani. Selain itu beliau sendiri lebih ingin shalat di lokasi dimana Rasulullah SAW take-off menuju Sidratil Muntaha, karena pastilah tempat itu punya nilai khusus.

Akhirnya di tempat itu didirikan sebuah masjid, yang diberi nama masjid Umar. Lokasinya hanya bersebelahan saja dengan masjid Al-Aqsha yang tadinya rumah ibadah agama nasrani.

Tapi sebahagian yang lainnya mensyaratkan harus ada izin dari mereka yang menggunakan tempat tersebut. Oleh karena itu hukum memasuki gereja seperti halnya untuk menghadiri perkawinan atau bertugas melakukan pekerjaan tertentu, bukanlah sesuatu yang diharamkan. Syaratnya adalah orang muslim tersebut tidak melaksanakan hal-hal yang bertentangan dengan aturan-aturan agama.

Meskipun demikian, sebaiknya dia tidak melakukannya kecuali jika dianggap perlu dan mendesak.

Mazhab Al-Hanafiyah : Makruh

Ulama di kalangan mazhab Al-Hanafiyah menyatakan bahwa makruh hukumnya seorang muslim memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir.

Yang menjadi dasar kemakruhannya bukan karena seorang muslim tidak punya hak untuk memasukinya. Namun dasarnya karena tempat ibadah agama lain itu merupakan tempat berkumpulnya setan.

Oleh karena itu pada dasarnya sekedar masuk ke dalam rumah ibadah bukan haram hukumnya, tetapi makruh karena menghindar dari kumpulan setan.

Referensi:
Ahmad Sarwat, Lc., MA., Fiqih Interaksi Muslim dengan Non Muslim, Rumah Fiqih Indonesia, 2018.

Baca Juga: