Menu Tutup

Bolehkah Mengganti Zakat Makanan Dengan Uang?

Dalam prakteknya sering didapatkan orang-orang membayar zakat al-fithr bukan dengan makanan pokok sehari-hari, tetapi membayarnya dengan uang yang nilainya seharga makanan pokok itu. Apakah hal itu dibolehkan?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:

Mazhab Pertama: Tidak Boleh.

Mayoritas ulama (Maliki, Syafi’i, Hanbali, Zhahiri) berpendapat bahwa zakat al-fithr itu harus dikeluarkan sebagaimana aslinya, yaitu dalam bantuk makanan pokok yang masih mentah. Apabila hanya diberikan dalam bentuk uang yang senilai, maka dalam pandangan mereka, zakat itu belum sah ditunaikan. Bahkan Imam Ahmad memandang bahwa hal itu menyalahi sunnah Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam -. [Yusuf al-Qaradawi, Fiqhu az-Zakat, hal. 2/959.]

Suatu ketika pernah ditanyakan kepada imam Ahmad tentang masalah ini, yaitu bolehkah zakat al-fithr diganti dengan uang saja, maka beliau pun menjawab: “Aku khawatir zakatnya belum ditunaikan, lantaran menyalahi sunnah Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam -.”

Orang yang bertanya itu penasaran dan balik bertanya: “Orang-orang bilang bahwa Umar bin Abdul Aziz membolehkan bayar zakat al-fithr dengan uang yang senilai.” Imam Ahmad pun menjawab, “Apakah mereka meninggalkan perkataan Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan mengambil perkataan si fulan?.” Beliau pun membacakan hadits Ibnu Umar tentang zakat al-fithr.

Dari Abdullah bin Umar ra: bahwa Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – memfardhukan zakat fithr bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa’ kurma atau sya’ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim. (HR. Bukhari Muslim)

Setelah itu beliau pun membacakan ayat al-Quran:

Taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya. (QS. An-Nisa’: 59)

Lagi pula dalam urusan mengganti nilai uang atas suatu harta itu tidak boleh ditentukan secara sepihak, melainkan harus dengan keridhaan kedua belah pihak, yaitu muzakki dan mustahiq.

Mazhab Kedua: Boleh.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dibolehkan membayar zakat al-fithr dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan. Pendapat ini disandarkan pula kepada sebagian ulama salaf seperti Abu Tsaur, Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan al-Bashri, Abu Ishak, dan Atha’.

Abu Yusuf, salah satu ulama al-Hanafiyyah berkata: ”Saya lebih senang berzakat al-fithr dengan uang dari pada dengan bahan makanan, karena yang demikian itu lebih tepat mengenai kebutuhan miskin.” [Ahmad asy-Syarbashi, Yasa’alunaka fi al-Dini wa al-Hayat, hlm. 2/174.]

Pendapat Pertengahan:

Sorang ulama kontemporer, Syaikh Mahmud Syaltut di dalam kitab Fatawa-nya menyatakan: ”Yang saya anggap baik dan saya laksanakan adalah, bila saya berada di desa, saya keluarkan bahan makanan seperti kurma, kismis, gandum, dan sebagainya. Tapi jika saya di kota, maka saya keluarkan uang (harganya).” [Mahmud Syaltut, al-Fatawa, hlm. 120.]

Syaikh Yusuf al-Qaradawi mengasumsikan kenapa dahulu Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam –

membayar zakat dengan makanan, yaitu karena dua hal:

Pertama, karena uang di masa itu agak kurang banyak beredar bila dibandingkan dengan makanan. Maka membayar zakat langsung dalam bentuk makanan justru merupakan kemudahan. Sebaliknya, di masa itu membayar zakat dengan uang malah merepotkan.

Pihak muzakki malah direpotkan karena yang dia miliki justru makanan, kalau makanan itu harus diuangkan terlebih dahulu, berarti dia harus menjualnya di pasar.

Pihak mustahiq pun juga akan direpotkan kalau dibayar dengan uang, karena uang itu tidak bisa langsung dimakan.

Hal ini mengingatkan kita pada cerita para dokter yang bertugas di pedalaman, di mana para pasien yang datang berobat lebih sering membayar bukan dengan uang melainkan dengan bahan makanan, seperti pisang, durian, beras atau ternak ayam yang mereka miliki. Apa boleh buat, makanan berlimpah tetapi uang kurang banyak beredar.

Kedua, karena nilai uang di masa Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – tidak stabil, selalu berubah tiap pergantian zaman.

Hal itu berbeda bila dibandingkan dengan nilai makanan, yang jauh lebih stabil meski zaman terus berganti.

Sumber:
Isnan Ansory, Lc., M.Ag., I’tikaf, Qiyam al-Lail, Shalat ’Ied dan Zakat al-Fithr di Tengah Wabah, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2020.

Baca Juga: