Pacaran adalah hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki ikatan pernikahan. Pacaran sering dianggap sebagai cara untuk mengenal pasangan sebelum menikah. Namun, dalam agama Islam, pacaran adalah perbuatan yang dilarang dan berdosa. Mengapa demikian?
Pacaran dapat mendekatkan seseorang kepada zina, yaitu perbuatan seksual di luar nikah yang sangat keji dan buruk. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isra: 32)
Pacaran juga dapat melanggar batas-batas syariat yang telah ditetapkan Allah SWT, seperti menyentuh, bercumbu, berduaan, berbicara mesra, dan lain-lain dengan orang yang bukan mahramnya. Hal-hal ini dapat menimbulkan godaan syahwat dan nafsu yang sulit dikendalikan. Rasulullah SAW bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاء
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2740)
Oleh karena itu, seorang muslim yang telah terjerumus dalam dosa pacaran harus segera bertaubat kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh dan meninggalkan perbuatan tersebut. Berikut adalah beberapa cara untuk menggugurkan dosa pacaran dalam Islam:
Menikah
Menikah adalah solusi terbaik untuk menggugurkan dosa pacaran. Dengan menikah, seseorang dapat menjalin hubungan halal dengan pasangannya dan menutup aib yang telah dilakukan sebelumnya. Menikah juga dapat menjaga kemurnian diri dan menjauhkan dari godaan zina.
Rasulullah SAW bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فإنه له وجاء
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat.” (HR. Al-Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400)
Bertaubat
Bertaubat adalah kewajiban bagi setiap muslim yang telah melakukan dosa besar atau kecil. Bertaubat berarti kembali kepada Allah SWT dengan menyesali dosa yang telah dilakukan, berhenti dari perbuatan tersebut, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, dan memperbaiki akibat dosanya jika ada. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Furqan ayat 70-71:
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan barangsiapa bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya ia bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya taubat.” (Q.S. Al-Furqan: 70-71)
Memperbanyak Ibadah
Memperbanyak ibadah adalah salah satu cara untuk menggugurkan dosa pacaran dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan ibadah, seseorang dapat membersihkan hati dari noda-noda dosa dan mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat. Beberapa ibadah yang dapat dilakukan antara lain:
- Membaca Al-Qur’an dan memahami maknanya
- Menjalankan shalat lima waktu dan shalat sunnah
- Berpuasa sunnah
- Berdzikir dan berdoa
- Bersedekah dan berinfaq
- Beramal saleh kepada orang tua, keluarga, tetangga, dan masyarakat
- Menuntut ilmu agama
- Menjauhi lingkungan dan teman-teman yang dapat menjerumuskan ke dalam pacaran
Memohon Maaf kepada Orang Tua
Orang tua adalah orang yang paling berhak mendapatkan kasih sayang dan penghormatan dari anak-anaknya. Namun, dengan berpacaran, seseorang telah menyakiti hati orang tuanya dan melanggar hak-hak mereka. Oleh karena itu, seseorang yang telah berpacaran harus memohon maaf kepada orang tuanya dengan tulus dan mengakui kesalahannya.
Rasulullah SAW bersabda:
رِضَى الرّبّ في رضى الوالد، وسخط الرب في سخط الوالد
“Keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah tergantung pada kemurkaan orang tua.” (HR. At-Tirmidzi no. 1899)