1. Asuransi
a. Asuransi Konvensional
Mekanisme asuransi konvensional adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi untuk memberikan kepada pesertanya sejumlah harta ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai konsekuensi/imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dari peserta.
Jadi asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.
Dari segi bentuk transaksi dan praktek ekonomi syariat Islam, asuransi konvensional hasil produk non Islam ini mengandung sekian banyak cacat syar’i, antara lain :
1) Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
2) Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung.
3) Mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
4) Pada perusahaan asuransi konvensional, uang masuk dari premi para peserta yang sudah dibayar akan diputar dalam usaha dan bisnis dengan praktek ribawi.
5) Asuransi termasuk jual-beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
b. Asuransi Syariah
Asuransi syariah menjadi solusi dan alternatif dari asuransi konvensional yang memiliki cacat akad secara syariah sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas.
Ada beberapa perbedaan prinsip antara asuransi syariah dan konvensional yang berpengaruh pada hukum halal haramnya. Perbedaan tersebut antara lain:
• Akad
Dari sisi akad, asuransi syariah memakai akad tabarru’ yaitu hibah dengan konsep saling menolong, di mana ketika seseorang membayar premi, uang yang dibayarkan adalah sebagai sumbangan yang dikumpulkan oleh pengelola yaitu perusahaan asuransi yang digunakan untuk membantu nasabah yang mengalami kecelakaan, untuk pengobatan dan sebagainya.
Karena akadnya adalah akad tabarru’, meskipun ada gharar, hal tersebut tidak berpengaruh dan tidak menjadikan akadnya haram dan tidak sah sebagaimana sudah dijelaskan di halaman 31 dalam buku ini.
Sedangkan asuransi konvensional akadnya adalah akad mu’awadhah, semacam transaksi jual-beli, di mana premi yang dibayarkan menjadi milik perusahaan sebagai ganti dari jaminan yang diberikan ketika sakit atau terjadi kecelakaan misalnya. Yang mana hal tersebut tidak pasti sehingga menjadi gharar yang diharamkan.
• Pengelolaan Dana
Dari sisi pengelolaan dana nasabah, terdapat perbedaan antara asuransi syariah dan konvensional. Di asuransi syariah, dana dimiliki semua nasabah atau peserta asuransi.
Perusahaan hanya menjadi pengelola dana dan tidak punya hak memiliki. Dan perusahaan mendapatkan fee dari jasa pengelolaan tersebut, atau bagi hasil dari keuntungan yang didapat dari hasil pengelolaan dana nasabah.
Sedangkan di asuransi konvensional, dana premi yang dibayarkan menjadi milik perusahaan karena konsepnya jual-beli, sehingga perusahaan asuransi memiliki kebebasan untuk menggunakan dana tersebut.
• Bagi hasil
Dalam asuransi syariah keuntungan yang didapat dari pengelolaan dana asuransi dari peserta akan dibagi untuk semua peserta dan perusahaan asuransi secara merata. Dengan menggunakan akad mudharabah (bagi hasil).
Sedangkan di asuransi konvensional, keuntungan dari kegiatan asuransi sepenuhnya jadi milik perusahaan.
• Pengawasan
Asuransi syariah selain diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Tugasnya mengawasi perusahaan itu untuk selalu menaati prinsip syariah dalam mengelola dana asuransi. DPS bertanggung jawab kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sedangkan asuransi konvensional pengawasan dilakukan secara internal oleh manajemen dan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tidak diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah.
• Jenis investasi
Dalam asuransi syariah, dana asuransi unit link hanya boleh diinvestasikan ke bidang yang tidak diharamkan. Investasi ke perusahaan yang berkaitan dengan judi, misalnya, dilarang.
Sedangkan asuransi konvensional, dana bebas diinvestasikan di bidang apa pun, asal itu berpotensi mendatangkan keuntungan.
2. Skema Ponzi
Skema investasi ini pertama kali dicetuskan oleh Charlez Ponzi pada 1920. Saat itu, Ponzi mempraktikkan arbitrasi dari kupon balasan surat internasional yang tarifnya berbeda di setiap negara.
Keuntungan yang didapatkan Ponzi dari praktik ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan investor sebelumnya.
Skema ini adalah investasi palsu yang membayarkan keuntungan untuk investor dari uang sendiri atau dibayarkan oleh investor berikutnya. Bukan dari keuntungan yang diperoleh individu atau organisasi yang menjalankan operasi ini.
Modus ini, mengiming-imingi investor baru dengan menawarkan keuntungan yang lebih tinggi dibanding investasi lain dalam jangka pendek dengan keuntungan yang sangat tinggi. Nah, kelangsungan dari keuntungan yang tinggi itu membutuhkan pemasukan dari uang investor baru, ini untuk menjaga skema agar terus jalan.
Skema Ponzi ini pernah diterapkan pada salah satu usaha travel umrah yang kemudian pemiliknya berhasil ditangkap oleh kepolisian. Setelah ada beberapa laporan dari jamaah yang merasa tertipu sebab tidak kunjung diberangkatkan di waktu yang dijanjikan padahal sudah membayar.
Skema yang diterapkan adalah dana jamaah yang baru daftar digunakan untuk memberangkatkan jamaah yang lebih dulu daftar. Sehingga jamaah yang baru daftar itu, bisa berangkat jika ada jamaah baru lain yang bisa dipakai dananya untuk menutupi biaya keberangkatan.
Praktik semacam ini terlarang secara syariah. Sebab ada gharar atau ketidakpastian apakah jamaah yang sudah daftar dan membayar bisa berangkat atau tidak.
Karena dananya digunakan untuk menutupi dana orang-orang yang sudah membayar lebih dulu. semacam gali lubang tutup lubang.
Dari sisi lain, terlepas dari keharamannya secara syariah. sebetulnya, secara alami usaha atau bisnis yang menerapkan skema Ponzi pada akhirnya akan hancur juga oleh beberapa alasan:
1) Promotor menghilang, dan mengambil sisa uang yang diinvestasikan (di luar uang yang telah dibayarkan pada investor sebelumnya)
2) Karena Skema ini memerlukan investasi berkesinambungan untuk membiayai keuntungan yang lebih besar, ketika investasi ini melamban, skema ini akan mulai runtuh karena promotor kesulitan untuk membayar keuntungan yang dijanjikan. Krisis likuiditas ini sering menyebabkan kepanikan seiring dengan semakin banyaknya permintaan kembali uang mereka
3) Pengaruh Pasar Eksternal, seperti ketika terjadi kejatuhan ekonomi (seperti kasus Skandal Madoff ketika resesi 2008), menyebabkan banyak investor menarik kembali sebagian atau seluruh dana mereka.
3. Dropshipping
Dropshipping adalah suatu sistem jual beli di mana penjual menjual produk yang tidak dimiliki dan tidak memiliki persediaannya (stok barang). Penjual hanya bermodalkan sampel (contoh) dari barang milik supplier, biasanya berupa foto, yang kemudian dipasarkan kepada konsumen melalui media sosial atau toko online, jika terjual maka penjual membeli barang dari supplier dengan meminta tolong kepada supplier untuk mengirimkan barangnya dengan atas nama penjual.
Masalah yang timbul dari transaksi dengan sistem dropship adalah bahwa ketika terjadi akad antara dropshipper dengan pembeli, dropshipper tidak memiliki objek barang yang diperjual-belikan. Sedangkan Nabi pernah melarang menjual barang yang belum dimiliki.
Lantas, apakah jual-beli dengan sistem dropship ini haram? Apakah dropship termasuk bentuk jual-beli gharar?
Jawabannya sudah penulis singgung di halaman 24 dalam buku ini. Bahwa tidak lantas karena barangnya belum ada atau belum dimiliki pada saat akad menjadi gharar yang diharamkan.
Sebab inti dari larangan Nabi untuk menjual barang yang belum dimiliki adalah agar jangan sampai barang ini tidak bisa diserahkan kepada pemesan di waktu yang disepakati.
Sehingga walaupun barangnya belum ada atau belum dimiliki, akan tetapi bisa dipastikan ada dan bisa diserahkan kepada pembeli pada waktu yang disepakati, maka boleh dan tidak termasuk jual-beli gharar.
Sehingga, dropshipping pada dasarnya boleh, selama barang itu dipastikan ada pada saat penyerahan dengan spesifikasi yang jelas, harganya jelas dan waktu penyerahan/pengirimannya juga jelas.
Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai hukum dropshipping ini, silahkan download buku penulis yang lain dengan judul “Halal Haram Dropshipping” pada tautan berikut:
https://www.rumahfiqih.com/pdf/x.php?id=87&hal al-haram-dropshipping.htm
4. Restoran All You Can Eat
Beberapa restoran ada yang menyediakan layanan all you can eat di mana pelanggan membayar dengan harga tertentu kemudian dia boleh memakan semua makanan yang tersedia di restoran tersebut sepuasnya. Ada yang dibatasi waktu misalnya dua jam, ada juga yang tidak dibatasi.
Bagaimana syariah memandang hal ini? Apakah ini termasuk gharar yang diharamkan? Mengingat makanan yang dibayar tidak diketahui jumlahnya.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa gharar yang diharamkan adalah gharar yang banyak. Sedangkan gharar yang sedikit itu dibolehkan.
Gharar sedikit adalah gharar yang dimaklumi dalam suatu tradisi pasar, di mana kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan dan tidak ada potensi perselisihan antara keduanya.
Maka, jika melihat kedua jenis gharar itu, praktik transaksi di restoran all you can eat termasuk gharar yang sedikit dan tidak haram.
Sebab pada dasarnya, penjual atau pemilik restoran sudah memperhitungkan untung-ruginya ketika menetapkan harga, sehingga walaupun boleh makan sepuasnya, dia tetap untung.
Dan sebetulnya batas kemampuan makan seseorang pada umumnya bisa diukur, sebanyak apa pun orang makan, tidak akan melebihi kapasitas lambungnya.
Kasusnya sama seperti bayar W.C. umum di mana tidak diukur berapa banyak air yang dihabiskan. Meskipun demikian para ulama membolehkannya karena termasuk gharar yang sedikit.
5. Kolam Pemancingan Ikan
Memancing ikan selain menjadi hobi juga bisa menjadi lahan bisnis. Banyak usaha kolam pemancingan ikan bermunculan. Namun dari sekian banyak usaha sewa kolam pemancingan tersebut, apakah transaksi yang dilakukan sudah sesuai aturan syariah?
Pada umumnya ada dua jenis transaksi di tempat sewa kolam pemancingan.
Yang pertama, pemancing membayar ikan sekian kilogram kepada pengelola kolam pemancingan. Ikan tersebut kemudian dilepas dikolam untuk dipancing di mana pemancing yang membeli ikan tersebut tidak sendirian karena ada pemancing lain di kolam tersebut.
Yang kedua, pemancing mendatangi kolam pemancingan, lalu mengail ikan. Setelah selesai, hasil pancingannya ditimbang untuk mengetahui bobotnya dan kemudian dibayarkan sesuai dengan jumlah kilogram ikan tersebut.
Transaksi yang pertama tidak diperbolehkan. Sebab ikan yang sudah dibayar tidak jelas berapa ekor yang akan didapatkan. Ditambah lagi di satu kolam pemancingan biasanya ada beberapa pemancing lain, sehingga kemungkinan ikan yang sudah kita bayar didapat orang lain atau sebaliknya ikan orang lain yang kita ambil. Sehingga ini termasuk jual-beli gharar yang dilarang.
Sedangkan transaksi yang kedua diperbolehkan. Sebab yang kita bayar sesuai dengan jumlah ikan yang kita dapatkan. Adapun jika ada biaya tambahan itu biasanya untuk membayar sewa tempat dan fasilitasnya. Sehingga transaksi ini jelas dan tidak ada unsur gharar-nya.
6. Jual-beli Ijon
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia ijon adalah pembelian padi dan sebagainya sebelum masak dan diambil oleh pembeli sesudah masak.
Untuk memperjelas, berikut ilustrasi jual-beli ijon: A memesan padi kepada B yang merupakan seorang petani sekaligus pemilik sawah. A bilang kepada B, “Saya beli hasil panen sawah milikmu ini, saya bayar sekarang seharga 2 juta.” Panennya masih bulan depan.
Pada ilustrasi di atas, yang menjadi objek akadnya adalah hasil panen dari sawah tertentu. Sedangkan objek akadnya belum ada karena padinya baru bisa dipanen bulan depan.
Di sini terjadi gharar atau ketidakjelasan karena tidak ada yang tahu akan seberapa banyak hasil panen dari sawah tersebut. Bisa jadi panennya berhasil sehingga hasilnya sesuai dengan yang diharapkan pembeli, tetapi bisa juga panennya gagal sehingga pembeli dirugikan.
Di sinilah letak keharamannya. Yaitu adanya unsur ketidakjelasan (gharar), bukan semata-mata karena padi yang dipesan itu belum ada pada saat transaksi.
Agar transaksi di atas menjadi boleh dan tidak haram, maka ilustrasinya diubah menjadi seperti berikut:
A memesan padi kepada B. A bilang kepada B, “Saya pesan padi 2 kuintal untuk bulan depan. Saya bayar sekarang seharga 2 juta.”
Pada ilustrasi di atas, pembeli memesan padi dengan berat yang ditentukan yaitu dua kuintal. Pada saat jatuh tempo, B harus menyerahkan padi sejumlah yang diminta oleh A.
Andaikan hasil panennya tidak sesuai yang diharapkan, maka B tetap berkewajiban untuk menyerahkan padi kepada A sesuai jumlah yang dipesan (dua kuintal). Entah dari sawahnya, atau dia beli dari sawah orang lain.
Maka pada kasus ini tidak ada unsur gharar sebab spesifikasi objek akadnya sudah disebutkan pada saat transaksi dan barang tersebut bisa diserah-terimakan kepada pembeli saat jatuh tempo.
Sumber: Muhammad Abdul Wahab, Gharar dalam Transaksi Moderm, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019