Menu Tutup

Dasar Hukum Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam dan Positif

Pengaturan mengenai pengangkatan anak di Indonesia mulai dibahas secara serius dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang diundangkan pada 27 Juli 1979. Salah satu poin utama yang diangkat dalam undang-undang ini adalah konsep adopsi yang menekankan pada pemutusan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Konsep ini, meskipun bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang membutuhkan, menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam, terutama terkait dengan prinsip dalam Al-Qur’an.

Dalam Surat Al-Ahzab ayat 4-5, Allah SWT menyatakan bahwa anak angkat tidak boleh dianggap sebagai anak kandung dalam aspek hukum dan sosial. Ayat tersebut menyebutkan:

“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama.”

Secara prinsipil, ini menegaskan bahwa dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan nasab atau keturunan antara anak dan orang tua kandungnya. Praktik pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat sebagai anak kandung, dengan hak waris yang setara dengan anak biologis, dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.

Hukum Islam tentang Pengangkatan Anak

Dalam pandangan hukum Islam, pengangkatan anak hanya dibenarkan dalam konteks pemeliharaan anak yang terlantar atau membutuhkan, tanpa mengubah status nasab atau hubungan darahnya. Ulama fikih sepakat bahwa pengangkatan anak yang melibatkan pemutusan hubungan darah, serta memberikan hak waris dan hak lain yang setara dengan anak kandung, tidak diizinkan. Oleh karena itu, pengangkatan anak dalam hukum Islam hanya mengalihkan kewajiban pemeliharaan dan nafkah, bukan hak waris atau kedudukan nasab.

Menurut hukum Islam, anak angkat tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya, kecuali sebagai tanda pengenal. Hal ini berbeda dengan hukum positif di Indonesia, di mana pengangkatan anak dapat memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandung dan memberikan hak waris dari orang tua angkat.

Pengaturan Pengangkatan Anak dalam Hukum Indonesia

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pengangkatan anak diatur sebagai proses hukum yang melibatkan pengalihan hak dari orang tua kandung atau wali sah kepada orang tua angkat, dengan putusan pengadilan sebagai dasar legalitasnya. Pasal 1 ayat 9 menyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang hak-haknya dialihkan melalui keputusan pengadilan.

Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pengangkatan anak harus dicatat secara resmi oleh pengadilan berdasarkan keputusan hukum. Hal ini bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi anak angkat dan orang tua angkat.

Praktik Pengangkatan Anak dan Perbedaan dengan Hukum Islam

Terdapat perbedaan mendasar antara pengangkatan anak menurut hukum agama Islam dan hukum negara di Indonesia. Beberapa perbedaan ini mencakup:

  1. Hubungan Nasab: Dalam hukum Islam, hubungan darah antara anak angkat dan orang tua kandung tetap ada, sedangkan dalam hukum negara, hubungan nasab dengan orang tua kandung dapat diputus dan digantikan dengan nasab orang tua angkat.
  2. Hak Waris: Anak angkat menurut hukum Islam tidak berhak mewarisi harta orang tua angkat, melainkan tetap mewarisi harta orang tua kandungnya. Namun, dalam hukum negara, anak angkat bisa memiliki hak waris dari orang tua angkat, terutama jika orang tua angkat tidak memiliki anak kandung.
  3. Perwalian: Dalam hukum Islam, orang tua angkat tidak berwenang menjadi wali nikah bagi anak angkat perempuan, sedangkan dalam hukum negara, orang tua angkat dapat bertindak sebagai wali nikah.

Peraturan yang Mengatur Pengangkatan Anak di Indonesia

Beberapa peraturan yang mengatur pengangkatan anak di Indonesia, antara lain:

  • Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979: Mengatur prosedur pengajuan permohonan pengangkatan anak di pengadilan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007: Menjelaskan teknis pelaksanaan pengangkatan anak, memberikan gambaran yang lebih jelas tentang hak dan kewajiban orang tua angkat dan anak angkat.
  • Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006: Mengatur kewenangan pengadilan agama dalam menangani pengangkatan anak bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam.

Kesimpulan

Pengangkatan anak adalah proses yang memerlukan pemahaman mendalam tentang perbedaan antara hukum negara dan hukum agama Islam. Meskipun undang-undang di Indonesia memberikan ruang bagi pengangkatan anak, prinsip dasar dalam Islam tetap mengharuskan agar hubungan darah dengan orang tua kandung tidak terputus. Oleh karena itu, meskipun anak angkat dapat memperoleh pemeliharaan dan hak nafkah dari orang tua angkat, hak waris dan status nasabnya tetap berpegang pada orang tua kandungnya.

Sebagai tambahan, meskipun hukum Indonesia mengatur secara teknis tentang pengangkatan anak, masyarakat harus memahami bahwa praktik ini tetap perlu dilakukan dengan hati-hati, agar tidak melanggar nilai-nilai agama dan hak-hak anak itu sendiri.

Referensi:

  • Kamil, A., & Fauzan, M. (2008). Hukum perlindungan dan pengangkatan anak di Indonesia (hal. 113-114). Jakarta: Rajagrafindo Persada.
  • Soimin, S. (n.d.). Himpunan dasar hukum pengangkatan anak (hal. 28). Jakarta: Sinar Grafika.
  • Kamil, A., & Fauzan, M. (n.d.). Hukum perlindungan dan pengangkatan anak di Indonesia (hal. 52-54). Jakarta: Rajagrafindo Persada.
  • Mahjuddin. (2003). Masailul fiqhiyah (hal. 87). Jakarta: Kalam Mulia.
  • Matuankota, J. K. (2011). Perlindungan hukum terhadap anak angkat dalam memperoleh kejelasan status hukum melalui pencatatan pengangkatan anak: Suatu tinjauan dari perspektif hak asasi manusia. Jurnal Sasi, 17(3), 75.
  • Sahuleka, O. (n.d.). Kedudukan anak angkat dalam pembangunan hukum keluarga nasional.

Lainnya