Menu Tutup

Doktrin Qadariyah

Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Dalam bahasa Inggris free will yaitu kemauan bebas.

Adapun menurut pengertian Istilah, Qadariyah dalah suatu paham yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak dipaksakan oleh Allah SWT tetapi manusia memiliki kemampuan (qadar) untuk berusaha sendiri. Itulah sebabnya akhirnya golongan ini disebut dengan “Qadariyah”.

Paham ini merasuk ke pemikiran dunia Islam yang menyebabkan banyaknya orang yang terselewengkan, hanyut oleh pikiran melayang yang akhirnya jatuh ke jurang kesesatan, bahkan pemikiran ini telah mengganggu persatuan umat.

Nama lain Qadariyah adalah Muktazilah yakni golongan yang bergerak dalam tiga fungsi, yaitu agama, filsafat dan politik. Akan tetapi kata penamaan Qadariyah lebih identik dengan kelompok yang bertikai dalam masalah takdir dan perbuatan manusia.

Latar Belakang Kemunculan

Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran paham ini banyak persamaannya dengan ajaran Mu’tazilah. Mereka berpendapat sama misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Allah SWT tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qadha dan qadar Allah SWT.

Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad al Juhani Al Bisri  dan Ghailan al Dimasyqi, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (687-705 M) kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang Qadar. Semasa hidupnya, Ma’bad al Juhani berguru pada Hasan Al Basri, sebagaimana Washil bin Atha’ tokoh pendiri Mu’tazilah.

Latar belakang kemunculan kelompok ini juga akibat konstalasi politik kaum muslimin sebagai isyarat penentangan kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang kejam dan dzalim. Apabila Jabariyah berpendapat bahwa khalifah Bani Umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah dan hal ini berarti merupakan ‘legitimasi’ kekejaman Bani Umayyah, maka firqoh Qadariyah mau membatasi masalah takdir tersebut.

Sejarah kemunculanya juga berawal dari majelis Imam Hasan al-Bashri yakni salah seorang muridnya yang bernama Washil bin Atha dalam perdebatan mengenai pelaku dosa besar apakah kafir atau mukmin, Washil mengemukakan pendapat lain yang berbeda dari gurunya sehingga ia di usir dari majelis itu, sehingga pengikut konsep Washil bin Atha dikenal dengan istilah Mu’tazilah, artinya memisahakan diri dari kajian gurunya.

Keterkaitan antara Washil bin Atha dan Mu’tazilah dengan masalah takdir dan perbuatan manusia adalah salah satu konsepnya yang mengatakan bahwa manusia bebas dengan perbuatanya (qadariyah).

Sehingga mereka berpendapat bahwa keadilan Allah tidak memiliki makna kecuali dengan menyatakan bahwa manusia itu bebas berkehendak (free will).

Paham ini seperti yang dipahami oleh para filosof Yunani dengan konsep Filsafat Epicurisme atau Free Will. Atau di era modern ini sejalan dengan konsep Deisme di Barat. Dimana perbuatan manusia adalah bebas tanpa kehendak Tuhan.

Mereka berdalil dengan firman Allah Swt:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ ١

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (TQS. ar-Ra’d [13]: 11)

مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ وَلَا يَجِدۡ لَهُۥ ١٢٣

Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (TQS. an-Nisa [4]: 123)

 

ٱلۡيَوۡمَ تُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسِۢ بِمَا كَسَبَت ١٧

Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. (TQS. al-Ghafir[40]: 17)

Contoh dari ketiga ayat Al Qur’an tersebut Qodariyah menakwilkan Al Qur’an dan mengakhirinya berdasarkan pendapat yang mereka anut, lalu mereka dakwahkan.

Begitulah, mereka terus menerus mencari dalil dalam topik-topik yang bersifat mantiq (logika) sesuai dengan pendapat mereka, kemudian menyudahinya dengan dalil-dalil naqli. Mereka mengambil dalil atas pendapat-pendapat mereka dengan sejumlah ayat Al Qur’an.

Dokrin-Dokrin Pokok

Didalam kitab Ulama banyak membahas tentang kekeliruan dokrin Qadariyah/Mu’tazilah ini. Berikut petikan dalam kitab terjemah As Syaksiyah Al Islamiyah Juz I hal. 89-90, adalah sebagai berikut:

  1. Pendapat mereka yang terkenal adalah bahwa manusia memiliki hurrriyatul iradah (kebebasan berkehendak), baik untuk melakukan sesuatu ataupun meninggalkan sesuatu. Apabila ia melakukannya maka hal itu karena keinginannya sendiri. Dan jika ia meninggalkannya maka hal itu karena keinginannya sendiri juga.
  2. Adapun masalah khalqul af’al (penciptaan perbuatan) qadariyah/mu’tazilah mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan hamba/manusia adalah diciptakan oleh mereka sendiri dan (berasal) dari perbuatan mereka sendiri, bukan dari perbuatan Allah. Jadi termasuk dalam kemampuan mereka untuk mengerjakan ataupun untuk meninggalkan suatu perbuatan tanpa adanya campur tangan kekuasaan Allah. (ikhtiyariyah wa idlthirariyah, keinginannya sendiri dan bukan atas keinginannya sendiri)

Aktivitas ikhtiyariyah dikuasai oleh manusia dan dialah yang menciptakan (mengadakan)nya. Sedangkan aktivitas idltirariyah maka manusia tidak ikut campur didalamnya. Tambahan lagi kalau manusia bukan pencipta atas perbuatannya maka taklif (pembebanan hukum syara’) tidak berguna.

  1. Menciptakan khasiat yang terdapat pada sesuatu yang berasal dari perbuatannya. Tatkala Qadariyah/Mu’tazilah menyatakan bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan oleh dirinya sendiri, lalu muncul pertanyaan yaitu bagaimana (pendapat) tentang perkara yang lahir akibat dari perbuatannya? Apakah hal itu juga dari ciptaannya ataukah dari ciptaan Allah? Contohnya seperti rasa sakit yang dirasakan oleh orang yang dipukul, dan perasaan lain yang dihasilkan dari perbuatan manusia.

Mereka mengatakan semua ini disebabkan perbuatan manusia karena manusia yang memunculkannya ketika melakukan suatu perbuatan. Hal itu adalah hasil dari perbuatan manusia. Berarti diciptakan oleh manusia.

KEDUDUKAN PERBUATAN MANUSIA TERHADAP QADHA DAN QADAR

Dikalangan Ulama Akidah, pembahasan ini sudah cukup masyhur. Dikarenakan sebagai kajian Ilmu untuk memperkuat akidah dan membentengi umat dari paham salah/keliru.

Pada saat kemunculan paham inipun sudah ada, ulama yang bereaksi terhadap pemahaman ini, sebagai contoh reaksi ulama sekaligus Sahabat dan Keluarga Rasulullah ﷺ yaitu Abdullah Ibnu Abbas r.a terhadap paham Jabariyah di Syria.

Dan masih banyak lagi seperti Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Hambal, Hasan Al Bashri, Abul Musa Al Asy’ari, Al Maturidi dan banyak lagi

Diantaranya adalah madzhab dan paham ahli sunnah wa al-jamaah yang muncul untuk menolak pendapat-pendapat Jabariyah dan Qadariyah.

Ahli sunnah ini dipelopori oleh Abul Hasan Al Asy’ari dari Basrah Irak dan Mansur Al Maturidy dari Maturid, Uzbekistan.

Untuk membahas tentang Ahli sunnah akan dijelaskan pada bahasan yang lain. Berikut pendapat Ahli sunnah tentang perbuatan manusia dan qadha/qadar.

Ahli sunnah mengatakan bahwa perbuatan hamba seluruhnya berdasarkan iradah dan masyi-ah Allah (keinginan dan kehendakNya). Dalil yang dipakai untuk ini adalah:

فَقَضَىٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَٰوَاتٖ ١٢

Maka Dia menjadikannya tujuh langit. (TQS. Fushshilat [41]: 12)

۞وَقَضَىٰ رَبُّكَ ٢٣

Dan Tuhanmu telah memerintahkan. (TQS. al-Isra [17]: 23)

Yang dimaksud dengan qadla ialah al-maqdli (yang ditetapkan/dipenuhi). KetetapanNya merupakan ungkapan atas perbuatan serta bertambahnya ketentuan-ketentuan Allah.

Perbuatan hamba/manusia dengan takdir Allah adalah pembatasan setiap makhluk sesuai dengan batasannya.

Allah SWT adalah Pencipta segala sesuatu sedangkan hamba adalah orang yang mengerjakan (kasb). Jadi, perbuatan dikuasai oleh Allah SWT dari sisi penciptaan, dan dikuasai oleh hamba/manusia dari sisi pelaksanaan. Penggabungan ini disebut kasb. Apabila kita meneliti masalah qadha dan qadar, akan kita dapati bahwa ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih dahulu dasar pembahasan masalah ini. Ternyata, inti masalahnya bukan menyangkut perbuatan manusia, dilihat dari apakah diciptakan Allah atau oleh dirinya sendiri.

Tidak terkait pula dengan Iradah Allah -sementara Iradah Allah dianggap berhubungan dengan perbuatan hamba- sehingga suatu perbuatan harus terjadi karena adanya Iradah tadi. Sesungguhnya, dasar pembahasan/permasalahan ini adalah pertanyaan: “Apakah manusia itu dipaksa untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan (baik atau buruk), ataukah ia diberi kebebasan memilih?” Inilah yang menjadi dasar pembahasan masalah qadha dan qadar, yaitu ‘perbuatan manusia’. Karena perbuatan manusia merupakan hal yang dapat diindera bahkan dapat dirasakan, maka dalil-dalilnya pun bersifat aqli.

Manusia itu hidup dan beraktivitas dalam dua jenis perbuatan, yaitu:

  1. Perbuatan yang berada dibawah kendali manusia, yang timbul karena semata-mata pilihan dan keinginannya sendiri. Ada hisab/pertanggung jawabannya.
  2. Perbuatan yang berada diluar kontrol dan keinginan manusia. Pada bagian ini manusia berbuat atau terkena perbuatan yang berada di luar kemampuan dan kehendaknya. Manusia dipaksa menerimanya. Tidak di-hisab/tanggung jawab.

Segala perbuatan dan kejadian yang berada di luar kontrol manusia tersebut inilah yang dinamakan qadha (keputusan) Allah. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha, dan bahwasanya qadha itu datang dari Allah SWT, bukan dari yang lain.

Sumber: Rhobiatul Adawiyah, Qadha Dan Qadr Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Jabariyah, Qadariyah, 2019

Baca Juga: