Menu Tutup

Etika Profesi Keguruan dan Perkembangannya

Guru merupakan salah satu pemodal pendidikan bagi perkembangan pemikiran peserta didik. Dalam UU No. 14 Tahun 2005 menjelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[1] Pengertian ini selaras dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa guru adalah : tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.[2]

Sebagai seorang guru professional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Keahlian yang dimiliki oleh guru profesional adalah keahlian yang diperoleh melalui suatu proses pendidikan dan pelatihan yang diprogramkan secara khusus. Untuk itu keahlian tersebut mendapat pengakuan formal yang dinyatakan dalam bentuk sertifikasi dan akreditasi. Dengan keahliannya itu seorang guru mampu menunjukkan otonominya, baik secara pribadi maupun sebagai pemangku profesinya.

Namun realitas yang ada, guru di era teknlogi sekarang ini mengalami kemunduran akan profesionalisme guru. Hal ini desebabkan beberapa factor antara lain: (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh karena banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.

Pengertian Etika dan Profesi Keguruan

Sebelum membahas makna etika profesi, prlu merinci akan makna etika dan profesi. Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau  adat. Etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Dari paradigma ini dapat dikaitkan bahwa etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat.[4]

Menurut para ahli definisi etika adalah:

  1. O.P. Simorangkir : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
  2. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari seg baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
  3. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.[5]

Ada dua macam etika yang harus dipahami dalam menentukan baik dan buruknya perilaku manusia :

  1. Etika Deskriptif,  yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
  2. Etika Normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.[6]

Adapun istilah profesi berasal dari bahasa Inggris yaitu Profession atau bahasa Latin, Profecus, yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan secara terminologi profesi berarti suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental; yaitu adanya persyaratan pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan manual. Jadi suatu profesi harus memiliki tiga pilar pokok, yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik.[7]

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah profesionalisasi ditemukan sebagai berikut: Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu.

Menurut Dedi supriadi sebagaimana dikutip oleh Buchari Alma, memaknai profesi dengan menunjuk kepada “Sesuatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi”. Lebih lanjut Dedi menyatakan bahwa “Suatu profesi tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih dan disiapkan untuk itu”.[8]

Selanjutnya, pengertian profesi menurut Dr. Sikun Pribadi adalah “ profesi itu pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.[9]

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa profesi adalah suatu kepandaian khusus yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh melalui pendidikan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan tersebut.

Dalam kanca pendidikan, jabatan guru dapat dikatakan sebuah profesi karena menjadi seorang guru dituntut suatu keahlian tertentu (mengajar, mengelola kelas, merancang pengajaran) dan dari pekerjaan ini seseorang dapat memiliki nafkah bagi kehidupan selanjutnya. Untuk itu profesi guru pun mempunyai etika.

Etika profesionalisme guru merupakan ilmu atau kode etik yang telah disepakati dalam menjalankan profesi keguruan yang mengarah pada profesionalisme guru. Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai oleh para guru profesional. Kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan atau keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasyarat untuk menjadi guru profesional.[10]

Menurut UU NO. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 1 (1), guru ialah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Lalu, ayat (2), profesional adalah pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi strandart mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Maka guru yang profesional adalah guru atau pendidik yang mampu menjalankan tugas kependidikan dengan baik sesuai dengan strandart kompetensi yang ada untuk keprofesionalan guru.[11]

Jadi kesimpulanya Etika profesi keguruan adalah ketentuan-ketentuan moral atau kesusilaan yang merupakan pedoman bagi guru yang melakukan tugas di bidang keguruan.

Kode Etik Sebagai Penyeimbang Etika Profesi Keguruan

Dalam mengatur sebuah ketentuan-ketentuan moral atau kesusilaan guru memerlukan adanya sebuah dasar paradigma yang mendalam agar etika profesi keguruan dapat dilakukan dengan baik dan merupakan suatu hal yang urgen. Dalam hal ini harus mengetahui prinsip dasar etika sebelum menjabarkan pentingnya sebuah etika keguruan.

pengertian kode etik guru adalah merupakan pedoman bersikap dan berperilaku yang mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika jabatan guru. Dengan demikian,  guru harus menyadari bahwa jabatan mereka merupakan suatu profesi yang terhormat, terlindungi, bermartabat, dan mulia. Di sinilah esensi bahwa guru harus mampu memahami, menghayati, mengamalkan, dan menegakkan Kode Etik Guru dalam menjalankan tugas-tugas profesional dan menjalani kehidupan di masyarakat.

Kode etik guru sesungguhnya merupakan pedoman yang mengatur hubungan guru dengan teman kerja, murid dan wali murid, pimpinan dan masyarakat serta dengan misi tugasnya.[12]

Soetjipto dan Raflis Kosasi sebagaimana dalam kutipan Sukardjo dan Ukim Komarudin menegaskan bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma norma tersebut berisi petunjuk petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan larangan yaitu ketentuan ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan tugas profesi mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulannya sehari-hari dalam masyarakat.[13]

Etika profesi keguruan memiliki prinsip-prinsip dasar etika antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Universalistik, artinya suatu prinsip yang berpangkal tolak dari pandangan universal tentang hakikat manusia dan hakikat pendidikan. Hakikat pendidikan itu adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diriya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
  2. Nasionalistik, artinya etika keguruan yang nasionalistik bersumber dari pandangan hidup nilai-nilai hidup bangsa Indonesia. Dalam hal ini maka Pancasila menjadi sumber pedoman sekaligus tolak ukur bagi guru. Sesuai dengan nilai-nilai dalam sila-sila Pancasila seutuhnya yaitu a) Ber ke-Tuhanan Yang Maha Esa. b) Berperikemanusiaan yang adil dan beradab. c) Berjiwa persatuan. d) Berjiwa demokratis. e) Berkeadilan sosial[14]

Dari kedua prinsip inilah etika profesi guru perlu diperhatikan, agar menghasilkan sebuh kode etik dalam profesi guru memiliki fungsi yang baik bagi kaum guru itu sendiri. Pada dasarnya fungsi kode etik guru sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi.

Dalam buku karangan Thomas Gardon dan Mudjito, mereka menjelaskan bahwa paradigma fungsi etika profesi guru sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi selaras dengan berbagai pendapat beberapa pakar, yaitu:

  1. Gibson dan Michel (1945) yang lebih mementingkan pada kode etik sebagai pedoman pelaksanaan tugas prosefional dan pedoman bagi masyarakat sebagai seorang professional.
  2. Biggs dan Blocher ( 1986) mengemukakan tiga fungsi kode etik yaitu : 1. Melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah. (2). Mencegah terjadinya pertentangan internal dalam suatu profesi. (3). Melindungi para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi.
  3. Oteng Sutisna (1986) bahwa pentingnya kode etik guru dengan teman kerjanya difungsikan sebagai penghubung serta saling mendukung dalam bidang mensukseskan misi dalam mendidik peserta didik.
  4. Sutan Zahri dan Syahmiar Syahrun (1992) mengemukakan empat fungsi kode etik guru bagi guru itu sendiri, antara lain : a) Agar guru terhindar dari penyimpangan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. b) Untuk mengatur hubungan guru dengan murid, teman sekerja, masyarakat dan pemerintah. c) Sebagai pegangan dan pedoman tingkah laku guru agar lebih bertanggung jawab pada profesinya. d) Pemberi arah dan petunjuk yang benar kepada mereka yang menggunakan profesinya dalam melaksanakan tugas.

Ketaatan guru pada Kode Etik akan mendorong mereka berperilaku sesuai dengan  norma- norma yang dibolehkan dan menghindari norma-norma yang dilarang oleh etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi atau asosiasi profesinya selama menjalankan tugas-tugas profesional dan kehidupan sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Dengan demikian, aktualisasi diri guru dalam melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran secara profesional, bermartabat, dan beretika akan terwujud. Dengan demikian akan terciptanya suasana yang harmonis dan semua anggota akan merasakan adanya perlindungan dan rasa aman dalam melakukan tugas-tugasnya.[15]

Adapun secara umum, kode etik ini diperlakukan dengan beberapa alasan, antara lain seperti berikut ini:

  1. Untuk melindungi pekerjaan sesuai dengan ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan berdasarkan perundangan-undangan yang berlaku.
  2. Untuk mengontrol terjadinya ketidakpuasan dan persengketaan dari para pelaksana, sehingga dapat menjaga dan meningatkan stabilitas internal dan eksternal pekerjaan.
  3. Melindungi para praktisi di masyarakat, terutama dalam hal adanya kasus-kasus penyimpangan tindakan.
  4. Melindungi anggota masyarakat dari praktek-praktek yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.[16]

Di dalam Pasal 28 undang-undang nomor 8 tahun 1974 menjelaskan tentang pentingnya kode etik guru  dengan jelas menyatakan bahwa” pegawai negeri sipil memiliki kode etik sebagai pedoman sikap, sikap tingkah laku dan perbuatan di dalam dan di luar kedinasan.” Dalam penjelasan undang undang. Tersebut dinyatakan Bahwa dengan adanya kode etik ini, pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanan tugasnya dan dalam pergaulan sehari hari. Selanjutnya dalam kode etik pegawai negeri sipil itu digariskan pula prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pegawai negeri.[17]

Perkembangan Kode Etik Sebagai Pedoman Etika Profesi Keguruan

Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan mengikat para anggota. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres organisasi profesi. Dengan demikian, penetapan kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang secara perorangan, melainkan harus dilakukan oleh orang orang yang diutus untuk dan atas nama anggota-anggota profesinya dari organisasi tersebut. Dengan demikian, orang orang yang bukan anggota profesi tidak dapa dikenakan aturan yang ada dalam kode etik tersebut. Bagi guru-guru di indonesia, PGRI merupakan wadah bagi yang mempunyai jabatan profesi guru, sebagai perwujudan cita-cita perjuangan bangsa. PGRI didirikan di Surakarta pada tanggal 25 november 1945.

Kode etik guru indonesia ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan cabang dan pengurus daerah PGRI dari seluruh penjuru tanah air, pertama dalam kongres XIII di Jakarta tahun 1973. Kode etik guru ini merupakan ketentuan yang mengikat semua sikap dan perbuatan guru. Berikut akan di kemukakan kode etik guru Indonesia sebagai hasil rumusan kongres PGRI XIII pada tanggal 21 sampai dengan 25 November 1973 di Jakarta, terdiri dari Sembilan butir yaitu:

  1. Guru berbakti membimbing siswa seutuhnya, untuk membentuk manusia pembangunan yang berpancasila.
  2. Guru memiliki kejujuran professional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan siswa masing-masing.
  3. Guru mengadakan komunikasi terutama dalam memperoleh informasi tentang siswa dalam memperoleh informasi tentang siswa tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan.
  4. Guru membentuk suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua siswa sebaik-baiknya demi kepentingan siswa.
  5. Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan.
  6. Guru secara sendiri-sendiri atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
  7. Guru membentuk dan memelihara hubungan antara sesame guru, baik berdasarkan lingkungan kerja maupun di dalam hubungan keseluruhan.
  8. Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan meningkatkan mutu organisasi guru professional sebagai sarana pengabdiannya.
  9. Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam pendidikan.

Kemudian dalam kongres PGRI XVI tahun 1989 juga dijakarta, kode etik guru indonesia telah disempurnakan, yaitu: Guru indonesia menyadari, bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan YME, bangsa dan negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru indonesia yang berjiwa pancasila dan setia pada undang undanh dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita cita proklamasi kemerdekaan republik indonesia 17 agustus 1945.[18]

Kesembilan kode etik guru tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: point pertama, mengandung pengertian bahwa perhatian utama seorang guru adalah peserta didik. Perhatiannya itu semata-mata dicurahkan untuk membimbing peserta didik, yaitu mengembangkan potensinya secara optimal dengan mengupayakan terciptanya pembelajaran yang edukatif.

Melalui proses inilah diharapkan peserta didik menjelma sebagai manusia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Manusia utuh yang dimaksud adalah manusia yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohaninya, bukan hanya sehat secara fisik, namun juga secara psikis. Manusia yang berjiwa Pancasila artinya manusia yang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu mengindahkan dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Point kedua, mengandung makna bahwa guru hanya sanggup menjalankan tugas profesi yang sesuai dengan kemampuannya. Ia tidak menunjukkan sifat arogansi profesional. Manakala menghadapi masalah yang ia sendiri tidak mampu mengatasinya, ia mengaku dengan jujur bahwa masalah itu di luar kemampuannya, sambil terus berupaya meningkatkan kemampuan yang dimilikinya.

 Point ketiga, menunjukkan pentingnya seorang guru mendapatkan informasi tentang peserta didik selengkap mungkin. Informasi tentang kemampuannya, minat, bakat, motivasi, kawan-kawannya dan informasi yang kira-kira berpengaruh pada perkembangan peserta didik dan mempermudah guru dalam membimbing dan membina peserta didik tersebut. Point keempat, mengisyaratkan pentingnya guru menciptakan suasana sekolah yang aman, nyaman dan membuat peserta didik betah belajar. Yang perlu dibangun antara lain iklim komunikasi yang demokratis, hangat dan penuh rasa kekeluargaan, tetapi menjauhkan diri dari kolusi dan nepotisme.

Point kelima, mengangkat pentingnya peran serta orang tua siswa dan masyarakat sekitarnya untuk andil dalam proses pendidikan di sekolah/ madrasah. Peran serta mereka akan terwujud jika terjalin hubungan baik antara guru dengan peserta didik, dan ini harus diupayaan sekuat tenaga oleh seorang guru. Point keenam, guru harus selalu meningkatkan dan mengembangkan mutu serta martabat profesinya dan ini dapat dilakukan secara pribadi ataupun kelompok.

Point ketujuh, guru harus menjalin kerja sama yang mutualisme dengan rekan seprofesi. Rasa senasib dan sepenanggungan, biasanya mengikat para guru untuk bersatu dalam menyatukan visi dan misinya. Point kedelapan, guru bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana dalam perjuangan dan pengabdiannya.”. Point kesembilan, Kode etik ini didasari oleh dua asumsi, pertama karena guru sebagai aparatur negara (sepanjang mereka itu PNS), kedua karena guru orang yang ahli dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu sudah sewajarnya guru melaksanakan semua kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan, selagi sesuai dengan kemampuan guru itu dan tidak melecehkan harkat dan martabat guru itu sendiri.[19]

 

[1] UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Jakarta: Sinar Grafika), pasal 1 ayat 1

[2] Departemen Agama RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan ( Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam, 2006), pasal 39 ayat 1

[3] Trianto dan Titik Triwulan Tutik, Tinjauan Yuridis Hak Serta Kewajiban Pendidik Menurut UU Guru dan Dosen, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), h.165

[4] Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h.3

[5] Susi Herawati, Etika dan Profesi Keguruan, (Batusangkar: STAIN Press, 2009), h.1

[6] Aris Suherman dan Ondi Saondi, Etika Profesi Keguruan (Bandung : Refika Aditama, 2010), h.90

[7] Susi Herawati, Etika dan Profesi Keguruan,, h.4

[8] Buchari alma, dkk, Guru Profesional (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 116-117.

[9] Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), h.1

[10] Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus, Pengembangan Profesionalitas Guru, (Jakarta: Gaung Persada, 2011), h.17

[11] UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, h.2

[12] Ali Imron, Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 98

[13]Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan dan Konsep Aplikasinya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 112

[14] Trianto dan Titik Triwulan Tutik, Tinjauan Yuridis Hak Serta Kewajiban Pendidik Menurut UU Guru dan Dosen, h.166-167

[15]Thomas Gardon dan Mudjito, Guru yang Efektif, (Jakarta: CV Rajawali, 1990), h. 105

[16] Mohamad Surya, landasan pendidikan menjadi guru yang baik, (Bogor: ghalia Indonesia, 2010) h.86

[17] Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan dan Konsep Aplikasinya,  h. 112

[18] Uus Ruswandi, Pengembangan Kepribadian Guru, (Penerbit : CV. Insan Mandiri, 2010) h.25

[19] http://manggamudaku.blogspot.com/2012/12/kode-etik-profesi-keguruan_5.html

Baca Juga: