Menu Tutup

Faktor- Faktor Penyebab Terjadinya Nikah Siri

1. Faktor Struktural

Formalisasi syariat Islam di era reformasi semakin gencar dilakukan seiring dengan angin segar demokrasi yang semakin berhembus di Indonesia di mana mayoritas penduduknya berafama islam. Tidak seperti halnya dengan fiqh klasik, dimana fiqh perkawinannya mendapatkan porsi yang lebih banyak diulas oleh para ulama dibandingkan dengan permasalahan lainnya seperti kewarisan, wakaf, dan lain-lain, maka dalam pembaruan atau modernisasi hukum Islam fiqh perkawinan tidak begitu banyak menerima bentuk pembaruan sejak reformasi bergulir. Hal tersebut misalnya dapat dilihat dengan dibekukannya upaya yang telah dilakukan oleh TIM CLD-KHI (Counter Legal Draft-Komplilasi Hukum Islam) untuk melakukan revisi terhadap beberapa pasal yang terdapat dalam Komplilasi Hukum Islam pada sekitar tahun 2004.[1]

Di antara alasan penting tersebut adalah perlunya perumusan kembali tentang sejumlah pasal dalam KHI-Inpres yang sudah tidak lagi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan konversi internasional yang telah diratifikasi, misalnya Deklarasi Universal tentang HAM. Demikian juga dari sudut metrodologi, KHI-Inpres masih terkesan replika hukum fiqh ulama masa dahulu (Timur Tengah/Arab) dan belum sepenuhnya dalam nuansa (fiqh) keindonesiaan.[2] Namun hal itu tidak memberikan perubahan hukum yang berarti terhadap problematika hukum nikah siri.

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagai landasan pokok hukum perkawinan merupakan sumber otoritas dalam pengaturan dan penerbitan perkawinan yang harus mengakomodir hukum-hukum perkawinan agama masing-masing (yang ada di Indonesia) yang juga dipegangi secara kuat oleh para peganutnya. Hal tersebut tertuang dalam pasal 1 dan 2 No.1 Tahun 1974 yang menitik beratkan pada keabsahan perkawinan jika dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.[3] Walaupun tidak menentukan sah atau tidaknya pernikahan, pencatatan merupakan penertiaban hukum yag akan berimplikasi pada persoalan administrasi negara seperti penertiban akta kelahiran anak dan lain-lain. Oleh karenanya perkawinan yang tidak tercatat dianggap melanggar undang-undang, namun hanya bersifat perdata yang dikenai hukuman berupa denda. Adanya rancangan undang-undang kriminalisasi bagi pelaku nikah siri (tidak tercatat) yang digodok pada tahun 2010 bertujuan untuk menaikkan status hukuman terhadap perkawinan yang tidak tercatat sebagai pelanggaran pidana sehingga dapat dikenakan hukuman penjara dan denda (namun sampai saat ini belum ada penetapan).

Komplilasi Hukum Islam (KHI) Tahun 2004

Demikian halnya dengan KHI, yang pada dasarnya tidak jauh beda dengan UUP nomor 1 Tahun 1974 dan lebih bersifat menguatkan apa yang telah diatur dalam undang-undang tersebut. Pencatatan nikah tidak terkait dengan sah atau tidaknya pernikahan, karena pencatatan bukan peristiwa hukum tapi hanya sebagai peristiwa penting. Hal itu ditegaskan dalam pasal 5 (ayat 1 dan 2) KHI bahwa pencatatan perkawinan diperlukan untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam dan dilakukan dihadapan Petugas Pencatatan Nikah (PPN).

Walaupun kedua sumber otoritas tersebut memisahkan antara hukum sahnya pernikahan dan pencatatannya merupakan dua peristiwa berbeda, namun keduanya menegaskan bahwa pencatatan itu merupakan hal yang tidak terpisahkan dari rangkaian peristiwa penting dari sebuah pernikahan (kelengkapan administrasi). Namun demikian dalam KHI sekalipun mencantumkan kata “harus” dalam pasal 5 yang dapat dimaknai betapa pentingnya pernikahan dicatatkan, namun masih memberikan ruang bagi terjadinya pernikahan siri. Hal itu dapat kita lihat pada Pasal 7 ayat 3 tentang isbat nikah. Isbat nikah sebetulnya merupakan jalan keluar bagi perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah. Tapi di sisi lain, hal ini bisa menjadi celah bagi terjadinya pernikahan secara siri.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2006

Di tengah polemik tentang status hukum nikah siri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menyatakan bahwa nikah siri tetap sah asalkan syarat dan rukunnya terpenuhi dan tidak menimbulkan mudarat. Fatwa ini kemudian menjadi pegangan yang kuat bagi masyarakat untuk di praktikkan.  Selain itu pada tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa pelarangan kepada masyarakat untuk menganut paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Akan tetapi bagi yang memperjuangkan isme-isme tersebut percaya bahwa ketiganya merupakan pilar demokrasi yang jika ditiadakan akan meruntuhkan bangunan demokrasi di indonesia. Sebetulnya peran MUI sangat dominan untuk menekan politik nikah siri, karena asal muasal kontroversi nikah secara siri tersebut adalah karena adanya pandangan dari para ulama yang menyatakan secara eksplisit keabsahan pernikahan siri di mana para pelaku beralasan karena adanya fatwa MUI.

2. Faktor Intelektual

Sebetulnya peran MUI sangat dominan untuk menekan praktik nikah siri, karena asal muasal kontroversi nikah secara siri tersebut adalah karena adanya pandangan dari para ulama (fatwa ulama yang menyatakan secara eksplisit keabsahan pernikahan siri, di mana para pelaku mempunyai alasan karena adanya fatwa yang menyatakan bahwa “Secara agama tetap dianggap sah”.[4] Kalimat ini menjadi kata kunci dalam berbagai argumen tentang keabsahan nikah siri dan menjadi semacam justifikasi. Bagi mereka yang penting ada pembenaran dari sekelompok orang yang memiliki kontrol atau kaum otoritas, baik secara intitusional maupun personal.

Terkait dengan hal ini, dalam semua literatur empat mazhab hukum tak henti-hentinya diulangi pernyataan bahwa seseorang yang ingin bertindak sebagai penasihat hukum dalam praktiknya harus melalui suatu hirarki sumber-sumber otoritarif tertentu yang dapat mengubah pandangannya atau mungkin membatalkannya sama sekali. Karena pandangan tersebut sesuai dengan sistem pengadilan yang merupakan otoritas terakhir dalam memutuskan “argumen-argumen” yang dapat diakui dan tidak dapat diakui.[5]

[1] Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dalam tulisan Marzuki Wahid yang secara khusus meneliti tentang kontroversi CLD-KHI yang berjudul Pembaruan Hukum Keluarga Islam dalam buku Generasi Baru Peneliti Muslim Indonesia (Kajian Islam dalam Ragam Pendekatan Program PIES 2008-2009), halaman.14.

[2] Misalnya UU nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan, UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asazi Manusia, dan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang isinya mengakui hak-hak perempuan dan anak sebagai hak asasi manusia serta adanya jaminan perlindungan yang kuat dari undang-undang tersebut.

[3] Jaih Mubarok, Pembaharuan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, halaman.78-79.

[4] Fatwa MUI tahun 2003 dan 2008 dalam jaih mubarok, ibid.

[5] Wael B.Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, terjemahan E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, halaman.310-311.

Baca Juga: