Menu Tutup

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pendidikan Islam

Pengertian Faktor

Faktor dapat diartikan sebagai suatu kesatuan unsur-unsur yang saling berinteraksi secara fungsional yang memproses masukan menjadi keluaran. Faktor bisa pula diartikan sebagai seperangkat komponen yang berinteraksi satu sama lain menuju ke suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Dengan demikian, faktor atau sistem merupakan totalitas dari bagian-bagian yang saling berkaitan.[1] Briggs mengatakan bahwa sistem adalah rencana kerja yang terpadu dari semua komponen sistem yang dirancang untuk memecahkan suatu masalah atau untuk memenuhi kebutuhan tertentu[2] sebagai contoh, sistem pencernaan makanan pada manusia meliputi berbagai fungsi organ tubuh yang saling bekerja dan mempengaruhi satu sama lain, semisal mulut, tenggorokan, lambung, usus, anus, dan lain-lain. Apabila satu organ tubuh tersebut tidak bekerja dengan baik maka akan mempengaruhi kerja organ yang lain.

Begitu pula halnya dengan sistem pendidikan. Sistem pendidikan memiliki berbagai komponen yang saling mempengaruhi. Sutari Imam Barnadib membagi unsur-unsur yang mempengaruhi pendidikan tersebut menjadi lima bagian, yaitu tujuan, pendidik, anak didik, alat dan alam sekitar.[3] Namun pada makalah ini disebutkan faktor yang lain, karena faktor-faktor lain sudah disebutkan pada makalah sebelumnya.

Faktor Pendidik dalam Pendidikan Islam

Salah satu faktor penting dari proses kependidikan Islam adalah pendidik. Di pundak pendidik terletak tanggung jawab yang amat besar dalam upaya mengantarkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan cultural transition yang bersifat dinamis ke arah suatu perubahan secara kontinu, sebagai sarana vital bagi membangun kebudayaan dan peradaban umat manusia.

Pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun ‘abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas di sekolah tetapi semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan anak mulai sejak alam kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai ia meninggal.

Tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaan-Nya. Sementara dalam batasan lain, tugas pendidik dapat dijabarkan dalam beberapa pokok pikiran, yaitu:[4]

  1. Sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran, melaksanakan program yang disusun, dan akhirnya dengan pelaksanaan penilaian setelah program tersebut dilaksanakan.
  2. Sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan kepribadian sempurna (insa>n ka>mil), seiring dengan tujuan penciptaan-Nya.
  3. Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan diri (baik diri sendiri, peserta didik, maupun masyarakat), upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program yang dilakukan.

Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik adalah spiritual father atau bapak rohani bagi murid. Pendidiklah yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya, maka menghormati pendidik berarti penghormatan terhadap anak-anak pula.[5]

Pendidikan merupakan kewajiban setiap Muslim. Di samping itu, Islam memberi motivasi agar dalam melaksanakan tugas atau kewajiban tersebut mengarah kepada nilai tambah yang positif, bukan negatif. Sebab tiap upaya demikian bernilai alternatif, pahala atau dosa. Hadits Nabi SAW menyebutkan:[6]

“Barangsiapa mengajak kepada petunjuk (kebaikan), ia akan mendapat pahala semisal pahala orang yang mengikuti (petunjuknya) tadi tanpa berkurang sedikitpun pahalanya. Sebaliknya, barangsiapa mengajak kepada kesesatan (kejahatan), ia akan mendapat dosa semisal dosa orang yang mengikuti (kesesatannya tadi) tanpa berkurang sedikitpun dari dosanya”. (HR. Bukhori)

Itu sebabnya, pendidik menurut Islam bukanlah sekadar pembimbing melainkan juga sebagai figur teladan yang memiliki karakteristik baik, sedang hal itu belum tentu terdapat dalam diri pembimbing. Dengan begitu pendidik Muslim haruslah aktif dari dua arah; secara eksternal dengan jalan mengarahkan atau membimbing peserta didik, secara internal dengan jalan merealisasikan karakteristik akhlak mulia.

Faktor Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini, peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.[7]

Melalui paradigma di atas dijelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Potensi suatu kemampuan dasar yang dimilikinya tidak akan tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa bimbingan pendidik. Berikut ada beberapa deskripsi tentang hakikat peserta didik dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu:[8]

  1. Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa.
  2. Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodisasi perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini cukup perlu untuk diketahui agar aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik.
  3. Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi. Di antara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan biologis, kasih sayang, rasa aman, harga diri, realisasi diri, dan sebagainya. Kesemuanya itu penting dipahami oleh pendidik agar tugas-tugas kependidikannya dapat berjalan secara baik dan lancar.
  4. Peserta didik adalah makhluk Allah yang memilki perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada. Pemahaman tentang diferensiasi individual peserta didik sangat penting untuk dipahami oleh seorang pendidik. Hal ini disebabkan karena menyangkut bagaimana pendekatan yang perlu dilakukan pendidik dalam menghadapi ragam sikap dan perbedaan tersebut dalam suasana yang dinamis, tanpa harus mengorbankan kepentingan salah satu pihak atau kelompok.
  5. Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohaniah memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal, maka proses pendidikan hendaknya diarahkan untuk mengasah daya intelektualisnya melalui ilmu-ilmu rasional. Sedangkan untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.
  6. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Di sini tugas pendidik adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan perkembangan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, tanpa melepaskan tugas kemanusiaannya; baik secara vertikal maupun horizontal. Ibarat sebidang sawah, peserta didik adalah orang yang berhak bercocok tanam dan memanfaatkan sawahnya (potensi). Sementara pendidik (termasuk orang tua) hanya bertugas menyirami dan mengontrol tanaman agar tumbuh subur sebagaiman mestinya, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku.
  7. Faktor Lingkungan dalam Pendidikan Islam

Yang dimaksud dengan lingkungan (milieu) di sini adalah semua faktor yang mempengaruhi potensi dan kecenderungan anak, semisal rumah (keluarga) di mana anak tersebut tinggal, sekolah tempat ia belajar, lapangan tempat ia bermain, dan masyarakat di mana ia hidup bergaul. Lingkungan di mana manusia itu hidup akan mengantarnya kepada melihat sesuatu sedang lainnya tidak ia lihat, atau mendorongnya memiliki keyakinan tertentu, sedang keyakinan lainnya tidak ia miliki. Dengan sarana lingkungan inilah secara gradual tumbuh kokoh dalam jiwanya cara tertentu yang mesti ia jalani berupa sopan santun, pergaulan, percakapan, perbuatan beserta aturannya, tugasnya dan sebagainya. Lingkungan akan mengkokohkan jiwanya, bagaimana berbincang-bincang dengannya dan bagaimana cara mempraktekkan ilmunya sampai sukses.[9]

Berikut dijelaskan beberapa lingkungan yang berpengaruh besar dalam berjalannya suatu sistem kependidikan Islam:

Faktor Lingkungan Keluarga

Islam mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik adalah kedua orang tua. Islam memerintahkan kedua orang tua untuk mendidik diri dan keluarganya, terutama anak-anaknya, agar mereka terhindar dari azab yang pedih. Firman Allah:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. Al-Tahri>m ayat 6)

Dalam implementasinya, orang tualah sebagai penanggung jawab pendidikan di lingkungan keluarga  atau di rumah tangga; pendidik dan pengelola sekolah termasuk pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan di lingkungan sekolah; tokoh masyarakat dan selainnya sebagai penanggung jawab pendidikan di lingkungan masyarakat.

Pendidikan dalam lingkungan rumah tangga, disebut dengan jalur pendidikan informal. Lingkungan rumah tangga atau lingkungan keluarga, memberikan peranan yang sangat berarti dalam proses pembentukan kepribadian muslim sejak dini. Sebab di lingkungan inilah seseorang menerima sejumlah nilai dan norma yang ditanamkan sejak masa kecilnya.

Faktor Lingkungan Sekolah

Sekolah merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran. Sekolah mempunyai aturan-aturan khusus, tata tertib tertentu yang dibuat untuk tujuan kehidupan, yaitu mengarahkan masyarakat kepada segala seuatu yang baik. Sebagian dari tujuannya adalah merealisasikan prinsip umum dan pemikiran mulia, yaitu mendidik tiap anak dengan pendidikan yang sejati sehingga menjadikannya sebagai anggota yang bermanfaat bagi masyarakat, dengan cara memberinya petunjuk secara sistematis dan pengajaran yang kontinu.[10]

Peranan sekolah tidak sekedar mengembangkan pengajaran membaca, menulis dan berhitung, tetapi berperan untuk mempersiapkan individu terhadap sesuatu yang dibutuhkan masyarakat di mana ia hidup, dan kehidupan sempurna yang harus dikerjakan oleh pihak sekolah agar sampai pada tujuan tersebut; serta mengarahkannya pada perbuatan yang baik baginya agar ia berjalan sampai tuujuan dengan sukses.[11]

Sekolah umumnya dianggap sebagai mikrokosmos dari masyarakat secara keseluruhan. Di sini siswa dapat mempelajari berbagai problematika dan isu-isu yang dihadapi oleh komunitas secara keseluruhan. Sekolah menjadi laboratorium tempat belajar yang hidup, sebuah upaya model demokrasi.

Baik sekolah, masjid, perpustakaan, kuttab, toko buku, rumah ulama atau lainnya dianggap oleh Islam -dan ini telah terbukti dalam lintasan sejarah Islam- sebagai lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung, bukanlah lembaga beku, tetapi fleksibel, yakni berkembang menurut kehendak waktu dan tempat.[12] Sebagai agent of change, sekolah diharapkan bisa mengadakan pembaruan (reformasi) dan perubahan ke arah perbaikan (rekonstruksi), baik berjangka panjang maupun pendek, sosial maupun individual, dan karena sekolah merupakan bagian dari masyarakat.

Faktor Lingkungan Masyarakat

Berkaitan dengan lingkungan (masyarakat) ini, al-Abrasyi menyebutkan bahwa lingkungan sosial (masyarakat) itu memiliki pengaruh besar bagi perkembangan pendidikan. Tidaklah sulit bagi manusia untuk merasakan atau bersinggungan dengan pengaruh tersebut pada diri manusia yang terlihat dari luar dan adat sosial.[13]

Pada aspek sekolah dan masyarakat ini al-Abrasyi menyebutkan hubungan antara madrasah dengan sekolah ini dengan ungkapannya:[14] المدرسة مجتمع صغير di mana keduanya berarti: sekolah merupakan masyarakat dalam bentuk kecil.

Kondisi sosial mestilah kooperatif dan demokratis. Posisi semacam ini merupakan perkembangan alam yang menganggap bahwa sekolah sebagai mikrokosmos dari masyarakat yang lebih luas, dan bahwa pendidikan itu sendiri adalah kehidupan, bukan persiapan untuk hidup. Sekolah melakukan kompetisi secara tidak alami. Dalam dunia kerja, apabila seseorang menghadapi suatu persoalan, biasanya ia diperkenankan meminta bantuan dari teman kerjanya. Di sekolah, anak-anak dilarang pindah, bicara, atau bahkan dilarang mencoba membantu temannya menyelesaikan persoalan. Titik tekan sekolah tradisional terletak pada perhatian yang tidak semestinya terhadap kompetisi yang tidak sehat secara sosial, dan tidak efisien menurut  pendidikan.

Interaksi sosial terbentuk dari sekelompok individu, karena ketergantungan lingkungan terhadap individu, masa eksistensi dan potensi dinamikanya dipengaruhi oleh individu pula. Sehubungan dengan ini, Mahmud Ahmad al-Sayyid menyatakan bahwa individu adalah bagian dari masyarakat, tidak exist dengan sendirinya. Individu hidup dalam masyarakat, untuk masyarakat, dan dengan masyarakat, sebagaimana halnya masyarakat tidak exist kecuali dengan adanya komponen individu. Masyarakat itu ibarat tubuh, agar tubuh tersebut hidup, harus menumbuhkan seluruh anggotanya, dan menunaikan tugasnya secara tepat dan teratur.[15]

Faktor Materi dalam Pendidikan Islam

Materi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menjadi bahan untuk diujikan, dipikirkan, dibicarakan, dikarangkan, dll. Sedangkan Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Istilah materi pendidikan berarti mengorganisir bidang ilmu pengetahuan yang membentuk basis aktivias lembaga pendidikan, bidang-bidang ilmu pengetahuan ini satu dengan lainnya dipisah-pisah namun merupakan satu kesatuan terpadu. Materi pendidikan harus mengacu pada tujuan, bukan sebaliknya tujuan mengarah kepada suatu materi, oleh karenanya materi pendidikan tidak boleh berdiri sendiri sendiri terlepas dari kontrrol tujuannya.[16]

Terkait materi-materi dalam pendidikan islam, H. M. Arifin seorang tokoh pendidikan islam terkemuka di Indonesia berpendapat tentang pengertian materi, dengan perkataannya “pada hakikatnya, materi yaitu bahan-bahan pelajaran yang disajikan dalam proses pendidikan, dan dalam suatu sistem institusional pendidikan.” selanjutnya beliau menyunting pendapat para pakar pendidikan islam mengenai materi dan ilmu dalam pendidikan sebagai berikut :

Pemilihan materi di samping harus sesuai dengan tujuan, dituntut pula agar sesuai dengan subjek didik yang dipelajarinya. Materi yang akan diberikan harus dapat disesuaikan dengan kemampuan peserta didik, menarik perhatian, minat, umur, bakat, jenis kelamin, latar belakang, dan pengalaman. Materi juga perlu diorganisasikan menurut urutannya dengan memperhatikan keseimbangan dari yang sederhana kepada yang kompleks, dari yang konkret menuju yang abstrak, sehingga dapat menuntun para pelajar secara runtun atau sistematis, sehingga melahirkan kurikulum.

Dalam sistem pendidikan sekolah, materi telah diramu dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi ini bersifat nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokal misinya adalah mengembangkan kebhinnekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan. Dengan demikian jiwa dan semangat Bhinneka Tunggal Ika dapat dikembangkan.

Faktor Alat atau Media dalam Pendidikan Islam

Pengertian alat pendidikan ialah segala sesuatu yang dipergunakan dalam usaha untuk mencapai tujuan dari pendidikan. Dengan demikian yang dimaksud dengan alat pendidikan agama ialah; Segala sesuatu yang dipakai dalam mencapai tujuan pendidikan agama. Ada yang berpendapat bahwa Faktor alat dan metode adalah meliputi materi pendidikan dan metode pendidikan.[17]

Dari beberapa literatur, tidak terdapat perbedaan pengertian antara alat dan media pendidikan, Zakiah Daradjat menyebutkan pengertian alat pendidikan sama dengan media pendidikan sebagai sarana pendidikan. Term alat berarti barang sesuatu yang dipakai untuk mencapai suatu maksud. Sedangkan media berasal dari bahasa latin dan bentuk jamak dari medium yang secara hafifah berarti perantara atau pengantar. Dalam hal ini batasan makna media pendidikan dirumuskan pada beberapa batasan. Diantaranya, Gegne menyebutkan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang peserta didik untuk belajar.

Sementara Brigs mendefinisikan media sebagai salah satu bentuk alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Dari dua definisi mengacu pada penggunaan alat yang berupa benda untuk membantu proses penyampaian pesan. Selanjutnya yang dimaksud dengan alat atau media pendidikan Islam disini adalah jalan atau cara yang dapat ditempuh unuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan Islam kepada anak didik agar terwujud keperibadian muslim

Alat pendidikan Islam yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencpai tujuan pendidikan Islam, dengan demikian maka alat ini mencangkup apa saja yang dapat digunakan dan mempunyai peranan penting sebab alat atau media dapat digunakan untuk menuntun atau membumbing anak dalam masa pertumbuhannya agar kelak menjadi kepribadian muslim yang diridhai oleh Allah.[18]

Jenis alat media 

Adapun Sutari Imam Barnadib mengemukakan bahwa alat pendidikan ialah tindakan atau perbutan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan ternyata mencangkup pengertian yang luas. Yang termasuk didalamnya berupa benda, seperti kelas, perlengkapan belajar dan yang sejenisnya. Alat ini disebut juga dengan alat peraga. Sedangkan yang merupakan alat bukan benda ialah dapat berupa situasi pergaulan bimbingan perintah, ganjaran teguran, anjuran serta tugas ancaman maupun hukuman. Media pendidikan atau alat pendidikan yang bersifat non materi memiliki sifat yang abstrak dan hanya dapat diwujudkan melalui perbuatan dan tingkah laku seorang pendidik terhadap anak didiknya. Diantara media dan sumber belajar yang termasuk kedalam katagori ini adalah : keteladanan, perintah,tingkah laku, ganjaran dan hukuman.

a) Keteladanan

Pada umumnya manusia memerlukan figure (sosok) identidikasi yang dapat membimbing manusia kearah kebenaran untuk memenuhi keinginan tersebut, untuk itu Alla­h mengutus Muhammad menjadi tauladan bagi manusia dan wajib diikuti oleh umatnya. Untuk menjadi sosok yang ditauladani, Allah menmerintahkan manusia termasuk pendidik selaku khalifah fial-ard} mengerjakan perintah Allah dan Rasul sebelum mengajarkannya kepada ornag yang akan dipimpin.

b) Perintah dan larangan

Seorang Muslim diberi oleh Allah tugas dan tanggung jawab melaksanakan peserta didikan “amar ma’ruf nahi munkar”Amar ma’ruf nahi munkar merupakan alat atau media dalam pendidikan. Perintah adalah suatu keharusan untuk berbuat atau melaksanakan sesuatu. Suatu perintah akan mudah ditaati oleh peserta didik jika pendidik sendiri menaati peraturan-peraturan, atau apa yang dilakukan sipendidik sudah dimiliki atau menjadi pedoman pula bagi hidup si pendidik. Sementara larangan dikeluarkan apabila si peserta didik melakukan sesuatu yang tidak baik atau membahayakan dirinya.larangan sebenarnya sama dengan perintah. Kalau perintah merupakan suatu keharusan untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, maka larangan adalah keharusan untuk tidak melakukan sesuatu yang merugikan.

c) Ganjaran

Maksud ganjaran dalam konteks ini adalah memberikan sesuatu yang menyenangkan (penghargaan) dan dijadikan sebuah hadiah bagi peserta didik yang berprestasi, baik dalam belajar maupun sikap prilaku. Pendidik dalam pendidikan Islam yang tidak memberikan ganjaran kepada peserta didik yang telah memperoleh prestasi sebagai hasila belajar, maka dapat diartikan secara implsit bahwa pendidik belum memanfaatkan alat pengajaran seoptimalnya.

d ) Hukuman

Selain ganjaran, hukuman juga merupakan alat atau media pendidikan. Dalam Islam hukuman disebut dengan iqab. Abdurahman al-Nahkawi menyebutkan bahwa tahrib yang berarti ancaman atau intimidasi melalui hukuman karena melakukan sesuatu yang dilarang. Sejak dahulu, hukuman dianggap sebagai alat atau media yang istimewa kedudukannya, sehingga hukuman itu diterapkan tidak hanya dibidang pengadilan raja, tetapi juga diterapkan pada semua bidang, termasuk bidang pendidikan.[19]

Fungsi Alat Media

Abu Bakar Muhammad berpendapat bahwa kegunan alat atau media pendidikan itu adalah:

a) Mampu mengatasi kesulitan-kesulitan dan memperjelasmateri pelajaran yang sulit

b Mampu mempermudah pemahaman dan menjadikan pelajaran lebih hidup

c) Merangsang anak untuk bekerja dan menggerakan naluri kecintaan, melatih belajar dan menimbulkan kemauan keras untuk mempelajari sesuatu.

d) Membantu pembentukan kebiasaan, melahirkan pendapat memperhatikan dan memikirkan suatu pelajaran.

e) Menimbulkan kekuatan perhatian (ingatan), mempertajam indra memperhalus perasaan dan cepat belajar.[20]

Macam-macam media

Alat-alat pendidikan agama dapat dikelompokkan menjadi 3 dengan uraian atau klasifikasi sebagai berikut:

a )Alat pengajaran agama: Yang dibedakan menjadi tiga ;

  1. Alat pengajaran Klasikal, Seperti Papan Tulis, kapur dan lain-lain.

2) Alat Pengajaran Individual. Seperti alat tulis, buku pelajaran dan lain-lain.

3) Alat Peraga.

b) Alat pendidikan langsung: termasuk alat pendidikan yang langsung juga adalah menggunakan emosi dan dramatisasi dalam menerangkan masalah agama. Karena agama lebih menyangkut perasaan.

c) Alat-alat pendidikan tidak langsung: Alat yang bersifat kuratif. Agar dengan demikian anak-anak menyadari perbuatannya yang salah dan berusaha untuk memperbaikinya.

Pengaruh Alat atau Media Dalam Pendidikan

Dalam pendidikan Islam, alat atau media jelas diperlukan. Sebab, alat atau media pengajaran mempunyai peran yang besar dan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikanyang diinginkan. Terdapat pendapat beberapa para ahli pendidikan mengenai manfaat atau kegunaan dari alat atau media dalam pendidikan. Yusuf Hadi Miraso dkk, menyatakan bahwa alat atau media berupa benda dalam pendidikan memiliki nilai-nilai praktis edukatif yang meliputi:

a) Membuat konsep abstrak menjadi konkret

b) Membawa objek yang sukar didapat dalam lingkunagan belajar siswa

c) menampilakan objek yang terlalu besar

d) Menampilkan objek yang diamati dengan mata telanjang

e) Mengamati gerakan yangterlalu cepat

f) Memungkunkan keseragaman pengamtan dan presepsi bagi pengalaman belajar siswa

g) Membangkitkan motivasi belajar

h) Menyajikan informasi belajar yang konsisten dan dapat diulangmaupun disimpan. Sedangkan alat berupa non-benda, karena sifatnya abstrak maka ia berperan dalam pemahaman nilai dan penilaian akhlak.

Faktor Kurikulum dalam Pendidikan Islam

Pada umumnya penyusunan kurikulum dibuat berdasarkan pengalaman pribadi dan sosial siswa. Pelajaran yang diberikan sering kali berhubungan dengan ilmu sosial agar dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan berupa pengalaman dan rencana siswa. Namun karena penyelesaian persoalan itu melibatkan kemampuan komunikasi, proses matematis, dan pembahasan ilmiah, maka kurikulumnya dirancang secara interdisipliner dengan alam sekitar. Buku dipandang sebagai alat untuk membantu proses belajar, bukan sebagai sumber utama ilmu pengetahuan.[21]

Dalam pandangan al-Abras}i, penyusunan kurikulum itu hendaknya berpegang pada beberapa prinsip, yaitu :[22]

  1. Pertimbangan pada adanya pengaruh mata pelajaran itu dalam pendidikan jiwa serta kesempurnaan jiwa.
  2. Adanya pengaruh suatu pelajaran dalam menjalani cara hidup yang mulia, sempurna, seperti pengaruh ilmu akhlak, hadis, fikih atau yang lainnya.
  3. Perlunya menuntut ilmu karena ilmu itu sendiri.
  4. Mempelajari ilmu pengetahuan karena ilmu itu dianggap yang terlezat bagi manusia.
  5. Prinsip pendidikan kejuruan, teknik, dan industrialiasasi buat mencari penghidupan.
  6. Mempelajari beberapa mata pelajaran adalah alat dan pembuka jalan unuk mempelajari ilmu-ilmu lain.

Dengan demikian kurikulum pendidikan Islam meliputi kepentingan duniawi (point 3 sampai 6) dan kepentingan uh}rawi (spiritual) (poin 1 dan 2)

Kurikulum dalam pandangan Islam dikembangkan kearah tauhid atau iman kepada Allah SWT. Hamid al-Hasan Bilgrami dan Syed ‘Ali Asyraf menerangkan bahwa inti dari sarana pengembangan kurikulum dilihat dari sudut pandang Islami adalah kebenaran yang fundamental dan yang tidak dapat diubah, yaitu prinsip tauhid.[23]

Faktor Metode dalam Pendidikan Islam

Pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik ke arah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mwujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai Khalifah Allah SWT. baik kepada Tuhannya, sesama manusia, dan sesama makhluk lainnya. Pendidikan yang dimaksud selalu berdasarkan kepada ajaran al Qur’an dan Al Hadits. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan metodologi pendidikan Islam adalah cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan Islam.[24]

Tugas utama metode pendidikan adalah mengadakan aplikasi prinsip-prinsip psikologis dan paedagosis sebagai kaegiatan antar hubungan pendidikan yang terealisasi melalui penyampaian keterangan dan pengetahuan agar siswa mengetahui, memahami, menghayati, dan meyakini materi yang diberikan, serta meningkatkan keterampilan olah pikir.[25]

Pada dasarnya metode pendidikan islam sangat efektif dalam membina kepribadian anak didik dan memotivasi mereka sehingga aplikasi metode ini memungkinkan puluhan ribu kaum mukminin dapat membuka hati manusia untuk menerima petunjuk ilahi dan konsep-konsep pendepan Islam. Selain itu, metode pendidikan Islam akan mampu menempatkan manusia diatas luasnya permukan bumi dan dalam masa yang tidak demikian kepada penghuni bumi lainnya[26].

Metode yang menonjol dan dianggap penting adalah:

Metode Dialog Qur’ani dan Nabawi

Adalah pendidikan dengan cara berdiskusi sebagaimana yang digunakan oleh al Qur’an dan hadits-hadits nabi. Metode ini, disebut pula metode khiwar yang meliputi dialog khitabi dan ta’abbudi (bertanya dan lalu menjawab) dialog deskriftif dan dialog naratif (menggambarkan dan lalu mencermati), dialog argumentatif (berdiskusi lalu mengemukakan alasan), dan dialog nabawi (menanamkan rasa percaya diri, lalu beriman). Untuk yang terkhir ini, dialog Nabawi sering dipraktekkan oleh sahabat ketika mereka bertanya sesuatu kepada Rasulullah.  Dialog qur’ani merupakan jembatan yang dapat menghubungkan pemikiran seseoarang dengan orang lain sehingga mempunyai dampak terhadap jiwa peserta didik.

Metode Kisah Qur’ani dan Nabawi

Metode kisah disebut juga metode cerita yakni cara mendidik dengan mengandalkan bahasa, baik lisan maupun tertulis dengan menyampaikan pesan dari sumber pokok sejarah Islam, yakin al-Qur’an dan Hadits.

Dalam al-Qur’an dijumpai banyak kisah, terutama yang berkenaan dengan misi kerasulan dan umat masa lampau.muhammad Qutb berpendapat bahwa kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an dikategorikan kedalam tiga bagian : Pertama, kisah yang menunjukkan tempat, tokoh dan gambaran peristiwa. Kedua, kisah yang menunjukkan peristiwa dan keadaan tertentu tanpa menyebut nama dan tempat kejadian. Ketiga, kisah dalam bentuk dialog yang terkadang taidak disebutkan pelakunya dan diman tempat kejadiannya.

Metode Perumpamaan

Metode ini, disebut pula metode “amsal” yakni cara mendidik dengan memberikan perumpamaan, sehingga mudah memahami suatu konsep. perumpamaan yang diungkapkan Al-qur’an memiliki tujuan psikologi edukatif, yang ditunjukkan oleh kedalaman makna dan ketinggian maksudnya. Dampak edukatif dari perumpamaan al-Qur’an dan Nabawi diantaranya:

a) Memberikan kemudahan dalam memahami suatu konsep yang abstrak, ini terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda sebagai contoh konkrit dalam al-Qur’an.

b) Mempengaruhi emosi yang sejalan dengan konsep yang diumpamakan dan untuk mengembangkan aneka perasaan ketuhanan.

c) Membina akal untuk terbiasa berfikir secara valid pada analogis melalui penyebutan premis-premis.

d) Mampu mencipatan motivasi yang menggerakkan aspek emosi dan mental manusia.

Metode keteladanan

Metode ini, disebut juga metode meniru yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan contoh teladan yang baik kepada anak didik. Dalam Al-qur’an, kata teladan diproyeksikan dengan katauswah yang kemudian diberikan sifat dibelakangnya seperti sifat hasanahyang berarti teladan yang baik. Metode keteladanan adalah suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan contoh teladanan yang baik kepada anak didik agar ditiru dan dilaksanakan. Dengan demikian metode keteladanan ini bertujuan untuk menciptakan akhlak al-mahmudah  kepada  peserta didik.

Acuan dasar dalam berakhlak al-mahmudah  adalah Rosulullah dan para Nabi lainnya yang merupakan suri tauladan bagi umatnya.seorang pendidik dalam berinteraksi dengan anak didiknya akan menimbulkan respon tertentu baik positif maupun negatif, seorang pendidik sama sekali tidak boleh bersikap otoriter, terlebih memaksa anak didik dengan cara-cara yang merusak fitrahnya. Nilai edukatif keteladanan daam dunia pendidikan adalah metode influitif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk moral spriritual dan sosial anak didik. Keteladanan itu ada dua macam:

a) Sengaja berbuat untuk secara sadar ditiru oleh si terdidik.

b) Berperilaku sesuaidengan nilai dan norma yang akan ditanamkan pada terdidik, sehingga tanpa sengaja menjadi teladan bagi terdidik

Metode Ibrah dan Mau’izhah

Metode ini disebut juga metode “nasehat” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberi motivasi. Metode Ibrah atau mau’z}ah (nasehat) sangat efektif dalam pembentukan mana anak didik terhadap hakekat sesuatu, serta memotivasinya untuk bersikap luhur, berakhlak mulia dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam. Menurut al-Qur’an, metode nasehat hanya diberikan kepada mereka yang melanggar peraturan dalam arti ketika suatu kebenaran telah sampai kepadanya, mereka seolah-olah tidak mau tau kebenaran tersebut terlebih melaksanakannnya. Pernyataan ini menunjukkan adanya dasar psikologis yang kuat, karena orang pada umumnya kurang senang dinasehati, terlebih jika ditunjukkan kepada pribadi tertentu.

Metode targhib dan tarhib

Metode ini, disebut pula metode “ancaman”  dan atau “intimidasi” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan hukuman atas kesalahan yang dilakukan peserta didik. Istilah targhib dan tarhib dalam al-Qur’an dan al-Sunnah berarti ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh suatu dosa kepada Allah dan Rasulnya. jadi, iya juga dapat diartikan sebagai ancaman Allah melalui penonjolan salah satu sifat keagungan dan kekuatan illahiyah agar mereka (peserta didik) teringat untuk tidak melakukan kesalahan.

Ada beberapa kelebihan yang palinh berkenaan dengan metode targhib dan tarhib ini antara lain:

a) Taghib dan tarhib bertumpu pada pemberian kepuasan dan argumentasi.

b) Targhib dan tarhip disertai gambaran keindahan surgaynag menakjubkan atau pembebasan azab neraka.

c) Targhib dan tarhib islami bertumpu pada pengobatan emosa dan pembinaan efeksi ketuhanan.

d) Targhib dan tarhib bertumpu pada pengontrolan emosi dan keseimbangan antara keduanya

[1] Assegaf, Abd. Rahman. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Rajawali Pers, 2011).109.

[2] Karti, Soeharto, dkk, Teknologi Pembelajaran (Surabaya: SIC, 1995).6.

[3] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta : Andi offset, 1987).35.

[4] Al-Rasyidin & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat : PT. Ciputat Press, 2002), h. 44.

[5] Omar Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), h. 136.

[6] Al-Imam Muslim, S}ahi>h Muslim, Jilid II, (Bandung : Dah}la>n, tt), h. 466.

[7] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), h. 37.

[8] Al-Rasyidin, Filsafat. Ibid, 48-50.

[9] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988), h. 26-27.

[10] Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah Al-Islamiyyah wa Fala>sifatuha>, (Lebanon : Da>r al-Fikr, 1969), h. 90.

[11] Ibid., h. 90-91

[12] Ibid., h. 111.

[13] Ibid., h. 27.

[14] Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah Al-Islamiyyah wa Fala>sifatuha>, (Lebanon : Da>r al-Fikr, 1969), h. 100.

[15] Mahmud Ahmad al-Sayyid, Mu’jizat al-Islam al-Tarbawiyah, (Kuwait : Da>r al-Buhu>s al-Ilmiyah, 1978), h. 146.

[16] Saleh, Abdurrahman Abdullah. Teori-Teori Pendidikan berdasarkan Al-Qur’an. (PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994). 159.

[17] Daradjat, Zakiah Dr dkk, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bumi Angkasa, Jakarta, 2001). 91.

[18] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2008).2.

[19] Ibid. 27

[20] Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1996). 123.

[21] Arthur K. Ellis, Introduction To The Foundation Of Education, (New Jersey: Eaglewood Clift Prentice Hall. 1986). 119-120.

[22] Al-Abra>shi, Muhammad ‘At}iyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Terjemah: Prof. H. Bustami A. Gani dan Johar Bahri dari : al-Tarbiyali al-Islamiyah, Jakarta : Bulan Bintang, 1990.

[23] Hamid Hasan Bilgrami & Sayid ‘Ali Ashraf, Konsep Universitas Islam (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1989). 84.

[24] Armai, arif. Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta : Ciputat Press, 2001). 41.

[25] Mujib, Abdullah, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta : Fajar Inter Pratama Uffset, 2008). 16.

[26] Al-nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah, Dan Masyarakat. (Jakarta : Gema Insani, 1995). 204.

Baca Juga: