Menu Tutup

Fenomena Mazhabku Rasulullah

Ada satu jawaban menggemaskan dari seseorang yang tak sudi untuk mengikuti satu madzhab fiqih pun dalam Islam. Saat dia dimintai ketegasan sebenarnya menganut madzhab apa, tanpa ragu sedikit pun kemudian menjawab bahwa dirinya bermadzhab dengan madzhab Rasulullah SAW.

Secara sekilas frasa ‘madzhab Rasulullah’ ini memang terkesan manis. Wajar jika banyak di antara kaum muslimin ikut larut dalam meyakininya. Bagaimana tidak, madzhab yang mereka anut bukan lagi Hanafi, Maliki, Syafi’i atau Hanbali yang mereka semua sama sekali bukan nabi yang maksum. Bahkan bertemu dengan nabi pun, mereka tidak pernah.

Maka ‘madzhab Rasulullah’ ini, meski tidak begitu jelas seperti apa konsepnya, siapa saja ashabnya, apa saja kitab-kitab muktamadnya, namun madzhab ini mulai laris dibeli oleh sebagian konsumen yang hanya kenal sekilas kemasannya.

Kemasan-kemasan semacam ini memang cukup banyak kita jumpai. Bukan saja di zaman sekarang yang penuh dengan simbol, slogan dan yel-yel tidak esensial sama sekali. Bahkan di zaman dahulu pun, ada fenomena keberagamaan yang hanya memahami agama secara harfiyah saja tanpa meresapi dan menghayati maqashid (substansi) nya.

Maka dalam sejarah, kita mengenal ada satu madzhab bernama dzahiriah (literalis, tekstualis dan skriptualis) dengan level yang berbeda-beda dalam diri masing-masing penganutnya.

Kemasan-kemasan lain yang senada dengan ‘madzhabku Rasulullah’ dan dengan mudah kita jumpai hari ini, yang tampak manis sekali namun perlu kita ambil jarak hati-hati terhadapnya antara lain; kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah, Islam itu agama dalil, Hukum itu hanya milik Allah, Berislam dengan Islamnya Rasulullah, tidak ada kebaikan dalam Islam kecuali yang sesuai dengan salaf, dan lain sebagainya.

Kemasan-kemasan tersebut adalah fenomenafenomena yang secara esensial senafas dengan semangat ‘madzhabku Rasulullah’.

Sebelum masing-masing slogan tadi diulas satu per satu, perlu ditegaskan sejak dini di sini bahwa sama sekali tidak ada yang salah dari seruan-seruan tersebut. Ya, tidak ada yang salah. Bagaimana mungkin penulis akan menolak seruan kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah ?

Hanya saja problematikanya memang tidak terletak pada seruan-seruan tersebut. Akan tetapi seruan dan slogan yang sangat indah tersebut belum tentu benar-benar sesuai dengan tujuannya kalau tidak dilaksanakan dengan kaidah keilmuannya.

Bahkan lebih dari itu, kita mungkin tidak akan lupa bahwa dahulu Ali ibn Abi Thalib pernah menyebut sebuah slogan yang dikutip dari ayat Al Qur’an oleh suatu kaum sebagai slogan yang haq (benar) namun menyimpan agenda yang busuk. Bukankah di awal tulisan juga telah jelas terbukti bahwa apa yang pernah disangka-sangka sebagai ‘madzhab Rasulullah’ ternyata benar-benar berpunggungan dengan kehendak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.

1. Kembali Kepada Al Qur’an dan Sunnah

‘Madzhab Rasulullah’ bila ditawarkan kepada kalangan awam, dan dibandingkan dengan madzhabmadzhab lain yang baru lahir jauh setelah wafatnya Rasulullah, jelas akan mendapatkan kemenangan dan keunggulan.

Salah satu hadits yang sudah sangat terpatri dalam sanubari kaum muslimin terkait hal ini adalah,

تَ ركَْتُ فيْكُمْ أمْرينِ لنْ تضِلوْا مَا تََسَّكْتمْ بِِمَا : كتابَ اللِه وَ سُنةَ رسُوِْلهِ

Telah aku tinggalkan pada kalian dua hal yang selama berpegang teguh dengan keduanya, maka kalian tidak akan pernah tersesat selamanya; Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. 

Begitu juga dengan ayat-ayat Al Qur’an yang memerintahkan untuk taat kepada Allah dan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seruan ‘kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah’ benar-benar membawa semangat ayat-ayat dan hadits tersebut.

Dan lagi-lagi perlu ditegaskan bahwa kita sama sekali tidak boleh menolak seruan ini. Namun yang perlu kita lakukan kemudian adalah mengawal apakah penyerunya atau yang diserunya benarbenar berjalan menuju tujuan ?

Dahulu sekali Rasul sudah mewanti-wanti agar jangan ada satu orang pun yang berani berbicara tentang Al Qur’an hanya dengan logikanya semata. Siapa yang melakukannya, maka dia perlu bersiapsiap untuk menempati tempat duduknya di neraka.

Terkait hadits, para ulama juga sudah mewantiwanti bahwa hadits-hadits nabi itu adalah belantara luas yang banyak orang bisa tersesat di dalamnya. Kecuali jika mereka mempercayai guide atau penunjuk jalan berupa para fuqaha.

Banyak yang tak lepas berbicara tentang Islam dengan dalil-dalil kitab suci atau sabda nabi, tapi mereka semua justru hakikatnya keluar dari ajarannya secepat anak panah yang lepas melesat meninggakan busurnya.

Jadi, mari kita kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi harus dengan bimbingan dan kawalan ketat para ulama.

2. Islam itu Agama Dalil

Islam itu agama dalil. Dan madzhab sama sekali bukan dalil. Kewajiban umat Islam adalah mengikuti Al Qur’an dan Sunnah. Dan keduanya adalah dalil.

Seperti inilah pemahaman dasar kaum muslimin. Dan pemahaman ini sama sekali tidak salah. Namun secara akademis, tidak sepenuhnya benar, jika yang dimaksud dalil oleh mereka hanya terbatas pada Al Qur’an dan Sunnah semata.

Ada banyak kesepakatan kaum muslimin di masamasa awal Islam yang tak menemukan landasan dalilnya kalau dalil hanya dibatasi pada Al Qur’an dan Sunnah saja. Pembukuan Al Qur’an, Adzan dua kali shalat jum’at, shalat dhuha berjamaah, bahkan adanya madzhab-madzhab fiqih yang dianut oleh seluruh kaum muslimin di dunia ini, adalah semua hasil kreatifitas para ulama kita yang tentu saja ada sekian dalil yang menjadi landasannya. Dan itu disepakati oleh mereka. Walaupun kalau mau dicari landasan dalil tersebut dari Al Qur’an ataupun sunnah, maka tidak akan kita temukan.

Dalil di luar Al Qur’an dan Sunnah yang disepakati adalah ijma dan juga qiyas. Nah dengan ijma atau qiyas inilah, semua kreatifitas tadi menemukan landasannya. Dan Al Qur’an maupun sunnah memang melegitimasi adanya ijma dan qiyas tersebut.

Hanya saja legitimasi tersebut tidak akan bisa ditemukan kecuali oleh para ulama. Karena tak satu pun ayat maupun hadits yang mengatakan bahwa setelah Al Qur’an dan Hadits, dalil berikutnya adalah Ijma dan Qiyas. Bahkan istilah dalil itu sendiri juga bukanlah istilah yang dipetik dari Al Qur’an maupun Sunnah. Istilah dalil adalah kreatifitas yang dianugerahkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada para mujtahid kita.

Makanya kalau kita mau berbalas tanya kepada yang sering bertanya mana dalilnya, maka kita cukup tanyakan mana dalil yang menunjukan adanya istilah dalil ?

Dalam ilmu ushul fiqih dalil itu seperempat bagian dari objek pembahasan ushul fiqih. Kalau kitab ushul fiqihnya berjilid-jilid, maka pembahasan dalil membutuhkan beberapa jilid. Apakah yang suka tidak terima jika sudah disajikan dalil itu pernah sedikit saja membuka jilid-jilid tentang dalil ?

3. Hukum itu Hanya Milik Allah

Ini adalah seruan yang haq. Kita tidak mungkin menolaknya. Seruan ini diambil dari ayat Al Qur’an. Karena berasal dari sebuah ayat, seharusnya dipahami dengan metode dan kaidah tafsir yang benar.

Kalau penggalan ayat tersebut hanya dihafal namun dipahami dengan salah, maka hal ini memang sudah pernah terjadi jauh di masa-masa awal Islam.

Dahulu ada seorang yang sangat amat shalih. Rajin ibadah. Bahkan kemampuannya membaca Al Qur’an sampai membuatnya mendapatkan gelar muqri. Umar ibn Khattab bahkan sampai mempercayainya sebagai utusan pengajar Al Qur’an di Mesir. Umar sampai meminta kepada Amr ibn Ash gubernur Mesir untuk memuliakannya dengan menyediakan rumah khusus untuknya.

Namun seshalih itu, dia masih perlu untuk belajar lagi lebih dalam tentang Islam. Pengetahuannya tentang Al Qur’an belumlah cukup memadai. Buktinya, pada saat Ali dan Muawiyah sepakat mengadakan tahkim (arbitrase) untuk menyudahi peperangan diantara mereka, dia termasuk yang menentang keras tahkim tersebut. Alasannya adalah hukum itu hanya milik Allah. Dan tahkim, meskipun memang menyelesaikan dan mengakhiri peperangan, tapi sama sekali bukan hukum Allah. Tahkim itu menyerahkan hukum kepada manusia.

Padahal kalau saja lelaki shalih tadi sedikit berpikir, saat itu tahkim sama sekali tidak dilakukan oleh para shahabat yang sekedar hafal Al Qur’an. Tahkim dilakukan oleh mereka yang sangat paham kandungan hukum Al Qur’an. Ali dan Muawiyah adalah tokoh besar dalam keilmuan Islam termasuk Al Quran dan kandungannya. Dan yang diutus untuk melakukan proses tahkim adalah Amr ibn Ash (pihak Muawiyah) dan Abu Musa Al Asy’ari (pihak Ali) yang juga dua ulama dari kalangan shahabat.

Tapi memang begitulah salah satu karakter sebagian orang; tidak tahu bahwa dirinya tak tahu. Maka lelaki shalih yang hanya pandai membaca Al Quran itu akhirnya termasuk ke dalam kelompok penentang dan keluar dari ketaatan kepada Ali.

Bahkan saat sebagian dari ribuan orang yang tersesat dalam kelompok tersebut berhasil disadarkan oleh Ibnu ‘Abbas, lelaki shalih tadi tidak termasuk yang kembali sadar. Bahkan di akhir ceritanya, lelaki shalih tadi malah berani merencanakan dan kemudian mengeksekusi pembunuhan Ali ibn Abi Thalib. Itulah Abdurahman ibn Muljam yang membunuh manusia mulia dengan meneriakan ayat hukum itu hanya milik Allah.

Kalau saja orang seperti Ibnu Muljam ini sadar kapasitas dirinya. Dan percaya akan kapasitas para ulama seperti Ali, Muawiyah, Abu Musa Al Asy’ari, Amr ibn Ash dan Ibnu Abbas, barangkali ceritanya akan berakhir lain.

Dan ‘madzhabku Rasulullah’ kalau kita diagnosa, kurang lebih memiliki jenis virus keilmuan yang agak mirip. Tidak percaya dengan kapasitas, pandangan dan madzhab para ulama. Tapi terlalu percaya diri dengan kapasitas dirinya sehingga yakin bahwa madzhabnya adalah madzhab Rasulullah.

4. Berislam dengan Islamnya Rasulullah

Mencontoh Rasulullah memang diharuskan. Beliau adalah sebaik-baik teladan. Dan dalam menjalankan ajaran agama Islam ini, kita mau tidak mau memang harus menjadikan Rasulullah sebagai satu-satunya panutan utama. Itulah uswah hasanah.

Namun berislam dengan Islam Rasulullah itu ada ilmunya. Islam Rasulullah itu jangan dimaknai sebagai islam yang tidak perlu bermadzhab, dengan alasan di zaman nabi tidak ada yang namanya madzhabmadzhab.

Justru melalui madzhablah kita jadi mengenal bagaimana sebenarnya Islam Rasulullah itu ? Meski dengan pengenalan yang rata-rata bersifat dzanni, akan tetapi madzhab adalah sumber otoritatif tentang hakikat Islamnya Rasulullah itu.

Dan saat sebagian kaum muslimin mengenal ‘Islamnya Rasulullah’ tidak melalui jalur madzhab, kita kemudian menyaksikan satu fenomena yang kadang menggelikan; hal-hal yang bersifat lokal arab namun diyakini sebagai Islamnya Rasulullah.

Kita tidak boleh mengingkari keutamaan Rasulullah yang berasal dari suku quraisy sebagai suku terbaik arab itu. Akan tetapi tidak semua yang Rasul lakukan dan Rasul katakan adalah merupakan bagian dari agama.

Ada banyak tradisi lokal yang memang biasa dijalani oleh Rasulullah sebagaimana dijalani juga oleh masyarakat arab pada umumnya. Bahkan termasuk orang-orang arab yang menjadi musuhnya. Ada tradisi dari sisi pakaian, makanan, pengobatan, dan lain sebagainya.

Selama tidak ada teks syariah yang menunjukkan bahwa hal-hal tadi bagian dari agama, maka itu mutlak tradisi. Bahkan yang jelas-jelas syariah dan bukan tradisi pun ada yang bersifat sangat personal hanya untuk Rasul saja. Meski itu Syariah, tapi bisa jadi malah makruh bahkan haram untuk diamalkan oleh kita umatnya.

Makanya untuk merumuskan konsep ‘Islamnya Rasulullah’ ini kemudian para ulama mengklasifikasi semua yang bersumber dari nabi menjadi beberapa bagian. Dan itu semuanya tidak kita temukan kecuali dari karya para ulama madzhab.

Ada bagian yang memang wajib bagi Rasulullah akan tetapi tidak wajib bagi umatnya. Shalat witir, dhuha, dan berkurban misalnya, adalah beberapa contoh yang kita kenal sebagai ibadah sunnah bagi umat Islam. Padahal dalam konsep Islamnya

Rasulullah, ibadah tersebut adalah ibadah wajib.

Ada bagian yang boleh bagi nabi tapi haram bagi umatnya. Contohnya adalah menikah lebih dari empat. Sebagai umat Islam kita sama sekali diharamkan untuk melakukannya. Akan tetapi dalam konsep Islamnya Rasulullah, maka hal tersebut termasuk yang dibolehkan. Bahkan dalam proses pernikahan itu sendiri, Islamnya Rasulullah kadang tidak mengenal beberapa hal yang dalam Islam umatnya menjadi syarat dan rukun.

Dan ada sekian jumlah hal-hal personal dan lokal lainnya yang sudah dipetakan dengan sangat amat jelas oleh para ulama kita terkait mana yang syariah dan mana yang bukan.

Itu semua dirumuskan agar tidak ada yang mengklaim bahwa itu sunnah Rasul, itu Islam Rasul, itu Syariah Rasul yang wajib untuk diikuti. Padahal realitanya dihukumi sunnah atau bahkan hanya perkara mubah. Malah bisa jadi merupakan perkara yang Islam haramkan. Walaupun dalam Islamnya

Rasulullah, hal itu dibolehkan.

Oleh karena itulah sebagian shahabat dahulu, pada saat ada hal-hal yang agaknya kurang pas dari Nabi, dengan nada santun mereka bertanya terlebih dahulu, “apakah itu berasal wahyu ?”. Karena, kalau itu wahyu, maka sejanggal apapun mereka akan dengar dan taat. Itulah syariat. Itulah agama.

5. Kebaikan itu Hanya Yang Sesuai Salaf

Ada satu kaidah yang sering didengungkan oleh sebagian kaum muslimin. Kaidah ini sebenarnya bukanlah kaidah fiqih maupun kaidah ushul. Akan tetapi dijadikan sebagai kaidah unggulan dalam rangka melarang suatu perbuatan yang sama sekali tak dikenal di masa salaf.

Kaidah itu berbunyi; Andai saja perbuatan itu baik, niscaya para salaf sudah mendahului kita dalam melakukannya.

Kalau semacam kaidah ini dijadikan sebagai prinsip kehati-hatian dalam mengamalkan suatu amalan tertentu, barangkali tidak terlalu bermasalah. Akan tetapi jika kaidah tersebut sekaligus diposisikan sejajar dengan dalil-dail syar’i, dan digunakan untuk melarang beragam amalan hanya karena tidak pernah dikenal di masa salaf, maka ini akan menjadi persoalan serius.

Sebagaimana perintah itu membutuhkan dalil, begitu juga yang namanya larangan. Dan kaidah tadi sama sekali bukanlah dalil. Apalagi kaidah ini, yang ternyata sama sekali tidak dijumpai dalam kitab-kitab kaidah, bahkan kaidah-kaidah fiqih yang ada pun para ulama juga tidak menyepakati sebagai dalil kecuali pada kaidah yang memang redaksioanalnya diambil langsung dari teks-teks syariah.

Segala hal yang baru dalam agama yang dikenal dengan terminologi bid’ah itu, tidaklah mudah disimpulkan sebagai benar-benar bid’ah terlarang hanya dengan sebuah kaidah. Apalagi kaidah ini tidak terdapat dalam kitab-kitab kaidah. Kalau satu kaidah ini saja cukup, mengapa sekelas Imam Syatibi misalnya mau menuliskan buku khusus yang tebal bernama Al I’thisham dalam rangka membahas perkara-perkara yang baru. Dan ada sejumlah ulama lain yang juga menuliskan hal yang sama.

Barangkali kaidah yang malah relevan terkait bid’ah adalah ‘hukum asal segala ibadah adalah terlarang’ atau yang redaksioanalnya agak lebih tepat ‘hukum asal segala ibadah adalah tauqifi’. Redaksi kaidah yang pertama akan bermasalah jika hanya berhenti sampai kata terlarang saja. Karena bagaimana bisa terlarang, bukankah manusia (dan juga jin) tidaklah diciptakan di dunia ini kecuali untuk beribadah ?  

Maka agar tidak bermasalah, redaksi kaidah pertama itu harus diiringi dan selalu diikuti dengan lanjutannya; kecuali jika ada dalil yang melandasinya. Sehingga lengkapnya menjadi ; ‘hukum asal segala ibadah adalah terlarang’ kecuali jika ada dalil yang melandasinya. Dan yang namanya dalil, tentu saja para ulama ushul fiqih tidak hanya membatasi pada Al Qur’an dan Sunnah saja.

Dengan dalil yang tidak sebatas Al Qur’an dan Sunnah itulah maka kemudian kita menyaksikan ada banyak hal yang tidak dikenal di masa sebelumnya, akan tetapi kita saksikan bermunculan di masa berikutnya. Tentu saja para ulama tidak akan berani

‘memunculkan’ kecuali benar-benar menemukan landasan dalilnya.

Realita kemunculan hal-hal baru yang tidak dikenal sebelumnya sebagaimana kita saksikan dalam sejarah ini, menjadi bukti bahwa tidak selalu suatu kebaikan tertentu harus sudah dilakukan para salaf terlebih dahulu.

Dan madzhab-madzhab fiqih yang kita kenal hari ini, dengan usianya yang sudah mencapai belasan abad dianut oleh para ulama Islam, menjadi salah satu bukti akan hal itu.

Walaupun tidak dikenal di masa awal Islam, dan baru bermunculan di masa jauh setelah wafatnya Rasulullah, akan tetapi tidak ada satu pun yang kemudian menolak eksistensinya. Apalagi sampai memeranginya.

Sumber: Sutomo Abu Nashr, Madzhabmu Rasulullah? Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Indonesia, 2018

Baca Juga: