Menu Tutup

Fikih Haji : Pengertian, Dalil, Syarat Wajib Haji, Rukun Haji, Macam, Hal-hal yang Dilarang dll.

A. Pengertian Haji

Secara bahasa kata haji berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hajj yang artinya menyengaja.[1] Al-hajj juga berarti mengunjungi atau mendatangi.4

Sedangkan secara istilah Haji adalah “perjalanan mengunjungi baitullah untuk melaksanakan serangkaian ibadah pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.”[2] Menurut Sayyid Sabiq, “Haji ialah mengunjungi Mekkah untuk mengerjakan ibadah thawaf, sa’i, wuquf di Arafah dan ibadah-ibadah lain demi memenuhi titah Allah dan mengharap keridhaan-Nya.”[3]

Jadi, haji ialah sengaja mengunjungi Baitullah untuk melaksanakan serangkaian ibadah thawaf, sa’i, wuquf di Arafah dan ibadah lainnya pada waktu dan tempat yang telah ditentukan, yang merupakan salah satu dari rukun Islam.

B. Hukum dan Dasar Hukum Haji

Haji merupakan salah satu rukun Islam yang lima. Sudah barang tentu hukum melaksanakan haji adalah wajib bagi yang mampu.

Dasar hukumya, yaitu:

Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Q.S. Ali Imran : 97)[4]

Dalam hadis Nabi Saw juga dapat kita jumpai mengenai kewajiban haji, yaitu:

Artinya: “Islam itu didirikan atas lima perkara: Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji, dan berpuasa dalam bulan Ramadhan.” (H.R. Mutafaq alaih)

C. Tujuan Diwajibkannya Haji

Islam merupakan agama yang kompleks dan pasti benarnya. Hal ini dapat kita ambil sebagian contohnya, di antaranya semua perkara yang disyari’atkan oleh

Allah mempunyai tujuan dan manfaat. Baik itu yang umumnya dapat diketahui dan juga yang hanya Allah lah yang mengetahui. Berangkat dari itu, ibadah haji yang juga disyari’atkan tentunya memiliki tujuan. Berikut tujuan-tujuan diwajibkannya haji:

Tujuan diwajibkannya haji adalah memenuhi panggilan Allah untuk memperingati serangkaian kegiatan yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim sebagai penggagas syari’at Islam. Kisah Nabi Ibrahim sehubungan dengan ini dikatakan Allah dalam Q.S.  Ibrahim: 37;[5]

Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati; ya Tuhan kami agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dengan buah-buahan; mudah-mudahan mereka bersyukur.9

D. Syarat-Syarat Wajib Haji

Syarat wajib haji adalah ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat  apabila ada pada seseorang, maka wajib haji berlaku bagi dirinya.[6] Maksudnya, apabila seseorang telah memenuhi syarat yang telah ditentukan ini, maka wajib baginya untuk melaksanakan haji.

Syarat wajib haji juga ada yang bersifat umum(pria dan wanita), dan ada juga yang bersifat khusus (wanita). Syarat wajib haji yang bersifat umum yaitu:

  1. Muslim
  2. Mukallaf

Mukallaf  ialah orang yang telah di anggap cakap bertindak hukum. Seseorang yang belum dikenakan taklif hukum maka ia juga belum cakap bertindak hukum. Dasar pembebenan ini ialah baligh, berakal, dan punya pemahaman. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw, sebagai berikut:

Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang), yaitu orang yang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampaiu ia baligh, dan orang gila sampai dia sembuh.” (H.R. Bukhari)[7]

  1. Merdeka

Seorang budak tidak dikenakan wajib haji. Karena haji merupakan ibadah yang menghendaki waktu dan kesempatan, sedang seorang hamba sahaya (budak) sibuk dengan urusan majikannya dan tidak mempunyai kesempatan.[8]

  1. memiliki kemampuan

Seseorang yang tidak memiliki kemampuan tidak dikenakan wajib haji. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Q.S. Ali Imran : 97.  

Artinya: ”Bagi siapa yang mampu di perjalanan.” (Q.S. Ali Imran :97)[9]

Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, kemampuan itu memiliki tiga komponen, yaitu kekuatan badan atau fisik, kemampuan harta dan keamanan dalam perjalanan sampai ke tanah suci.[10]

Selain itu madzhab Syafi’i menentukan kriteria kemampuan yang meliputi tujuh komponen, yaitu kekuatan fisik, kemampuan harta, tersedianya alat transportasi, tersedianya kebutuhan pokok yang akan dikonsumsi selama di tanah suci, perjalanan dan di tanah suci aman, jika ia seorang wanita maka ia harus ada mahramnya.15

Sedangkan madzhab Hambali hanya menyatakan dua kriteria, yaitu kemampuan harta dan aman dalam perjalanannya. Madzhab Hambali ini merujuk pada hadis Nabi Saw, berikut:

Artinya:” Dari Jabir, bahwa Abdullah berkata: Nabi Saw. Pernah ditanya orang tentang apakah yang dimaksud dengan sabil itu? Nabi menjawab bekal dan kendaraan. (HR Daruquthni)[11]

Kemudian syarat wajib haji bagi wanita. Sebenarnya antara pria dan wanita jika telah memenuhi syarat-syarat di atas sudah ada kewajiban haji baginya. Hanya saja bagi wanita ada tambahannya, yaitu sebagai berikut:

1, Harus didampingi suaminya atau mahramnya

Hal ini berdasar hadis Nabi Saw:

Artinya:” dari Abbas r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw. Bersabda: dan seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan kecuali disertai mahramnya. (HR Bukhari dan Muslim)[12]

Menurut Madzhab Syafi’i ialah mensyaratkan suami atau muhrim atau wanita-wanita yang dipercaya.[13]

  1. Wanita yang tidak sedang menjalani masa iddah.

Hal ini berdasar firman Allah Swt. Berikut:

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(Q.S. Ath-Thalaq : 1)[14]

Pendapat madzhab Hanbali membolehkan wanita dalam keadaan iddah talak untuk menunaikan ibadah haji, tetapi melarang wanita dalam iddah ditinggal mati suami.[15]

E. Rukun Haji

Rukun haji adalah amalan-amalan yang wajib dikerjakan selama melaksanakan ibadah haji. Dan apabila salah satu ada yang ditinggalkan maka hajinya batal dan wajib mengulang pada kesempatan lain.21 Secara umum rukun haji ada empat, yaitu Ihram, Thawaf, Sa’i dan wuquf di Arafah.[16]

  1. Ihram

Ihram adalah niat seseorang muslim untuk mengerjakan ibadah haji atau umrah ke tanah suci Mekkah. Dimana apabila seseorang telah ihram maka perbuatan yang tadinya dibolehkan menjadi diharamkan. Dan ia telah berada di anak tangga pertama mendapatkan kedudukan sebagai tamu Allah.23

Niatnya sebagai berikut:

Artinya: ” Ya Allah, aku bermaksud untuk menunaikan ibadah haji, maka berikanlah kemudahan bagiku dan terimalah hajiku.”24

  1. Thawaf

Thawaf ialah berjalan mengelilingi Ka’bah sampai tujuh kali putaran. Hal ini berdasar firman Allah Swt berikut:

Artinya: “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).[17]

  1. Sa’i

Sa’i adalah berlarilari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah dan sebaliknya sebanyak tujuh kali. Hal ini berdasar Hadis Nabi Saw berikut:

Artinya: “Dari Aisyah binti Syaibah bahwa seorang perempuan telah menyampaikan kepadanya bahwa dia telah mendengar Nabi Saw bersabda di antara Bukit Shafa dan Marwah: telah diwajibkan atas kamu sa’i, maka hendaklah kamu kerjakan.”(HR. Ahmad)[18]

  1. Wukuf di Arafah Rasulullah Saw bersabda:

Artinya: “Ibadah haji itu dengan melaksankan wukuf di Arafah. Siapa yang

datang pada malam hari di Mudzalifah sebelum terbit fajar, ia sudah mendapatkan haji.” (HR. Ibnu Majah)[19]

F. Wajib Haji

Disamping rukun haji, ada juga serangkaian ibadah yang wajib dilaksanaka, yaitu wajib haji. yang apabila salah satu ditinggalkan maka ia wajib membayar dam(denda).[20]

Secara umum rukun haji, di antaranya ihram dari miqat, wuquf di arafah sampai terbenam matahari, mermalam (mabit) di Mudzalifah, mabit di mina dua malam setelah hari idul adha, melempar jumrah, dan thawaf wada’.29

Sementara itu empat madzhab berbeda pendapat mengenai hal ini. Ulama [21]madzhab Hanafi ada enam amalan wajib haji, yaitu:

  1. Sa’i antara bukit Shafa dan Marwah.
  2. Mabit di Mudzalifah sekalipun sejenak sebelum terbit fajar.
  3. Melontar seluruh jumrah(jumrah aqabah setelah salat subuh pada 10 zulhijjah, jumrah ula, wustha, aqabah pada setiap hari tanggal 11,12,13 zulhijjah)
  4. Mencukur atau memotong beberapa helai rambut.
  5. Menyembelih hewan setelah bercukur dan thawaf ifadah.
  6. Thawaf wada”.[22]

Kemudian madzhab Maliki menetepakan sebagai berikut:

  1. Singgah di mudzalifah dalam perjalanan ke mina.
  2. Melontar jumrah aqabah pada 10 zulhijjah sebelum mencukur rambut dan thawaf ifadah.
  3. Mabit di mina setelah thawaf ifadah(11,12,13 zulhijjah).
  4. Melontar jumrah pada hari-hari tasyri’(11,12,13 zulhijjah). Setiap jumrah ialah tujuh kerikil.
  5. Mencukur atau menggunting rambut. Bagi wanita cukup dipotong sepanjang satu ujung jari.
  6. Membayar fidyah, menyerahkan hewan kurban untuk mengganti sesuatu yang batal, dan seeokor kurban untuk haji qiran dan haji tamattu’.[23]

Selain itu, wajib haji menurut madzhab Syafi’i yaitu:

  1. Ihram dari miqat zamani[24] dan miqat makani[25].
  2. Melontar jumrah aqabah pada 10 zulhijjah, dan melontar ketiga jumrah pada hari-hari tasyri’ sejalan dengan pendapat hanbali.
  3. Mabit di mudzalifah sekalipun sejenak dengan syarat hal itu dilakukan setelah pertengahan malam setelah wuquf arafah. Tidak disyaratkan berhenti(diam), melainkan cukup sekedar lewat.
  4. Mabit di mina sampai tergelincir matahari pada 12 zulhijjah.
  5. Thawaf wada’, jika akan meninggalkan kota mekkah.
  6. Menjauhi segala yang diharamkan ketika ihram.[26]

Sedangkan menurut madzhab Hanbali, wajib haji yakni:

  1. Ihram dari miqat yang telah ditentukan syara’.
  2. Wuquf di arafah hingga matahari terbenam, jika ia melaksanakannya di siang hari.
  3. Mabit di mudzalifah pada malam nahar (10 zulhijjah).
  4. Mabit di mina pada malam-malam tasyri’.
  5. Melontar jumrah secara tertib, yaitu di awali dengan jumrah ula (dekat masjid Khaif), kemudian jumrah Wustha, dan terakhir jumrah aqabah.
  6. Mencukur atau menggunting rambut.
  7. Thawaf wada’.[27]

Dalil mabit di Mudzalifah berdasar firman Allah berikut:

Artinya: “Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada

Allah di Masy’arilharam(Mudzalifah).(Q.S. Al-Baqarah : 198)[28] Dalil melempar Jumrah berdasar sabda Nabi Saw berikut:

Artinya: “Rasulullah Saw memerintahkan kami melempar jumrah dengan batu- baut kecil pada haji wada’.(HR. Al-Thabrani)[29]

Dalil mabit di Mina berdasar firman Allah berikut:

Artinya: “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, Maka tiada dosa baginya. dan Barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), Maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.”(Q.S. Al-Baqarah : 203)[30]

Dalil mencukur dan memotong rambut berdasar firman Allah berikut:

Artinya: “Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil haram, insya Allah dalam Keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.”(Q.S. Al-Fath : 27)39

G. Perbedaan Rukun Haji dan Wajib Haji

Perbedaan ini terletak pada hukum apabila rukun atau wajib haji ditinggalkan. Yaitu jika rukun haji ditinggalkan salah satunya saja maka hajinya batal. Sedangkan untuk wajib haji jika ditinggalkan salah satunya saja maka wajib membayar dam (denda).

H. Macam-Macam Haji

Dari segi pelaksanaa ibadah haji dan umrah, dapat dikelompokkan dalam tiga macam, yaitu haji ifrad, haji tamattu’, dan haji qiran. Hal ini seperti dijelaskan dalam hadis Nabi Saw. Di bawah ini:

Artinya:”Dari Aisyah r.a. berkata: Kami berangkat menunaikan haji bersama Rasulullah Saw. Pada tahun haji wada’. Di antara kami ada yang berihram untuk umrah, ada yang berihram untuk haji dan umrah, dan ada pula yang berihram untuk haji saja. Rasulullah Saw. Sendiri berihram untuk haji. Orang yang berihram untuk umrah, bertahallul ketika berada di Baitullah. Sedangkan orang yang berihram untuk haji jika ia mengumpulkan haji dan umrah, maka ia tidak bertahallul sampai ia selesai melakukan amalan pada hari Nahar. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik)[31]

  1. Haji Ifrad

Kata ifrad berarti menyendiri. Pelaksanaan ibadah haji disebut ifrad, yaitu seseorang bermaksud menyendirikan, baik hajinya ataupun umrahnya. Artinya tidak sekaligus melaksanakan keduanya.41 Apabila ingin melaksanakan keduanya, yaitu yang pertama ibadah haji terlebih dahulu sampai selesai, baru dilanjutkan ibadah umrah, atau umrahnya dapat dilakukan lain waktu. Dalm cara ini tidak dikenakan dam (denda).[32]

  1. Haji Tamattu’

Kata tamattu’ berarti bersenang-senang atau bersantai-santai. Dalam cara yang kedua ini, yaitu ihram untuk umrah di bulan-bulan haji. Setelah umrah selesai baru melaksanakan ibadah haji.[33] Artinya datang lebih awal untuk umrah dan dilanjutkan ibadah haji. Dalam cara ini dikenakan dam (denda).44 Ini berdasar firman Allah berikut:

Artinya: “Apabila kamu telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”(Q.S. Al-Baqarah : 196)[34]

  1. Haji Qiran

Kata qiran berarti menggabungkan. Cara disini yaitu melaksanakan ibadah haji dan umrah sekaligus dalam satu niat.[35] Karena itu cara ini juga dikenakan dam (denda).47 Dalilnya seperti pada haji Tamattu’ di atas.

I. Hal-Hal yang Terlarang dalam Ihram

Orang yang berihram haram melakukan sepuluh perkara:

  1. Memakai pakaian berjahit

Jika seorang laki-laki berihram, haram baginya melakukan beberapa hal seperti mengenakan yang bisa disebut pakaian di seluruh badannya, termasuk kepalanya. Baik kain yang berjahit, seperti baju atau celana, maupun kain yang tidak berjahit, seperti sorban dan tapih. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:

Artinya:“Bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi s.a.w.: Pakaian apa yang halal dipakai oleh orang yang sedang berihram? Rasulullah s.a.w. menjawab: Kamu jangan memakai pakaian yang berupa gamis, sorban, celana, atau kopiah panjang atau memakai sepasang muzah, kecuali jika kamu tidak menemukan sepasang terompah. Jika demikian kamu boleh memakai muzah, dan muzah itu hendaknya kamu potong bagian bawah mata kaki. Dan janganlah kamu pakai pakaian yang terkena minyak Waras atau Za’faran”. 

  1. Menutup kepala bagi laki-laki dan menutup muka bagi perempuan

Adapun mengenai kepala, karena sabda Rasulullah s.a.w sehubungan adanya seseorang yang sedang berihram terjungkal dari untanya lalu mati:

Artinya:“Jangan kamu tutupi muka orang ini, karena ia akan dibangunkan besok pada hari kiamat dalam keadaan berihram dan membaca talbiyah”.  (HR Bukhari Muslim)

Tidak ada perbedaan, apakah pakaian itu terbuat dari kapas, linen atau dari kulit atau bulu. Yang jadi patokan: Orang wajib membayar fidyah (tebusan) apabila ia menutupi dengan sesuatu yang dianggap menutupi, sehingga andai kata orang itu melabur (melumuri) kepalanya dengan tanah liat sampai menebal, wajib membayar fidyah. Tidak dianggap menutupi, meletakkan tangan di kepala, atau menyunggi (menjunjung) bakul dan sebagainya di atas kepala.[36]

Jadi patokannya: Seseorang itu wajib membayar fidyah karena sesuatu yang boleh disebut menutupi kepala. Menutupi kepala seluruhnya maupun hanya sebagian. Tidak wajib membayar fidyah karena menutupi kepalanya dengan tangan orang lain menurut mazhab yang kuat.49

  1. Menyisir rambut

Menyisir rambut hukumnya makruh dalam ihram, demikian pula mengaru-garu rambut dengan kuku. Demikian dikatakan oleh Nawawi di dalam Syarah Al-Muhadzab. Jadi andai kata orang itu menyisir rambutnya lalu ada rambut yang rontok, wajib membayar fidyah. Kemudian apabila ia raguragu, apakah rontoknya karena sisiran atau rontok dengan sendirinya, menurut qaul yang rajih tidak wajib membayar fidyah, karena menurut asal, orang itu bebas dari tanggungan.[37]

  1. Mencukur rambut

Adapun menghilangkan rambut dengan jalan mencukur, maka hukumnya haram, karena firman Allah s.w.t.:

Artinya:“Dan janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu sebelum kurban sampai di tempat sembelihannya” (Q.S. Al-Baqarah: 196)[38]

Tidak dibedakan antara rambut kepala dan rambut seluruh badan. Dan tidak dibedakan pula antara mencukur, membubut (mencabut), menggunting dan membakar rambut. Demikian pula menghilangkan rambut dengan cara diberi kapur atau semisalnya. Andaikata pengarang menggunakan kata-kata izalah tentu dapat mencakup penghilangan rambut dengan jalan sebagaimana yang telah disebutkan ini.[39]

  1. Memotong kuku

Menghilangkan kuku sama dengan menghilangkan rambut. Tidak ada perbedaan antara menggunting, menggigit dengan gigi, memecah kuku dan lain sebagainya. Demikian pula tidak ada perbedaan antara sekerat kuku ataupun banyak, seperti halnya rambut.[40]

  1. Menggunakan wangi-wangian

Diantara perkara-perkara yang diharamkan sebab ihram ialah menggunakan wangi-wangian pada pakaian dan badan, karena menggunakan wangi-wangian itu menunjukkan bersenang-senang. Sedangkan orang yang haji mesinya harus kusut rambutnya dan badannnya harus penuh debu. Tidak ada perbedaan antara memakai wewangian di bagian luar badan atau di bagian dalam, seperti menghirup minyak wangi atau memasukkan minyak wangi ke lubang hidung.54

Jika menggunakan wangi-wangian hukumnya haram, maka makan yang mengandung wangi-wangian yang jelas rasanya, warnanya dan baunya hukumnya juga haram. Karena orang itu menggunakan wangi-wangian dan bersenang-senang. Jika yang jelas rasanya dan baunya juga haram. Demikian pula rasa dan warnanya, atau baunya saja.[41]

  1. Membunuh hewan buruan

Para Ulama telah sepakat mengenai haramnya membunuh hewan buruan tersebut bagi orang yang sedang berihram. Yang disebut hewan buruan ialah binatang yang berperangai liar, yang tidak dapat ditangkap kalau tidak dengan menggunakan tipu muslihat. Yang dimaksud berperangai liar, artinya bintang tersebut termasuk jenis binatang liar. Jadi tidak ada perbedaan antara yang sudah jinak dan yang belum, hewan liar dan burung, karena burung juga termasuk liar.[42]

Di samping haram membunuh, memburu hewan juga diharamkan. Mengganggu hewan buruan tanah haram dengan jalan menyakiti anggota tubuhnya atau melukainya dan lain-lain sebagainya, juga diharamkan. Haramnya memburu ini berdasarkan dalil Ijmak Ulama dan nash al-Qur’an juga telah melarang berburu hewan darat. Allah s.w.t. berfirman:

Artinya:“Dan diharamkan atasmu berburu binatang darat, selama kamu dalam ihram”.(Q.S. Al-Maidah: 96)[43]

  1. Berakad nikah

Orang yang berihram haram melakukan akad nikah, atau menikahkan orang lain, sebagai wakil atau sebagai wali, wali khusus maupun wali umum. Andai kata orang yang berihram melakukan akad nikah atau menikahkan orang lain, batal akad nikahnya, karena larangan ini boleh berarti haram dan rusak apa yang dilakukan. Batalnya nikah tersebut sudah menjadi ijmak Ulama.58

  1. Jimak

Sebagaimana haramnya melakukan akad nikah, juga haram menjimak. Yakni memasukkan ujung (hasyafah) kemaluan (laki-laki) ke dalam farji (wanita). Baik farji muka maupun farji belakang (dubur), baik yang dimasuki itu orang laki-laki maupun wanita, anak Adam maupun binatang  Karena firman Allah s.w.t.:[44]

Artinyua:“Maka tidak boleh menjimak, tidak boleh berbuat fasiq (maksiat) dan tidak boleh berbantah-bantahan”. (Q.S. Al-Baqarah: 197)[45]

  1. Bersentuhan dengan wanita dengan syahwat

Di samping haram menjimak, juga haram bersentuhan dengan wanita pada anggota tubuh selain farji dengan syahwat, demikian pula hukumnya haram mengeluarkan mani dengan tangan. Sebab apabila segala sesuatu yang merangsang jimak hukumnya haram, seperti memakai wangi-wangian dan akad nikah, maka sudah tentu menjadikan perkara-perkara ini haramnya adalah lebih utama. Dan perkara-perkara ini juga diharamkan bagi orang yang i’tikaf. Oleh karena itu bagi orang yang berihram haji tentulah lebih kuat pengharamannya.61

J. Perbedaan Haji dengan Umrah

Haji dan umrah adalah ibadah yang menurut kaca mata orang awam Indonesia sama “pergi ke Mekkah”. Namun, sejatinya memiliki perbedaan yang sangat penting. Ibadah haji yang sering disebut dengan haji besar, hanya sah bila dilaksanakan pada musim haji yaitu bulan haji. Sedangkan umrah, kapanpun seseorang ingin pergi beribadah umrah maka itu bisa dan sah dilaksanakan. Artinya, ibadah umrah dapat ditunaikan setiap waktu.

Dalam prakteknya juga terdapat perbedaan, orang yang menjalankan ururtanurutan ibadah haji berarti ia sudah melakukan praktek umrah. Karena umrah hanya terdiri dari niat, thawaf dan sa’i, serta tahallul. Sedangkan haji, meliputi semua tata cara umrah ditambah dengan wukuf di ‘Arafah, bermalam di Muzdalifah dan di Mina, serta melempar jumrah.

K. Hukum Dan Dasar Hukum Umrah

Umrah berasal dari bahasa Arab yaitu I’tamara berarti berkunjung atau ziarah.

Kata ini juga berarti meramaikan tanah suci Mekah yang di situ terletak Masjidil Haram dan di dalamnya terdapat Ka’bah. Namun demikian, umrah dalam konteks ibadah tidak sekedar berarti meramaikan, melainkan lebih dari itu, yaitu orang

yang melaksanakannya dituntut agar dapat mengambil manfaat dari umrahnya, karena sebagaimana haji, aktivitas umrah merupakan refleksi dari pengalaman hamba-hamba Allah, yaitu Ibrahim As dan putranya Ismail As.[46]

Dalam fikih disebutkan bahwa setiap umat Islam itu wajib melakukan ‘umrah satu kali seumur hidup. Demikian juga haji, tetapi sebetulnya kalau orang sudah berhaji maka dengan sendirinya orang itu sudah ber-‘umrah. Sebab ‘umrah itu menjadi bagian dari haji. Sebaliknya, kalau orang hanya melakukan ‘umrah maka belum bisa orang itu disebut berhaji. Sebab, ‘umrah itu hanya dibatasi pada tempat suci yang paling utama saja, yaitu sekitar Ka’bah dan Shafa’-Marwah-Arafah, Mina, Muzdalifah, dan sebagainya.[47]

Para pengikut mazhab Syafi’I dan Hanbali berpandangan bahwa ‘umrah hukumnya fardhu ain (wajib bagi setiap individu) yang mampu, sebagaimana halnya ibadah haji. Kedua ibadah ini, sama-sama diperintahkan Allah untuk dikerjakan dan disempurnakan sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya:

Artinya:“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah”. (Q.S. Al- Baqarah: 196)64

Kewajiban umrah ini dipertegas lagi dalam hadis Nabi s.a.w yang artinya: “Dari Aisyah berkata: Wahai Rasulullah adakah kewajiban berjihad bagi kaum wanita? Rasulullah menjawab: Ya, bagi mereka ada kewajiban berjihad tanpa pertempuran, yaitu haji dan umrah”. (H.R. Ahmad dan Ibn Majah)

L. Rukun Umrah

  1. Miqat
  2. Thawaf
  3. Sa’i
  4. Tahallul
  5. Tertib

M. Wajib Umrah

  1. Ihram dari miqat
  2. Mencukur atau memendekkan rambut.65

[1] Achmad Sya’bi, Kamus An-Nur Bahasa Arab-Indonesia-Arab, Surabaya: Halim Jaya, h. 38. 4Said Agil, Fikih Haji, h. 1.

[2] Ibid.

[3] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5, terj. Mahyuddin Syaf, Bandung: Alma’arif, cet. XIV, 1978, h. 31.

[4] Alquran Digital.

[5] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Jakarta: Prenada Media, 2003, h. 60.  9Alquran Digital.

[6] Said Agil, Fikih Haji, h. 21.

[7] Ibid., h. 22.

[8] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 43.

[9] Alquran Digital.

[10] Said Agil, Fikih Haji, h. 24. 15Ibid.

[11] Ibid.

[12] Ibid., h. 25.

[13] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 52.

[14] Alquran Digital.

[15] Said Agil, Fikih Haji, h. 26. 21Ibid., h. 30.

[16] Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Fikih Ibadah Fatwa Ibadah Fadhilatus Syaikh Muhammad Bin Salih Al-Utsmani, terj. Taufik Aulia Rahman, Surakarta: Media Zikir, 2010, h.467. 23Said Agil, Fikih Haji, h. 61. 24Ibid.

[17] Alquran Digital.

[18] Said Agil, Fikih Haji, h. 109.

[19] Ibid., h. 119.

[20] Said Agil, Fikih Haji, h. 32.

[21] Adbullah, Fikih Ibadah, h. 469.

[22] Said Agil,Fikih Haji,h. 32.

[23] Said Agil,Fikih Haji,h. 33-34.

[24] Miqat zamani adalah waktu mulai ihram, yaitu bulan syawal, zulqaedah, dan sembilan hari pertama bulan zulhijjah.

[25] Miqat makani adalah tempat memulai ihram.

[26] Said agil, Fikih Haji, h. 34-35.

[27] Ibid.

[28] Alquran Digital.

[29] Said Agil, Fikih Haji, h. 137.

[30] Alquran digital. 39Alquran digital.

[31] Said Agil, Fikih Haji, h. 43-44. 41Ibid., h. 44.

[32] Zakiah Darajat, Haji ibadah yang unik, , jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Ruhama, 1992, h. 85.

[33] Said Agil, Fikih Haji,  h. 49. 44Zakiah, Haji, h. 85.

[34] Alquran digital.

[35] Said Agil, Fikih Haji,  h. 53. 47Zakiah, Haji, h. 85.

[36] Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husni, Kifayatul Akhyar (kelengkapan Orang Saleh), Surabaya: CV Bina Iman, cet. II, 1995, h. 510.  49Ibid.

[37] Ibid., h. 512.

[38] Alquran digital.

[39] Ibid.

[40] Ibid., h. 513.  54Ibid.

[41] Ibid., h. 514.

[42] Ibid.

[43] Alquran digital. 58Ibid., 516.

[44] Ibid.

[45] Alquran digital. 61Ibid.

[46] Prof. Dr. Said Agil Husin Al Munawwar, M.A., Drs. H. Abdul Halim, M.A., Fikih Haji, Jakarta: Ciputat Press, 2003, h. 277.

[47] Dr. Nurcholis Madjid, Perjalanan Religius ‘Umrah dan Haji, Jakarta: Paramadina, 1997, h. 4.  64Alquran digital.

Baca Juga: