Menu Tutup

Fikih Nahdlatul Ulama

Upaya ini sebenarnya telah dilakukan oleh para pembaharu di dalam NU sendiri. Yang paling fenomenal adalah keputusan Munas NU di Lampung pada 1992 yang menegaskan keabsahan bermadzhab secara manhajy (metodologis). Keputusan ini bisa dianggap sebagai terobosan yang sangat berani karena memberikan peluang untuk tidak terikat, bermadzhab atau taqlid kepada putusan-putusan hukum hasil istimbath para Imam Madzhab. Para ulama NU hanya dituntut untuk tetap mempergunakan teori

dan metodologi yang dikembangkan para imam tersebut.  Bermadzhab secara manhajy merupakan jalan moderat bagi upaya mengakomodir berbagai perubahan di tengah masyarakat yang terjadi terusmenerus. Ketika kondisi masyarakat sebagai obyek hukum mengalami perubahan maka fiqih juga dituntut melakukan perubahan agar ia tidak gagap memberikan jawaban-jawaban dari persoalan yang bermunculan akibat arus perubahan. Di sisi lain, dengan tetap mempertahankan metodologi para ulama terdahulu para mujtahid sekarang tidak mengalami keterputusan dengan khazanah intelektual masa lalu dan tidak perlu membuang tenaga untuk menyusun metodologi baru dari nol. Sebab, ternyata metodologi yang dibangun pada abad pertengahan tersebut dipandang masih mampu untuk menyediakan piranti inovasi dan pembaruan.

Periode Ketiga, yakni periode tashih wa taqnin (perbaikan dan legislasi). Periode ini dimulai dengan proses pembersihan terhadap paham yang ekstrim, baik kanan maupun kiri yang menyusup ke tubuh organisasi NU dengan cara peneguhan Keputusan Munas Lampung 1992 tentang metode istimbath hukum dilingkungan NU dan ditolaknya konsep hermeneutika sebagai metode ta‟wil dilingkungan NU pada Muktamar NU ke-31 di Asrama Haji Donuhudan Jawa Tengah tahun 2004. Pada Muktamar itu juga dimulai pembahasan tentang kebijakan pemerintah dan undang-undang yang dibahas dalam komisi masail diniyyah qonuniyyah (masalah keagama perundang-undangan) tersendiri.

Forum Bahtsul Masail tingkat Nasional sendiri sudah diadakan 42 kali, yang dimulai dari tahun 1926 sampai 2007. Namun karena ada beberapa Muktamar yang dokumennya tidak/belum ditemukan, yaitu Muktamar XVII, XVIII, XIX, XXI, XXII dan XXIV, maka berdasarkan dokumen yang dapat dihimpun, hanya ditemukan 36 kali bahtsul masail yang menghasilkan 536 keputusan. HM. Cholil Nafis mengklasifikasikan keputusan Lajnah Bahtsul Masail dalam dua kelompok.

Pertama adalah keputusan non-fiqih, yaitu keputusan yang tidak berkaitan dengan masalah hukum praktis. Kedua adalah keputusan hukum fiqh, yakni yang berkaitan dengan hukum-hukum praktis (‟amaliy). Tetapi pada tahun 2000-an kebelakang keputusankeputusan bahtsul masa‘il diklasifikasi menjadi tiga tema besar. Pertama, waqi‟iyah, yaitu membahas tentang masalah-masalah keagamaan yang berkaitan dengan halal dan haramnya suatu masalah. Kedua, maudlu‟iyah, yang membahas masalahmasalah aktual tematik yang perlu disikapi oleh warga nahdhiyin. Ketiga, qanuniyah, yaitu membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan respons NU terhadap kebijakan publik, undang-undang dan khususnya Rencangan Undang-Undang.