Menu Tutup

Filsafat Jiwa (Al-Nafs) al-Kindi

Didalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah bukan urusan manusia. Oleh karena itu kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan oleh filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.

Jiwa atau roh adalah salah satu pokok pembahasan al-Kindi, bahkan al-Kindi adalah filsuf Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci.  Al-Kindi berpendapat bahwa roh mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dengan tubuh dan tidak tergantung satu sama lainnya. Jiwa bersifat rohani dan Ilahy. Sementara itu jisim mempunyai hawa nafsu dan marah. Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith ( tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi (jauhar)-nya berasal sari sustansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.

Argument tentang beda jiwa dengan badan, menurut al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong menusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa yang menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.

Dalam hal ini pendapat al-Kindi lebih dekat dengan pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accident, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa, namun ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea.

Al-Kindi membagi jiwa atau roh ke dalam tiga daya, yaitu daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwaniyah) yang terdapat di perut, daya pemarah (al-quwwah al-gadabiyah) yang terdapat di dada, dan daya berfikir (al-quwwah al-natiqah) yang berpusat di kepala. Daya yang terpenting adalah daya berfikir, karena daya itulah yang mengangkat eksistensi manusia kederajat yang lebih tinggi.

Al-Kindi membandingkan daya bernafsu pada manusia dengan babi, daya marah dengan anjing, dan daya pikir dengan malaikat. Jadi, orang yang dikuasai oleh daya bernafsu, tujuan hidupnya seperti yang dimiliki oleh babi, siapa yang dikuasai oleh nafsu marah, ia bersifat seperti anjing, dan siapa yang dikuasai oleh daya pikir, ia akan mengetahui hakikat-hakikat dan menjadi manusia utama yang hampir menyerupai sifat Allah, seperti bijaksana, adil, pemurah, baik, mengutamakan kebenaran dan keindahan.

Selanjutnya Al-Kindi membagi akal pada empat macam; satu berada di luar jiwa manusia dan yang tiga lagi berada di dalamnya.

  1. Akal yang selamanya dalam aktualitas (al-‘aql al-lazi bi al-fi’il Abadan). Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas.
  2. Akal bersifat potensial (al-aql bi al-quwwah), yakni akal murni yang ada dalam dalam diri manusia yang masih berupa potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.
  3. Akal yang bersifat perolehan (acquired intellect). Ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya.
  4. Akal yang berada dalam keadaan actual nyata, ketika ia nyata, maka ia disebut akal “yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses penulisan kalau seseorang sunguh-sungguh melakukan penulisan.

Menurut al-Kindi, tidak semua roh yang lanjut pergi ke alam kebenaran, hanya roh yang telah suci saja yang bisa mencapainya. Al-Kindi tanpaknya tidak percaya dengan kekekalan hukuman terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke alam akal yang berada di lingkungan cahaya Tuhan. Roh yang telah memasuk wilayah tersebut telah dapat melihat Tuhan.

Karena itu senantiasa roh mendambakan penyatuan kembali dengan sumbernya. Roh yang bersihlah dapat menyatu dengan sumbernya. Menurutnya roh yang kotor harus dibersihkan dulu ke bulan, kemudian lanjut ke Mercurius dan seterusnya hingga sampai ke alam akal yang berada dilingkuangan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.

Referensi:

Musthofa, Ahmad. 1997. Filsafat Islam. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA.
Aceh, Aboebakar, sejarah Filsafat Islam, Solo: Ramadhani, 1968.
Drajat, Amroeni, Filsafat Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
Hakim, Atang Abdul dan Saebani, Beni Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008

Baca Juga: