Menu Tutup

Fiqih I’tikaf Lengkap dengan Dalil dan Penjelasannya

Melaksanakan ibadah i’tikaf adalah salah satu ibadah yang amat dianjurkan untuk dikerjakan, terlebih di bulan Ramadhan. Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – terbiasa menjalankannya, khususnya di 10 hari terakhir Ramadhan.

Namun bukan berarti i’tikaf hanya dikerjakan pada bulan Ramadhan saja. Di luar bulan Ramadhan pun, i’tikaf tetap disyariatkan untuk dikerjakan.

Pengertian I’tikaf

Secara bahasa, i’tikaf (الاعتكاف) berasal dari bahasa arab ‘akafa (عكف), yang bermakna al-habsu (الحبس) atau memenjarakan. Allah – ta’ala – menggunakan istilah ‘akafa dalam bentuk ma’kufa (معكوفا) dalam salah satu ayat al-Quran dengan makna menghalangi.

Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidilharam dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan) nya. (QS. Al-Fath : 25)

Sedangkan dalam ilmu fiqih, definisi i’tikaf adalah

Berdiam di dalam masjid dengan tata cara tertentu dan disertai niat. (Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni syarah Mukhtashar al-Khiraqi, (Kairo: t.pn, 1968/1388), hlm. 2/183.)

Pada hakikatnya ritual i’tikaf tidak lain adalah shalat di dalam masjid, baik shalat secara hakiki maupun secara hukum.

Yang dimaksud shalat secara hakiki adalah shalat fardhu lima waktu dan juga shalat-shalat sunnah lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan shalat secara hukum adalah menunggu datangnya waktu shalat di dalam masjid. Sebagaimana sabda Nabi – shallallaahu ‘alaihi wa sallam -.

Dari Abu Hurairah: Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: Dan jika seorang hamba shalat (di masjid), malaikat akan senantiasa mendoakannya selama ia berada di dalam masjid, ”Allahumma sholli ’alihi, Allahuma irhamhu,” dan dia masih terhitung shalat (pahalanya sama seperti shalat), selama menunggu waktu shalat lainnya.(HR. Bukhari)

I’tikaf adalah ibadah penyerahan diri kepada Allah – ta’ala -, dengan cara memenjarakan diri di dalam masjid, dan menyibukkan diri dengan berbagai bentuk ibadah yang layak dilakukan di dalamnya. Di mana ia memiliki misi, untuk berupaya menyamakan dirinya layaknya malaikat yang tidak bermaksiat kepada Allah, mengerjakan semua perintah Allah, bertasbih siang malam tanpa henti.

Para ulama sepakat bahwa praktek i’tikaf disyariatkan di dalam Islam. Sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan Sunnah.

Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud”.(QS. Al-Baqarah: 125)

“… janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid.” (QS. Al-Baqarah : 187)

Sedangkan dari hadits nabawi, ada banyak sekali keterangan bahwa Nabi – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – melakukan i’tikaf, khususnya di bulan Ramadhan. Bahkan beliau menganjurkan para shahabat untuk ikut beri’tikaf bersama beliau di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Dari Abu Sa’id al-Khudri: Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Siapa yang ingin beri’tikaf denganku, maka lakukanlah pada sepuluh terakhir.” (HR. Bukhari)

Berdasarkan dalil-dalil di atas, para ulama sepakat bahwa hukum asal dari i’trikaf adalah sunnah. Bahkan menurut Mazhab Hanafi, hukum beritikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, bagi penduduk satu kawasan, secara kolektif adalah sunnah kifayah. Dalam arti, jika di suatu kawasan sudah ada sejumlah orang yang melakukan i’tikaf, maka yang tidak beri’tikaf ikut mendapatkan pahalanya.

Namun hukum beri’tikaf dapat berubah menjadi wajib, apabila seseorang bernadzar untuk melakukannya, sebagai bentuk permohonan atas suatu permintaan kepada Allah – ta’ala -.

Dari Aisyah ra: Nabi – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah, maka taatilah Dia. Dan siapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya, maka jangan lakukan.” (HR. Bukhari)

Dari Umar bin Khatthab ra, ia berkata: “Ya Rasulallah, Aku pernah bernadzar pada masa jahiliyyah, untuk melakukan i’tikaf satu malam di masjid al-Haram.” Nabi – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – menjawab: “Tunaikan nadzarmu, dan beri’tikaflah semalam.” (HR. Bukhari)

Rukun I’tikaf dan Syarat-syaratnya

Pada umumnya para ulama menyepakati bahwa dalam ibadah i’tikaf, ada empat rukun yang harus dipenuhi, yaitu: (1) Orang yang beri’tikaf (mu’takif), (2) Niat beri’tikaf, (3) Tempat i’tikaf (mu’takaf fihi), dan (4) Menetap di tempat i’tikaf.

Namun Mazhab Maliki menambahkan satu rukun lagi, yaitu puasa. Maksudnya, yang namanya beri’tikaf itu harus dengan cara berpuasa juga.

Orang Yang Beri’tikaf (al-Mu’takif)

Rukun yang pertama dalam ibadah i’tikaf adalah orang yang beri’tikaf atau disebut dengan mu’takif (معتكف). Di mana, para ulama menetapkan bahwa syarat dari sahnya seseorang sebagai mu’takif adalah: (1) muslim, (2) akil, (3) mumayyiz, dan (4) suci dari hadats besar.

Adapun dasar atas larangan orang yang berjanabah atau berhadats melakukan i’tikaf di dalam masjid adalah firman Allah – ta’ala –

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub terkecuali sekedar berlalu saja hingga kamu mandi. (QS. An-Nisa’: 43)

Secara harfiyah, sebenarnya larangan dalam ayat ini adalah larangan untuk mendekati shalat. Namun ketika dalam ayat ini Allah – ta’ala – membuat pengecualian, yaitu hanya sekedar lewat, maka yang terbersit dari larangan ini adalah larangan untuk masuk ke dalam masjid.

Sehingga pengertian ayat ini bahwa seorang yang dalam keadaan janabah dilarang memasuki masjid, kecuali bila sekedar melintas saja.

Dari Aisyah – radhiayallahu ‘anha -: Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Tidak aku halalkan masjid bagi orang yang haid dan junub.” (HR. Abu Daud)

Niat Beri’tikaf

Para ulama umumnya sepakat bahwa niat adalah amalan yang harus dilakukan saat beri’tikaf. Meskipun secara status, para ulama berbeda pendapat. Menurut mayoritas ulama (Maliki, Syafi’i, Hanbali) niat adalah bagian dari rukun i’tikaf. Sedangkan Mazhab Hanafi menempatkan niat sebagai syarat i’tikaf.

Fungsi dari niat ketika beri’tikaf ini antara lain untuk menegaskan perbedaan antara ibadah dan selain ibadah saat seseorang berdiam diri di masjid. Sebab, bisa saja orang yang berdiam diri di masjid, namun bukan dalam ibadah. Seperti sekedar duduk ngobrol dengan rekannya. Meski keduanya sama-sama duduk untuk mengobrol. Yang satu mendapat pahala i’tikaf, yang satunya tidak mendapat pahala i’tikaf.

Fungsi lain dari niat ketika beri’tikaf juga menegaskan hukum i’tikaf itu sendiri, apakah termasuk i’tikaf yang wajib seperti karena sebelumnya sempat bernadzar, ataukah i’tikaf yang hukumnya sunnah.

Tempat i’tikaf (Mu’takaf Fihi)

Para ulama sepakat bahwa tempat untuk beri’tikaf, atau al-mu’takaf fihi, adalah masjid. Dan bangunan selain masjid, tidak sah untuk dilakukan i’tikaf. Dasarnya adalah firman Allah – ta’ala -:

“ … Dan janganlah kamu melakukan persetubuhan ketika kamu beri’tikaf di masjid … ” (QS. Al-Baqarah: 187)

Dan juga tidak ditemukan riwayat bahwa Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – melakukan i’tikaf di selain masjid.

Para ulama juga sepakat bahwa beri’tikaf di tiga masjid, yaitu Masjid al-Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid al-Aqsha di al-Quds Palestina, lebih utama dan lebih besar pahalanya, bila dibandingkan dengan pahala beri’tikaf di masjid yang lain.

Demikian juga para ulama sepakat bahwa masjid jami’ yang ada shalat jamaahnya adalah masjid yang sah digunakan untuk beri’tikaf.

Sedangkan masjid yang lebih rendah dari itu, misalnya tidak setiap waktu digunakan untuk shalat berjamaah, maka para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan beri’tikaf di dalamnya.

Mazhab Pertama: Terbatas Masjid Jami’

Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali menegaskan bahwa hanya masjid jami’ saja yang boleh digunakan untuk beri’tikaf.

Namun Abu Yusuf dan Muhammad dari kalnagan al-Hanafiyyah, membolehkan beri’tikaf meski di masjid yang tidak digunakan atau jarang-jarang digunakan shalat berjamaah. Menurut Abu Yusuf, bila i’tikaf yang wajib, harus di masjid yang ada shalat jamaahnya. Sedangkan bila i’tikaf sunnah, boleh di masjid yang tidak seperti itu.

Namun pengertian masjid yang ada shalat jamaahnya, agak berbeda konsepnya, antara Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali. Menurut Mazhab Hanafi, setidaknya masjid itu ada imam rawatib dan makmumnya, meskipun tidak selalu dalam tiap waktu shalat selalu terlaksana shalat jamaah.

Sedangkan menurut Mazhab Hanbali, setidaknya ketika sedang digunakan beri’tikaf, masjid itu digunakan untuk shalat berjamaah.

Mazhab Kedua: Bangunan Berstatus Masjid.

Adapun Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i, keduanya tidak mensyaratkan apakah masjid itu ada jamaah shalat lima waktu atau tidak. Bagi mereka, yang penting ketika bangunan itu berstatus sebagai masjid, maka boleh digunakan untuk beri’tikaf. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, (t.t: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 6/486.)

Di samping itu, para ulama juga sepakat bahwa wanita dibolehkan untuk beri’tikaf di dalam masjid. Namun dengan syarat keberadaan wanita di masjid tidak menimbulkan fitnah.

Namun para ulama berbeda pendapat apakah sah i’tikaf seorang wanita, jika dilakukan di musholla atau masjid rumahnya, yang biasa disebut zawiyyah atau masjid al-bait?. Yaitu tempat yang dikhususkan di salah satu area di rumahnya, seperti kamar atau ruangan tertentu untuk difungsikan sebagai tempat shalat.

Mazhab Pertama: Boleh.

Mazhab Hanafi dan qowl qodim dari mazhab Syafi’i, berpendapat bahwa dibolehkan para wanita untuk beri’tikaf di masjid rumahnya. Bahkan i’tikaf di tempat tersebut lebih utama dari pada di masjid jami’.

Imam az-Zaila’i al-Hanafi (w. 743 H) berkata dalam kitabnya, Tabyin al-Haqa’iq: (Utsman bin Ali Fakhruddin az-Zaila’i, Tabyin al-Haqaiq Syarah Kanzu ad-Daqaiq, (Kairo: al-Mathba’ah al-Kubra al-Amiriyah, 1313), cet. 1, hlm. 1/350.)

Dan wanita menjalankan i’tikaf di masjid rumahnya, karena masjid rumahnya itu adalah tempat baginya untuk shalat. Maka tempat itu juga untuk beri’tikaf. Bila seorang wanita melakukannya di masjid hukumnya boleh, namun lebih afdhal di masjid rumahnya.

Mazhab Kedua: Tidak Sah.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak sah seseorang beri’tikaf di rumahnya secara mutlak. Apakah bagi wanita, terlebih bagi laki-laki. Sebab menurut mereka, masjid rumah bukanlah masjid yang dimaksud di dalam al-Qur’an sebagai tempat i’tikaf. Sebagaimana istri-istri Nabi – shallallaahu ‘alaihi wa sallam -, juga tidak pernah beri’tikaf kecuali di masjid jami’.

Imam al-Khatib asy-Syarbini asy-Syafi’i (w. 977 H) berkata dalam kitabnya, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzhi al-Minhaj li an-Nawawi:

Dalam mazhab jadid bahwa tidak sah wanita beri’tikaf di masjid rumahnya, yaitu tempat tersendiri yang dikhususkan untuk shalat. Alasannya karena hakikatnya tempat itu bukan masjid, karena boleh diubah-ubah dan orang yang berjanabah boleh berdiam di dalamnya. Selain itu karena para istri Nabi – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – beri’tikaf di masjid. Seandainya cukup i’tikaf di masjid rumahnya, pastilah mereka melakukannya. (Muhammad bin Ahmad al-Khatib asy-Syirbini asy-Syafi’i, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzhi al-Minhaj li an-Nawawi, (t.t: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994 / 1415), cet. 1, hlm. 2/190.)

Dalam pandangan mazhab qadim sah hukumnya bagi wanita untuk i’tikaf di masjid rumahnya, karena tempat itu adalah tempat bagi wanita untuk melakukan shalat. Sedangkan masjid adalah tempat untuk laki-laki.

Adapun menurut pendapat yang menilai sah ’tikafnya di masjid rumah, maka lebih utama baginya untuk beri’tikaf di masjid jami’, dalam rangka keluar dari perbedaan.

Menetap di Dalam Masjid

Seluruh ulama sepakat bahwa berada atau menetap di dalam masjid, (al-lubsu fil masjid) merupakan rukun i’tikaf.

Namun yang menjadi titik perbedaan pendapat adalah masalah durasi minimal, sehingga keberadaan di masjid itu sah berstatus i’tikaf.

Mazhab Pertama: Sesaat Saja Sudah Sah.

Mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’i, Hanbali) menegaskan bahwa durasi minimal untuk beri’tikaf adalah sa’ah (ساعة), baik di siang hari atau malam hari.

Pengertian istilah sa’ah di dalam bahasa Arab modern bermakna satu jam atau 60 menit. Namun berbeda dengan istilah yang digunakan para ulama di masa lalu, yang pengertiannya adalah sesaat, sejenak atau sebentar.

Mazhab Kedua: Sehari Semalam Tanpa Putus.

Para ulama dari Mazhab Maliki agak sedikit berselisih tentang durasi minimal i’tikaf. Sebagian dari mereka menetapkan bahwa durasi minimal adalah sehari semalam tanpa putus. Dan rangkaiannya dimulai dari sejak masuk waktu malam, yaitu terbenamnya matahari, terus melalui malam, lalu terbit matahari, pagi, siang, lalu sore dan berakhir i’tikaf itu ketika matahari kembali terbenam di ufuk Barat.

Dan sebagian lagi mengatakan bahwa durasi minimal untuk beri’tikaf adalah sehari tanpa malamnya. Jadi sehari itu dimulai dari masuknya waktu shubuh, melewati pagi, siang, sore, lalu berakhir dengan masuknya waktu Marghrib kala matahari terbenam.

Yang Membatalkan I’tikaf

Di antara hal-hal yang dapat membatalkan i’tikaf antara lain:

Jima’

Para ulama sepakat bahwa melakukan jima’ dapat membatalkan i’tikaf. Dasarnya adalah firman Allah – ta’ala -:

“… Dan janganlah kamu melakukan persetubuhan ketika kamu beri’tikaf di masjid …”. (QS. Al-Baqarah : 187)

Mungkin sulit dibayangkan ada orang melakukan jima’ di dalam masjid, apalagi sedang dalam keadaan beri’tikaf. Bukankah masjid itu tempat umum dan biasanya banyak orang, lalu bagaimana caranya berjima’ di tempat umum yang banyak orang?

Namun lain halnya jika jima’ dilakukan di rumah. Dimana, bisa saja seorang yang masih berstatus melakukan i’tikaf berada di rumahnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan yang dibolehkan jika keluar dari masjid seperti hendak mengambil makanan. Namun, jika saat berada di rumah, lantas ia melakukan jima’ dengan istrinya, saat itulah, i’tikafnya otomatis telah batal. (Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, (Kairo: Dar al-Hadits, t.th), cet. 1, hlm. 39.)

Keluar Dari Masjid

Yang dimaksud dengan keluar dari masjid adalah apabila seseorang keluar dengan seluruh tubuhnya dari masjid. Sedangkan bila hanya sebagian tubuhnya yang keluar dan sebagian lainnya masih tetap berada di dalam masjid, hal itu belum dianggap membatalkan i’tikaf. Sebab kejadian itu dilakukan oleh Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut :

Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – menjulurkan kepalanya kepadaku, padahal aku berada di dalam kamarku. Maka aku menyisirkan rambut kepalanya sedangkan aku sedang haidh. (HR. Muslim)

Para ulama sepakat bahwa di antara hal-hal yang membatalkan i’tikaf adalah ketika seseorang keluar dari masjid, tanpa adanya kebutuhan yang dibolehkan oleh syariat. Namun mereka berbeda pendapat ketika menetapkan jenis kebutuhan apa saja yang dianggap dibolehkan dan tidak membatalkan i’tikaf seperti: Buang Air dan Mandi Wajib, Makan dan Minum, dan Menjenguk Orang Sakit dan Shalat Jenazah.

Murtad

Orang yang sedang beri’tikaf lalu tiba-tiba dia murtad atau keluar dari agama Islam, maka i’tikafnya otomatis batal dengan sendirinya. Sebab keislaman seseorang menjadi salah satu syarat sah i’tikaf. Dasarnya adalah fiman Allah – ta’ala -:

“Bila kamu menyekutukan Allah (murtad), maka Allah akan menghapus amal-amalmu dan kamu pasti jadi orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Mabuk

Jumhur ulama (Maliki, Syafi’i, Hanbali) sepakat apabila seorang yang sedang beri’tikaf mengalami mabuk, maka i’tikafnya batal.

Sedangkan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang mabuk saat beri’tikaf tidaklah batal, jika kejadiannya di malam hari. Sedangkan jika kejadiannya di siang hari, mabuk itu membatalkan puasa. Dan dengan batalnya puasa, maka i’tikafnya juga ikut batal juga.

Haid dan Nifas

Jika seorang wanita menjalani i’tikaf, lalu tiba-tiba keluar darah haid, maka otomatis batal i’tikafnya.

Demikian pula wanita yang baru melahirkan dan merasa sudah selesai nifasnya, kalau ketika dia beri’tikaf lalu tiba-tiba darah nifasnya keluar lagi, dan memang masih dimungkinkan karena masih dalam rentang waktu kurang dari 60 hari, maka dia harus meninggalkan masjid.

Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

Berikut ini adalah hal-hal yang umumnya oleh para ulama dianggap perbuatan yang boleh dilakukan, meski sedang dalam keadaan beri’tikaf, antara lain :

Makan Minum

Makan dan minum secara umum dibolehkan oleh para ulama untuk dilakukan di dalam masjid. Maka seorang yang sedang beri’tikaf tentu dibolehkan juga untuk mengisi perutnya dengan makan dan minum.

Bahkan al-Malikiyah memakruhkan orang untuk beri’tikaf di masjid, bila dia belum memiliki orang atau pembantu yang akan mengantarkan makanan dan minuman kepadanya di dalam masjid. Sebab tanpa adanya orang yang mengantar makanan dan minuman, maka berarti dia harus keluar dari masjid untuk mencari makan. Dan hal itu mengurangi nilai i’tikaf.

Tentang hukum kebolehan makan dan minum di masjid, para ulama sedikit berbeda pandangan. Mereka menetapkan keadaan-keadaan maupun rincian syarat yang berbeda-beda pula.

Namun inti hukum makan dan minum di dalam masjid sangat terkait dengan masalah kebersihan. Bagaimana mereka menilai kebersihan atas masjid dan dampaknya akibat orang memakan makanan di masjid, itulah yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat.

Mazhab Hanafi memakruhkan makan dan minum di masjid. Namun tidak makruh bila dilakukan oleh musafir yang tidak punya rumah dan orang-orang yang sedang i’tikaf di masjid. Sebab Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – makan dan minum bahkan tidur ketika beri’tikaf di masjid.

Mazhab Maliki membolehkan makan dan minum di masjid selama yang dimakan itu bukan makanan yang sekiranya bisa mengotori masjid. Contohnya, kurma boleh dimakan tetapi semangka tidak boleh, karena beresiko mengotori masjid.

Namun khusus untuk musafir yang tidak memiliki tempat tinggal dan orang yang beri’tikaf, larangan itu tidak berlaku.

Mazhab Syafi’i membolehkan makan roti, semangka dan buah-buahan lainnya di dalam masjid. Dasarnya adalah hadits berikut ini:

Dari Abdillah bin al-Harits bin Jaz’i az-Zubaidi ra, ia berkata: “Dahulu di masa Nabi ﷺ, kami makan roti dan daging di dalam masjid.” (HR. Ibnu Majah).

Namun dalam Mazhab ini disebutkan, hendaknya diberi alas sebelum memakan sesuatu di dalam masjid.

Tetapi kalau yang dimakan itu termasuk jenis makanan yang beraroma kurang sedap, Mazhab Syafi’i memakruhkannya bila dimakan di dalam masjid, seperti bawang dan sejenisnya. Dasarnya adalah hadits shahih berikut ini.

Dari Jabir bin Abdillah ra: Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Siapa yang makan bawang harus menjauhi kami atau menjauhi masjid kami. Dan hendaklah dia duduk di rumahnya.” (HR. Bukhari Muslim)

Mazhab Hanbali sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Muflih, Ibnu Tamim dan Ibnu Hamdan, mereka memakruhkan memakan makanan di dalam masjid.

Sedangkan Ibnu Qudamah al-Hanbali berpendapat bagi orang yang beri’tikaf, tidak mengapa bila harus menyantap makanan di dalam masjid, asalkan sebelumnya diberi alas agar tidak mengotori masjid.

Tidur

Masjid juga dibolehkan untuk digunakan untuk tidur. Sehingga seorang yang sedang beri’tikaf di masjid, tentu saja diperbolehkan untuk tidur beristirahat. Tidur tidak membatalkan i’tikaf, sebagaimana tidur juga tidak membatalkan puasa.

Tentang hukum asal tidur di dalam masjid, memang para ulama berbeda pendapat. Namun umumnya mereka membolehkan musafir dan mu’takif untuk tidur dan beristirahat di dalam masjid.

Mazhab Hanafi memakruhkan tidur di dalam masjid, namun bagi musafir yang tidak memiliki tempat singgah, tidak dimakruhkan untuk tidur dan beristirahat di dalam masjid. Demikian juga bagi mereka yang beri’tikaf. Karena dalam i’tikafnya, Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – pun tidur di dalam masjid. Dan selama i’tikaf tidak perlu keluar dari masjid untuk urusan tidur.

Mazhab Maliki membolehkan bagi mereka yang tidak memiliki rumah atau musafir untuk tidur di masjid, baik tidur di siang hari atau pun di malam hari.

Bahkan bagi mereka yang sedang beri’tikaf, Mazhab ini mewajibkan para mu’takifin tidur di dalam masjid. Dimana jika orang yang beri’tikaf tidak sampai tidur di dalam masjid, maka i’’tikafnya dianggap tidak sah.

Mazhab Syafi’i tidak mengharamkan tidur di dalam masjid. Dasarnya karena para shahabat banyak yang tidur di dalam masjid, bahkan mereka tinggal dan menetap di dalam masjid.

Di dalam kitab al-Umm karya Imam asy-Syafi’i rahimahullah disebutkan riwayat dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra ketika masih bujangan juga termasuk pemuda penghuni masjid, dimana beliau tidur di dalam masjid. Dan Amr bin Dinar mengatakan, “Kami menginap di dalam masjid di zaman Ibnu az-Zubair. Dan bahwa Said bin al-Musayyib, Hasan al-Bashri, Atha’ dan asy-Syafi’i memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah ini.”

Berbicara atau Diam

Baik berbicara ataupun diam keduanya dibolehkan di dalam i’tikaf. Beri’tikaf bukan berarti selalu berdiam diri dan membisu. Sebab, i’tikaf bukanlah semedi sebagaimana lazimnya umat lain melakukan ibadah mereka. I’tikaf juga bukanlah bertapa seperti yang dilakukan oleh para biksu di dalam kuil mereka.

Orang yang beri’tikaf dibolehkan berbicara, asalkan bukan berbicara yang diharamkan seperti rafats, fusuq, jidal, juga pembicaraan-pembicaraan yang terlarang diucapkan di masjid, seperti jual beli dan mengumumkan benda hilang.

Tetapi kalau tidak bisa meninggalkan perkataan-perkataan yang kotor, maka diam adalah pilihan yang terbaik. Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Hurairah ra: Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Siapa beriman kepda Allah – ta’ala – dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) diamlah” (HR. Bukhari Muslim)

Memakai Pakaian Bagus dan Parfum

Dibolehkan bagi mereka yang beri’tikaf untuk mengenakan pakaian yang bagus, termasuk parfum. Sebab pada dasarnya memang ada perintah untuk mengenakannya ketika masuk ke masjid.

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf: 31)

Sumber:
Isnan Ansory, Lc., M.Ag., I’tikaf, Qiyam al-Lail, Shalat ’Ied dan Zakat al-Fithr di Tengah Wabah, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2020.

Baca Juga: