Menu Tutup

Fiqih Mahar

Pengertian Mahar

Secara bahasa, kata mahar berasal dari bahasa Arab al-mahru (المهر), yang bermakna pemberian untuk seorang wanita karena suatu akad. Hanya saja dalam fiqih, istilah mahar memiliki makna dengan fungsi yang lebih luas dari sekedar pemberian yang disebabkan adanya akad nikah. Di mana, setiap pemberian yang menjadi sebab atau akibat terjadinya hubungan seksual disebut dengan mahar. Apakah hubungan seksual itu berdasarkan akad nikah yang halal, ataupun karena sebab zina.

Imam al-Khathib asy-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj, mendefinisikan mahar dengan makna tersebut sebagaimana berikut:

Harta yang wajib diserahkan karena sebab nikah, hubungan seksual, atau hilangnya keperawanan. Al-Khathib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfazh al-Minhaj, hlm. 4/366.

Adapun dasar penamaan mahar untuk setiap pemberian yang dilakukan atas setiap sebab akibat dari hubungan seksual yang halal maupun yang haram adalah hadits-hadits berikut:

Dari Aisyah – radhiyallahu ‘anha -, bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. Jika dia telah digauli maka dia berhak mendapatkan mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak punya wali.” (HR. Tirmizi)

Dari Abu Mas’ud al-Anshari – radhiyallahu ‘anhu -: bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang hasil jual beli anjing, mahar zina dan upah perdukunan. (HR. Bukhari Muslim)

Di samping itu, imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyebutkan 9 istilah dalam bahasa Arab yang memiliki makna sebagai pemberian karena akad nikah ini, yaitu: (1) mahar, (2) shodaq, (3) shadaqoh, (4) nihlah, (5) faridhah, (6) ajr, (7) ‘ala’iq, (8) ‘uqr, dan (9) hiba’. (Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 7/209.)

Hukum dan Pensyariatan Mahar Nikah

Para ulama sepakat bahwa pemberian mahar oleh suami dalam akad pernikahan merupakan suatu hal yang diwajibkan. Di mana pemberian mahar ini merupakan salah satu hak di antara hak-hak istri atas suami. Hal ini sebagaimana didasarkan kepada ayat al-Qur’an berikut ini:

Berikanlah mahar/maskawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 4)

Dalam ayat di atas, secara tegas Allah mengatakan bahwa mahar itu merupakan hak milik sang istri, bukan milik suami atau walinya. Hal ini karena sebelum ayat ini diturunkan, apabila ada seorang ayah menikahkan anak perempuannya, atau kakak laki-laki menikahkan adik perempuannya, maka mahar dari pernikahan tersebut diambil dan dimiliki oleh sang ayah atau kakak laki-laki tersebut, bukan oleh si perempuan yang dinikahi. Lalu Allah melarang hal tersebut dan menurunkan ayat di atas.

Mahar: Tidak Wajib Disebutkan Saat Akad

Di samping itu para ulama juga sepakat bahwa pemberian mahar bukanlah bagian dari ritual akad nikah yang menjadi rukun sahnya nikah. Dalam arti, jika akad nikah dilakukan tanpa adanya penyebutan mahar, maka nikah tersebut tetap terhitung sah.

Hal ini didasarkan kepada ayat berikut:

Tidak ada kewajiban membayar atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. (QS. Al-Baqarah : 236)

Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyyah al-Kuwaitiyyah dijelaskan kesepakatan ini:

Boleh pernikahan dilakukan tanpa adanya penyebutan mahar menurut kesepakatan ulama. (Kementrian Wakaf Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyyah al-Kuwaitiyyah, hlm. 39/151.)

Para ulama menjelaskan bahwa pertimbangan kenapa mahar tidak termasuk rukun nikah adalah arena tujuan asasi dari sebuah pernikahan bukanlah jual-beli. Tujuan pernikahan itu adalah melakukan ikatan pernikahan dan juga kehalalan istimta’ (hubungan seksual). Sehingga mahar hanya salah satu kewajiban suami, sebagaimana nafkah, yang tidak perlu disebutkan pada saat akad.

Imam an-Nawawi – rahimahullah – (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, Raudhah ath-Thalibin wa ’Umdah al-Muftin:

Al-Ashhab (ulama Syafi’iyyah) berkata: Mahar itu bukan rukun dalam nikah, berbeda dengan barang yang diperjual-belikan dan uang dalam jual-beli. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1412/1991), cet. 3, hlm. 7/247.)

Referensi:

Isnan Ansory, Lc. M.A., Fiqih Mahar, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2020.

 

 

Baca Juga: