Sebelumnya di beberapa bab sebelumnya, telah disebutkan bahwa tidak ada istilah harta bersama dalam syariah, para ulama dan fuqaha pun tidak membahas itu sebagai bagian dari syariah dalam kitab-kitab mereka.
Dan mereka juga telah bersepakat bahwa perkawinan tidak bisa merubah status kepemilikan harta salah satu pasangan menjadi harta bersama. Sama sekali tidak ada.
1. Masing-Masing Punya Jatah
Dalam syariah, kepemilikan harta itu bisa berubah atau berpindah kepemilikan dengan satu dari 4 cara, yaitu:
- Waris
- Wasiat
- Hibah
- Jual beli
Dan perkawinan tidak ada dalam 4 cara ini, jadi memang tidak bisa kemudian hanya karena perkawinan harta menjadi dimiliki bersama.
Selain itu, sebagian dari ulama ini juga berdalil dengan ayat 32 surat an-Nisa’ yang menyebutkan bahwa bagi masing-masing laki dan wanita hanya memiliki apa yang ia usahakan.
لل رجَالِ نصِيبٌ مِا اكْتسَبوا وَللن سَاءِ نصِيبٌ مِا اكْتسَبَْْ وَاسْألوا الَّلََّ مِنْ فضْلهِ إنَّ الَّلََّ كَانَ بكُ لِ شَيْءٍ عَليمًا
“bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Nyata dan jelas. Laki-laki memiliki apa yang mereka usahakan, dan wanita pun sama. Pernikahan tidak membuat hartanya pindah kepemilikian kepada orang lain, termasuk istri.
Adapun kewajiban nafkah dari suami kepada istri tidaklah membuat secara otomatis bahwa seluruh harta suami menjadi hartanya istri.
Bahkan kita sangat hafal betul tentang pendapat banyak ulama bahwa seorang istri tidak diperkenankan bersedekah menggunakan harta suami, tanpa seizin suaminya. Itu berarti memang hartanya suami tidak mutlak menjadi harta istri, kecuali hanya yang diwajibkan nafkah untuk istri.
2. Hadits Hindun, Istri Abu Sufyan
Selain dengan ayat di atas, para ulama juga berdalil dengan hadits Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan, dan hadits ini masyhur dan terkenal, hampir semua orang muslim pernah mendengar hadits ini.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh syaikhoni (Imam Al-Bukhori dan Imam Muslim) ini, sayyidah ‘Aisyah bercerita bahwa Hindun pernah mendatangi Nabi saw dan mengadukan apa yang diperbuat oleh
Abu Sufyan;
إنَّ أَبََ سُفْيانَ رجُلٌ شَحِيحٌ لََ ي عْطِينِِ مِنْ النَّ فَقَةِ مَا يكْفِينِِ وَيكْفِي بنَِِّ إلََّ مَا أخَ ذْتُ مِنْ مَالهِ بغيِْْ عِلْمِهِ فَ هَلْ عَلَيَّ فِ ذَلكَ مِنْ جُناحٍ فَ قَالَ رسُولُ الَّلَِّ صَلى الَّلَُّ عَليْهِ وَسَلمَ خُذِي مِنْ مَالهِ بَِلمَعْروفِ مَا يكْفِيكِ وَيكْفِي بنيكِ
“Ya Rasulullah! Abu Sufyan, suamiku itu orang pelit, ia tidak memberikanku nafkah yang mencukupiku dan anakku, kecuali apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah itu boleh wahai Nabi? Kemudian