Menu Tutup

Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad

Kuantitas hadits yaitu jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadits atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad, disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadits mutawatir,  hadits masyhur (hadis mustafidh) dan hadits ahad.

Hadis Mutawatir

Mutawatir secara etimology berasal dari kata tawatara yang berarti beruntun, atau mutatabi, yakni beriring-iringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jarak. Sedangkan secara terminology mutawatir adalah hadits yang di riwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca.

Syarat-syarat Hadits Mutawatir

  • Hadits mutawatir harus di riwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak sepakat untuk berbohong.
  • Bedasarkan tanggapan panca indra, yakni bahwa berita yang mereka sampaikan harus benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
  • Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya.

Pembagian Hadits Mutawatir

Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadits Mutawatir ada 3 yaitu:

Hadits Mutawatir Lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama.

Contoh hadits mutawatir lafdhi yang artinya: “Rasulullah SAW, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka”. (Hadis Riwayat Bukhari).

Hadits tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama.

Hadits Mutawatir Maknawi adalah hadits mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya.

Contoh hadits mutawatir maknawi yang artinya: “Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan”. (Hadis Riwayat Mutafaq’ Alaihi).

Hadits Mutawatir ‘Amali adalah hadits mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya.

Contoh : Hadits-hadits Nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat ‘ied, adanya shalat jenazah, dan sebagainya.

Kedudukan Hadits Mutawatir

Hadits-hadits yang termasuk kelompok hadits mutawatir adalah hadits-hadits yang pasti (qath’i atau maqth’u) berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan “ilmu qath’i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad.

Hadits Ahad

Ahad menurut bahasa adalah kata jamak dari wahid atau ahad. Bila wahid atau ahad berarti satu, maka ahad, sebagai jamaknya, berarti satu-satu. Sedangkan menurut istilah hadits ahad adalah hadits yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadits dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir, atau dengan kata lain hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.

Pembagian hadits ahad

Hadits Masyhur (Hadits Mustafidah) adalah Hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah para sahabat dan demikian pula setelah mereka.

Contoh:

“Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi).

Hadits ‘Aziz adalah Hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tabaqat sanad.

Contoh:

“Rasulullah SAW bersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari kiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)

Hadits Gharib adalah Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya tanpa ada orang lain yang meriwayatkan.

Contoh:

“Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain)

Kedudukan hadits ahad

Bila hadits mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian hadits ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga ( zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadits ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau. Maka kedudukan hadits ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadits mutawatir. Lain berarti bahwa bila suatu hadits, yang termasuk kelompok hadits ahad, bertentangan isinya dengan hadits mutawatir, maka hadits tersebut harus ditolak.

REFERENSI

  • Mudzakir, M, Ulumul Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998.
  • Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, UIN-Malang Press: Oktober 2008.
  • Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia.
  • Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, cet. IV, Jakarta: Amzah, 2010.

 

Baca Juga: