Menu Tutup

Hadits tentang haramnya pemakaian sutra bagi lelaki

A. Matan Hadis dan Terjemah

حديث أنس بن مالك، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَنْ لَبِسَ الحَرِيرَ فِي الدُّنْيَا فَلَنْ يَلْبَسَهُ فِي الآخِرَةِ

Hadis Anas bin Malik, dari Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang memakai sutera di dunia maka ia tidak akan memakainya di akhirat.” [1]

B. Data Hadist

dengan matan yang sama maupun serupa dapat ditemukan melalui Kitab Mu’jam Mufahras dengan menggunakan kata kunci ل ب س dan hasilnya sebagai berikut:

1. Kitab Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari[2]

v كتاب اللباس – باب لبس الحرير وافتراشه للرجال وقدر ما يجوز منه – نمر ۵۸۳۲

حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ العَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، قَالَ شُعْبَةُ: فَقُلْتُ: أَعَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: شَدِيدًا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «مَنْ لَبِسَ الحَرِيرَ فِي الدُّنْيَا فَلَنْ يَلْبَسَهُ فِي الآخِرَةِ»

2. Kitab Sunan al-Nasa’i[3]

v كتاب الزينة – التشديد في لبس الحرير وأن من لبسه في الدنيا لم يلبسه في الأخرة – نمر ۵۳١٩

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ ثَابِتٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَخْطُبُ وَيَقُولُ: قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ لَبِسَ الْحَرِيرَ فِي الدُّنْيَا، فَلَنْ يَلْبَسَهُ فِي الْآخِرَةِ»

3. Kitab Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi

v كتاب اللباس والزينة – باب تحريم استعمال إناء الذهب والفضة

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَهُوَ ابْنُ عُلَيَّةَ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ لَبِسَ الْحَرِيرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبَسْهُ فِي الْآخِرَةِ»

4. Kitab Sunan Ibn Majah[4]

v كتاب اللباس – باب كراهية لبس الحرير – ۲٩٠٥

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ لَبِسَ الْحَرِيرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبَسْهُ فِي الْآخِرَةِ»

C. Status Kualitas Hadis

Jika di lihat dari sanadnya hadis ini shahih dengan sanad muttashil dan seluruh perawinya tsiqah. jika ditinjau dari segi matan, dari beberapa hadis yang akan dipaparkan pada pembahasan selanjutnya menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak terdapat syadz sehingga secara keseluruhan hadis dalam pembahasan ini memenuhi syarat sebagai hadis shahih.

D. Penjelasan Hadis

Larangan pada hakekatnya adalah haram. Illah pada hadis ini menyatakan barang siapa yang memakainya di dunia tidak akan memakainya di akhirat. Makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa barang siapa yang memakainya di dunia sekarang maka ia tidak akan masuk surga.[5] Hal ini disebabkan sebagai hukuman bagi mereka karena kerakusan telah mendahului menikmati pakaian surga. Bukti bahwa sutera merupakan ‘pakaian surga’ adalah:

إِنَّ اللَّهَ يُدْخِلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ

“Sesungguhnya Allah akan memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Di sana mereka diberi perhiasan gelang-gelang emas dan mutiara, dan pakaian merea dari sutera”[6]

Jika hanya merujuk pada matan hadis ini tidak ada kelanjutan yang menyatakan apakah objeknya laki-laki, perempuan, atau keduanya. Perbedaan ulama juga menyebabkan

bermacam-macam. Ada ulama yang menyatakan bahwa hadis ini ditujukan hanya untuk laki-laki dengan dasar hadis:

أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ الدِّرْهَمِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيرُ لِإِنَاثِ أُمَّتِي، وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُورِهَا»

“Mengabarkan kepada kami Ali bin al-Husain al-Dirhamiyyi, berkata: ‘Menceritakan kepada kami Abd al-A’la, dari Said, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Said ibn Abi Hindin, dari Abi Musa, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: ‘Dihalalkan emas dan sutera bagi perempuan-perempuan umatku, dan diharamkan atas laki kedua hal tersebut’.”

Dari hadis di atas dapat disimpulkan dengan jelas sekali bahwa emas dan sutera haram bagi laki-laki dan halal bagi perempuan. Pengkhususan hukum haram memakai sutera pada laki-laki ini berdasar pada hakikat bahwa laki-laki tidak seharusnya berhias, yang memiliki hakikat berhias adalah perempuan. Selain itu emas juga dilarang karena bukan saja tidak cocok bila digunakan oleh laki-laki namun ternyata emas juga mengandung molekul-molekul yang bisa menembus pori-pori kulit dan larut terbawa aliran darah. Molekul tersebut jika dibiarkan terus-menerus dapat tertimbun dalam tubuh yang menyebabkan penyakit kelamin pada laki-laki. Itulah mengapa sebabnya perempuan boleh menggunakan pakaian sutera dan perhiasan yang terbuat dari emas sedang laki-laki tidak.

Ada juga ulama yang menyatakan bahwa hadis ini juga berlaku untuk perempuan sebab tidak ada objek yang jelas pada hadis ini sehingga dianggap umum dan pada hakikatnya laki-laki dan perempuan sama. Seperti halnya dalam urusan siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka. Semua dipukul rata. Tidak ada beda entah laki-laki atau perempuan jika memang pantas maka ia masuk surga.

Untuk itu dalam kasus ini mereka juga menganggap objek hadis adalah universal, artinya semua baik laki-laki maupun perempuan terkena hukum keharaman meski ada dalil lain yang sudah menjelaskan siapa yang dihalalkan dan diharamkan. Meski demikian menurut syarah yang penulis dapat tentang hadis ini, ijma’ para ulama telah menetapkan bahwa larangan tersebut hanya berlaku untuk kaum laki-laki. Selain ada hadis yang menyatakan objek pengharaman penggunaan sutera bagi laki-laki, ulama juga berdasar pada hadis berikut:

حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ المَلِكِ بْنُ مَيْسَرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ زَيْدَ بْنَ وَهْبٍ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: «آتَى إِلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُلَّةً سِيَرَاءَ فَلَبِسْتُهَا، فَرَأَيْتُ الغَضَبَ فِي وَجْهِهِ، فَشَقَّقْتُهَا بَيْنَ نِسَائِي»[7]

“Menceritakan kepada kami Hajjaj ibn Minhal, menceritakan kepada kami Syu’bah, berkata: Mengabarkan kepadaku Abd al-Malik ibn Maisarah, berkata: Aku mendengan Zaid ibn Wahab, dari Al RA, berkata: Nabi memberiku satu stel pakaian sutera kemudian aku memakainya, aku melihat kemarahan pada wajahnya, lalu aku memotong-motong dan membagikan pada perempuan-perempuan.”

Hadis yang baru saja penulis cantumkan ini terdapat kata yang sangat menarik, yakni الغَضَبَ فِي وَجْهِهِ yang artinya kemarahan pada wajah Nabi. Hal ini membuktikan bagaimana Nabi sangat tidak menyukai laki-laki memakai pakaian sutera. Pada hadis yang sedang dibahas juga terdapat lafal yang menunjukkan ketidaksenangan Nabi terhadap hal ini. Lafal tersebut adalah lafal فَقَالَ: شَدِيدًا عَنِ النَّبِيِّ. Jika merujuk pada pendapat al-Karmani dalam Fath al-Bari bi Syarh al-Nawawi dijelaskan bahwa lafal merupakan lafal yang menunjukkan sifat marah yang sangat luar biasa. Artinya pada saat itu Abd al-Aziz yang ditanya oleh Syu’bah tentang permasalahan ini marah besar.[8]

Persoalan larangan memakai sutera atas laki-laki tidak berhenti sampai disini. Pengharaman sutera bagi laki-laki dianggap tidak mutlak. Artinya ada keadaan tertentu yang membolehkan laki-laki memakai sutera. Misalnya apabila sutera tersebut bukan berupa sutera murni (terbuat dari ulat asli, bukan sintesis). Hal tersebut diperkuat dengan dalil berikut:

… فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لَبُوسِ الْحَرِيرِ»، قَالَ: إِلَّا هَكَذَا، وَرَفَعَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِصْبَعَيْهِ الْوُسْطَى وَالسَّبَّابَةَ وَضَمَّهُمَا[9]

“ Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang pakaian sutera, lalu beliau berkata kecuali seperti ini, Rasul mengangkat kepada kami dua jarinya, jari tengah, dan telunjuk dengan merapatkan keduanya.”

حَدَّثَنَا ابْنُ نُفَيْلٍ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، حَدَّثَنَا خُصَيْفٌ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: إِنَّمَا «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الثَّوْبِ الْمُصْمَتِ مِنَ الْحَرِيرِ، فَأَمَّا الْعَلَمُ مِنَ الْحَرِيرِ، وَسَدَى الثَّوْبِ فَلَا بَأْسَ بِهِ»[10]

“Menceritakan kepada kami Ibn Nufail, menceritakan kepada kami Zuhair, menceritakan kepada kami Khushaif, dari Ikrimah, dari Ibn Abbas, berkata: sesungguhnya Rasulullah hanya melarang pakaian sutera murni (tanpa campuran), jadi apabila bendera dari emas, dan benang-benang sutera yang membujur maka tidak apa-apa (memakainya).”

Dari kedua hadis di atas dapat disimpulkan bahwa pengharaman sutera bagi laki-laki tidak bersifat mutlak. Artinya laki-laki boleh menggunakan sutera apabila bukan berupa sutera murni dan kadar suteranya jauh lebih sedikit dibanding campurannya. Pendapat ulama menambahkan jika kadar suteranya lebih banyak dibanding campurannya maka hukumnya tetap haram.

E. Hikmah Diharamkannya Sutera Terhadap Laki-laki

Dengan diharamkannya sutera terhadap laki-laki, Islam bertujuan untuk memberikan pendidikan moral yang tinggi. Islam sebagai agama perjuangan dan kekuatan harus selalu melindungi sifat keperwiraan laki-laki dari segala acam bentuk kelemahan , kejatuhan, dan kemerosotan. Seorang laki-laki yang oleh Allah telah diberi keistimewaan susunan anggotanya yang tidak seperti susunan keangotaannya wanita, tidak layak kalau dia meniru wanita-wanita ayu yang memanjangkan pakaiannya sampai ke tanah dan suka bermegah-megah dengan perhiasan dan pakaian.[11]

Di balik itu, ada suatu tujuan sosial, yakni bahwa diharamkannya sutera bagi laki-laki adalah salah satu bagian dari pogram Islam dalam rangka memberantas hdup bermewah-mewahan. Hidup bermewah-mewahan dalam pandangan Alquran adalah sama dengan kemerosotan yang akan menghancurkan suatu umat. Hidup bermewah-mewah merupakan manifestasi kajahatan sosial, yakni segolongan kecil bermewah-ewahan dengan pakaian sutera atas biaya golongan banyak yang hdup miskin. Sesudah itu dilanjutkan dengan sikap permusuhan terhadap setiap ajakan yang baik dan perbaikan.Dalam hal ini Alquran telah menyatakan:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا[12]

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ

Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya”.[13]

Untuk menerapkan jiwa Alquran ini, Nabi Muhammad SAW telah mengharamkan seluruh bentuk kemewahan dengan segala macam anifestasinya dalam kehidupan seorang muslim.Sebagaimana diharamkannya sutera terhadap laki-laki.

F. Hikmah Dibolehkannya Untuk Wanita

Dikecualikannya kaum wanita dari hukum ini adalah untuk memenuhi perasaan sesuai dengan fitrahnya kepada suka berhias, tetapi dengan syarat tidak boleh berhias yang dapat menarik kaum pria dan membangkitkan syahwat.

Untuk itu, maka dalam hadis Nabi menerangkan:

ايما امراة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية وكل عين زانية

Siapa saja perempuan yang memakai wangi-wangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka itu mencium baunya, maka permpuan tersebut di anggap berzina, dan tiap-tiap mata dan zinanya.[14]

Firmah Allah yang mengatakan:

وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.

G. Aplikasi dalam Masa Kini

Persoalan larangan menggunakan pakaian dari sutera jika diterapkan secara radikal pada masa kini cukup sulit dilakukan. Jika pakaian dari sutera dilarang dengan dalil bahwa itu termasuk barang mewah yang tidak baik digunakan laki-laki, lalu bagaimana dengan kain lain yang memiliki nilai sepadan bahkan lebih dari sutera? Songket misalnya.

Kain tersebut juga berharga mahal karena bahan dan pembuatannya yang rumit. Menggunakan kain songket bisa menjadi penanda bahwa orang tersebut berpunya. Apakah laki-laki juga diharamkan memakai dengan alasan berhias layaknya perempuan? Lalu bagaimana jika menghadiri beberapa kesempatan acara yang menganjurkan kita memakai pakaian yang bagus dan pantas (bukan berarti bermewah-mewahan)? Apakah tetap tidak boleh memakainya?

Berbicara mengenai era masa kini, menanggapi hadis secara radikal dan tekstual saja tentu menadi tidak relevan jika diaplikasikan. Untuk itu diperlukan sisi kontekstual dalam menyikapi beberapa persoalan hidup, salah satunya mengenai larangan memakai sutera ini. Untuk itu jika diaplikasikan, maka menggunakan pakaian sutera bagi laki-laki diperbolehkan apabila bukan berupa sutera murni dan kadarnya sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh hadis-hadis pendukung di atas.

Hal tersebut juga berlaku untuk kain yang berharga mahal yang setara dengan sutera. Memang tidak ada hadis yang menyebut secara rinci kain-kain jenis apa saja yang diharamkan bagi laki-laki. Namun jika bisa diqiyaskan dengan hadis yang ada maka larangan tersebut bisa saja berlaku pada seluruh jenis kain yang bernilai layaknya sutera, termasuk songket. Untuk itu menyikapi penggunaan jenis kain yang tidak disebut dengan rinci pada hadis namun bernilai layaknya sutera, hendaknya dihindari jika memang tidak terlalu dibutuhkan. Andai kata hal tersebut dibutuhkan hendaknya dimanfaatkan seperlunya saja.

_________________

[1]Mu’jam Mufarhras, jilid 6, hal. 82

[2]Ibnu Hajar al-Asqalani, fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bkhari (Kairo: Dar al-Hadis, 2004) hal. 300-301

[3]Lihat Sunan al-Nas’i, juz 8 hal, 578

[4]Lihat Sunan Ibnu Majah, juz 3, hal. 195

[5]Mu’amal Hamidy dkk, Terjemah Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, (Surabaya: Bina Ilmu, 1993) jilid 1, hal.387

[6]Q.S. al-Hajj: 23

[7]Hadis Diriwayatkan oleh al-Bukhari

[8]Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari,…, 307

[9]Hadis Diriwayatkan oleh Muslim

[10]Hadis diriwayatkan oleh Abu Daud

[11]Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj Mu’amal Hamidy, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003) hal.

[12]Q.S. al-Isra’: 16

[13]Q.S. Saba’: 34

[14] Hadis Diriwayat oleh Nasai

Baca Juga: