Menu Tutup

Hal-hal yang Disepakati Membatalkan Puasa

Kehilangan Syarat Puasa

Murtad

Semua ulama menyepakati bahwa diantara syarat berpuasa adalah beragama Islam, oleh karenanya jika terjadi suatu kasus ada orang Islam yang murtad (keluar dai Islam) dan dia sedang puasa maka puasanya batal.

Menjadi Gila

Sedari awal orang gila itu tidak masuk dalam katagori mukallaf, yaitu orang yang wajib melaksanakan perintah dan larangan syariat, termasuk orang gila tidak wajib berpuasa, namun jika awalnya sehat dan waras tapi ditengah hari puasa ramadhan menjadi gila hingga berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun maka batallah puasanya.

Haidh dan Nifas

Semua ulama sepakat bahwa haidh dan nifas membatalkan puasa. Rasulullah saw bersabda:

Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “bila wanita mendapat haidh dia tidak boleh shalat dan puasa?”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan bagi perempuan haidh wajib mengganti puasa yang ditinggalkan pada hari-hari lain setelah idul fitri, berikut ini penuturan Aisyah ra,

“Dahulu di zaman Rasulullah saw kami mendapat haidh. Maka kami diperintah untuk mengganti puasa. (HR.Muslim)

Kehilangan Fardhu Puasa

Makan dan Minum

Dalam QS. Al-Baqarah: 187 secara umum Allah swt berfirman:

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telahditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Berdasarkan ayat diatas, ada tiga aktivitas yang dihalalkan untuk dilakukan pada malam hari di bulan ramadhan, yaitu: (1) makan, (2) minum dan (3) hubungan suami istri, maka kebalikannya adalah tiga aktivitas itu juga dilarang untuk dilakukan di siang hari saat puasa ramadhan, dilarang maksudnya adalah hal-hal tersebut bisa membatalkan puasa, menahan diri dari tiga aktivitas itu itulah intinya puasa, atau dalam bahasa lainnya itu rukun/fardhunya puasa yang lebih sering kita sebut dengan imsak.

Juga dipertegas oleh sabda Rasulullah saw:

Demi jiwaku yang berada di tangan-nya, bau mulutnya orang puasa itu lebih baik disisi Allah dari pada bau minyak kasturi, dia meninggalkan makan, minum jug asyahwatnya untuk-Ku

Dan dalam hal ini para ulama sudah sampai pada suatu kesepakatan bahwa makan, minum, serta hubungan suami istri yang disengaja di lakukan di siang hari pada saat puasa hal itu membatalkan puasanya. (Ibnu Hazm, Maratib Al-Ijma’, hal. 39)

Tehadap mereka yang sengaja membatalkan puasanya dengan makan dan minum tanpa adanya sebab yang khusus, dalam hal ini selain dia berdosa dia juga wajib mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut pada hari lain setelah idul fitri. (Ini pendapat dalam madzhab As-Syafii dan Hanbali, yaitu selain berdosa dia wajib mengganti puasanya di hari lain. (Lihat: Hasyita Qailubi, jilid 2, hal. 89, Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3, hal. 119))

Namun menurut madzhab Hanafi dan Maliki juga wajib bayar kaffarah dengan: (1) Memerdekakan budak, (2) atau puasa dua bulan berturut-turut, (3) atau memberi makan 60 orang faqir miskin, yang demikian karena mereka telah menodai kehormatan bulan ramadhan. (Al-Kasani, Bada’i’, jilid 2, hal. 98, Ibnu Abdil Bar, Al-Kafi fi Fiqh Ahli Al-Madinah, jilid 1, hal. 341.)

Ibnu Abdil Bar misalnya dalam madzhab Maliki, menegaskan:

Siapa yang makan atau minum atau berjima’ dengan sengaja dan dia tahu bahwa dia sedang puasa, maka jika dia sedang berpuasa sunnah maka dia wajib mengganti puasa sunnahnya, begitu juga jika puasa wajib (selain puasa ramadhan) tidak ada kaffarah namun dia berdosa, akan tetapi jika hal itu dilakukan pada puasa ramadhan maka dia wajib mengganti puasa tersebut juga wajib atasnya kaffarah yaitu memerdekakan budak, atau puasa 2 bulan berturut-turutm atau memberi makan 60 orang miskin.(Ibnu Abdil Bar, Al-Kafi fi Fiqh Ahli Al-Madinah, jilid 1, hal. 341.)

Jima

Siapa saja yang sedang berpuasa lalu dia melakukan hubungan intim dengan lawan jenisnya, baik dengan istrinya sendiri yang sudah halal, atau berzina, baik bagi sepasang pengantin baru atau pengantin yang lama, maka yang demikian semua ulama sepakat bahwa puasanya batal10, bahkan khusus untuk perkara ini sebagian ulama dari madzhab Hanbali menilai jikapun terjadi jima’ karena lupa, maka ia tetap membatalkan puasa. (Ibnu Qudamah, As-Syrh Al-Kabir, jilid 3, hal. 54, Mardawi, Al-Inshaf, jilid 3, hal. 311.)

Dan mayoritas ulama meyakini bahwa selain puasanya batal dan dia wajib mengganti puasanya pada hari yang akan dating, dia juga diwajibkan atasnya kaffarah berupa: (1) memerdekakan budak, (2) atau puasa 2 bulan berturut-turut, (3) atau memberi makan 60 orang miskin.

Dasarnya adalah hadits Rasulullah saw berikut ini:

Dari Abi Hurairah ra, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah saw dan berkata, ”Celaka aku ya Rasulullah”. “Apa yang membuatmu celaka ?“. “Aku berhubungan seksual dengan istriku di bulan Ramadhan”. Nabi bertanya, ”Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak ?“. “Aku tidak punya”. “Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut ?”.”Tidak”. “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin ?“.”Tidak”. Kemudian duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma, maka Nabi berkata, ”Ambilah kurma ini untuk kamu sedekahkan”. Orang itu menjawab lagi, ”Haruskah kepada orang yang lebih miskin dariku ? Tidak ada lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku”. Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda, ”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Perihal siapa yang wajib membayar kaffarah ini, apakah laki-lakinya saja atau keduanya, maka dalam hal ini para ulama berbeda pandangan, menurut keterangan dari Imam Al-Kasani dari madzhab Hanafi bahwa selain laki-laki kaffarah itu juga berlaku bagi perempuan12, namun dalam madzhab As-Syafii perempuan tidak wajib bayar kaffarah, yang demikian juga pendapat Imam Ahmad. (An-Nawawi, Al-Majmu’, jilid 6, hal. 345)

Keluar Mani

Sengaja mengeluarkan mani (bukan karena mimpi) maka ia membatalkan puasa, baik karena sebab bercumbu, atau masturbasi. (An-Nawawi, Al-Majmu, jilid 6, hal. 328, Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3, hal. 128.)

Para ulama menilai bahwa onani atau masturbasi termasuk pembatal puasa. Hal ini berdasarkan hadits qudsi bahwa Allah swt berfirman:

“Orang yang berpuasa itu meninggalkan syahwat, makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)

Dan onani adalah bagian dari syahwat. Ibnu Qudamah berkata:

“Jika seseorang mengeluarkan mani secara sengaja dengan tangannya, maka ia telah melakukan suatu yang haram. Puasanya tidaklahbatal kecuali jika mani itu keluar. Jika mani keluar, maka batallah puasanya. Karena perbuatan ini termasuk dalam makna qublah yang timbul dari syahwat.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3, hal. 128)

Merokok

Secara subtansinya merokok itu disamakan dengan makan atau minum sehingga ia membatalkan puasa, makanya merokok itu sering diistilahkan dengan syurbu ad-dukhan (minum asap), asap rokok itu sendiri bagian dari ‘ain (benda) yang jika sengaja dimasukkan ke rongga (dalam hal ini adalah mulut atau hidung) maka batallah puasa.

Syaikh Sulaiman Al-Ujaili menuliskan:

“Dan termasuk dari ‘ain (benda yang membatalkan puasa) adalah asap, tetapi mesti dirinci;. jika asap itu adalah yang terkenal diisap sekarang ini (maksudnya tembakau) maka puasanya batal. Tapi jika asap lain, seperti asap/uap masakan, maka tidak membatalkan puasa. Ini adalah pendapat yang mu’tamad (kuat)” . (Sulaiman al-‘Ujaili, Hasyiyatul Jumal ‘ala Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, jilid 2, hal. 317)

Syekh Nawawi al-Banteni, salah seorang ulama asli Indonesia menuliskan:

Sampainya ‘ain (benda) ke tenggorokan dari lubang yang terbuka secara sengaja dan mengetahui keharamannya itu membatalkan puasa…seperti mengisap asap (yang dikenal sebagai rokok). (Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Irsyadul Mubtadiin, Beirut: Darul Fikr, jilid 1, hal. 187)

Berbeda dengan perokok pasif, terhisapnya asap rokok bukan karena disengaja dan itupun biasanya sulit dihindari, walaupun kadang hidung sudah ditutup tapi tetap saja asapnya masih terasa dihidung, ini mirip dengan asap knalpot atau debu-debu yang berterbangan yang sulit dihindari untuk tidak terhisap.

Muntah dengan Sengaja

Muntah dengan sengaja, bukan karena karena mabuk perjalanan atau karena sakit perut, ia dinilai membatalkan puasa berdasarkan ijma’ para ulama. (Ibnu Al-Mundzir, Al-Ijma’, hal. 49)

Rasulullah saw bersabda:

”Orang yang muntah tidak perlu mengqadha’, tetapi orang yang sengaja muntah wajib mengqadha”. (HR. Abu Daud)

Referensi:
Saiyid Mahadhir, Lc, MA., Bekal Ramadhan dan Idul Fithri (4): Batalkah Puasa Saya?, Rumah Fiqih Indonesia, 2019.

Baca Juga: