Menu Tutup

Hibah : Pengertian, Dasar Hukum, Rukun, Syarat, dan Permasalahannya

Pengertian Hibah

Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu:

Artinya:

“Pemilikan yang munjiz (selesai) dan muthlak pada sesuatu benda ketika hidup tanpa penggantian meskipun dari yang lebih tinggi.”

Didalam syara’ sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebut i’aarah (pinjaman).

Dasar Hukum Hibah

Hibah disyariatkan dan dihukumi mandub (sunat) dalam Islam. Dan Ayat ayat Al quran maupun teks dalam hadist juga banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong menolong dan salah satu bentuk tolong menolong tersebut adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul-betul membutuhkannya, dalam firman Allah:

Artinya:

… dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa . . .( QS: Al Maidah: 2).

Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan dawud dari Aisyah ra. berkata:

Artinya:

“Pernah Nabi saw. menerima hadiah dan balasannya hadiah itu.”

Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a , Nabi saw. bersabda:

Artinya:

“Haram bagi seorang Muslim memberi sesuatu kepada orang lain kemudian memintanya kembali, kecuali pembayaran ayah kepada anaknya.”

Rukun Hibah

Menurut jumhur ulama’ rukun hibah ada empat:

Wahib (Pemberi)

Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain.

Mauhub lah (Penerima)

Penerima hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah.

Mauhub

Mauhub adalah barang yang di hibahkan.

Shighat (Ijab dan Qabul)

Shighat hibbah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qabul.

Syarat-Syarat Hibah

Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan.

Syarat-syarat penghibah

Disyaratkan bagi penghibah syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan.
  2. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.
  3. Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
  4. Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.

Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah

Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada  di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing.

Syarat-syarat bagi yang dihibahkan

Disyaratkan bagi yang dihibahkan:

  1. Benar-benar ada
  2. Harta yang bernilai
  3. Dapat dimiliki dzatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren.
  4. Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya.
  5. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukaan (dikhususkan) seperti halnya jaminan.

Masalah Akad Hibah dan Penyelesaiannya

al-umra dan al-ruqba

Al-umra di ambil dari kata ‘umr,  yakni jika pemberi hibah berkata kepada penerima hibah, “Saya membangun rumah ini untukmu,” “Saya membuat rumah ini untuk kamu sepanjang usia saya,” “Seumur hidup kamu, “Sepanjang hayat kamu,” atau “Sepanjang hayatku, jika kamu meninggal, rumah ini aku warisi. Shighat-shighat di atas adalah shighat akad hibah. Akan tetapi, shighat tersebut diikat dengan waktu, yakni umur orang yang memberi hibah atau umur orang yang menerimanya. Sementara itu, salah satu syarat shighat hibah adalah tidak diikat dengan waktu. Meskipun demikian, ulama Mazhab Hanafiah dan Syafi’iah menyepakati sahnya akad hibah tersebut, tetapi syarat yang ditetapkan batal. Ketentuan ini didasarkan pada hadis-hadis shahih Rasulullah Saw., diantaranya hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Al-Umra dibolehkan.” Keduanya juga meriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata, “Nabi Saw. melakukan hibah al-umri bagi orang yang menerima hibahnya. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah Saw. bersabda, “Al-Umri bagi orang yang menerima hibah.” Selain itu, Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadis dari Jabir ra., ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, “Tahanlah harta-harta kalian dan jangan merusaknya. Siapa yang memberikan umra maka harta tersebut menjadi milik orang yang diberi, baik ketika masih hidup, ketika sudah meninggal dan bagi keturunannya.

Imam Nawawi berkata dalah Syarh Shahih Muslim. Hadis ini memberitahukan bahwa al-umra adalah hibah yang sah. orang yang menerima hibah tersebut berhak penuh atas harta yang dihibahkan. Harta itu tidak akan kembali kepada orang yang menghibahkan selamanya. Jika mereka mengetahui hal tersebut, siapa yang ingin melakukannya, ia boleh hibah dengan umra. Siapa yang ingin, boleh meninggalkannya. Sebelumnya, mereka membayangkan bahwa hibah umra sama dengan ariyah dan harta yang dihibahkan akan kembali padanya.

Sedangkan Al-ruqba adalah hibah yang terjadi jika pemberi hibah berkata, “Rumahku ini untukmu selama masa pengawasanku,” “Aku memintamu menjaga rumah ini,” atau “Aku membuat rumah ini untukmu dalam pengawasanku.” Maksudnya, kalau kamu meninggal sebelum saya, rumah ini kembali menjadi milik saya. Jika saya meninggal sebelum kamu, rumah ini tetap menjadi milikmu.” Istilah ini diambil dari kata al-taraqqub yang berarti menunggu. Artinya, masing-masing menunggu kematian kawannya. Shighat ini merupakan salah satu shighat hibah yang diakui syariat meskipun diikat dengan sebuah syarat.

Menurut ulama Mazhab Syafi’iah, ini adalah akad hibah yang sah, namun syaratnya batal. Hal demikian disebabkan adanya hadis yang menunjukkan keabsahannya dan kebatalan syaratnya, sama dengan al-umra. Jabir ra. meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah Saw., beliau bersabda, “Hibah al-umra dibolehkan bagi orang yang melakukannya, begitu juga hibah al-ruqba dibolehkan bagi yang melakukannya.” Maksudnya adalah yang berlaku dan yang sudah terjadi. Ini merupakan pengecualian dari kebatalan hibah yang terikat dengan syarat sebagaimana kita ketahui.

Imam Al-Subki dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menjelaskan tentang sahnya hibah al-umra dan al-ruqba jauh dari qiyas. Ulama Mazhab Syafi’iah sepakat dengan Abu Yusuf dari Mazhab Hanafiah dalam menganggap hibah al-ruqba sebagai akad hibah yang sah. sementara itu, Abu Hanifah sendiri dan Muhammad berpendapat bahwa hibah tersebut hukumnya batal karena menyertakan syarat tertentu dengan ijab yang menghalangi kepemilikan saat itu juga. Hal itu menjadi penentu terjadi atau tidaknya akad. Menurut mereka, hal demikian menghalangi sahnya hibah.

Hal ini berbeda dengan hibah al-umra karena pemanfaatan harta di sana tidak menghalangi penyerahan kepemilikan barang pada saat transaksi. Oleh karena itu hibahnya sah, tetapi syarat penentuan waktunya batal. Argument kedua didasarkan pada hadis riwayat Al-Syu’bi dari Syuraih bahwa Rasulullah Saw. membolehkan hibah al-umra dan membatalkan hibah al-ruqba. Imam Al-Kasani berkata, “Kedua hibah tersebut tidak dapat ditolak (sahnya).” Keduanya berkata, “Jika pemberi hibah menyerahkan hibahnya kepada penerima yang memiliki pinjaman, kapan pun ia bisa memintanya kembali. Hanya saja, akad pinjam-meminjam di sini menjadi sah karena pemberi hibah menyerahkan hibahnya kepada penerima dan membebaskannya untuk memanfaatkannya. Ini termasuk kategori ariyah (pinjaman).

Pemberian dalam khitbah

Masalah khitbah (dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinangan dan tunangan), adalah materi pembahasan yang termasuk dalam Fiqh Munakahat, tetapi dalam pelaksanaan khitbah di masyarakat di Indonesia terdapat pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak wanita. Maka persoalan ini sesungguhnya dibahas dalam masalah hibah yang merupakan bagian dari pembahasan Fiqih Muamalah.

Tunangan biasanya datang dari pihak laki-laki kepada pihak wanita untuk diminta menjadi calon isteri. Bila lamaran ini diterima oleh pihak wanita, maka biasanya pihak wanita diberi cincin atau yang semisal sebagai tanda bahwa lamarannya diterima. Kiranya tidak menjadi permasalahan, apabila rencana perkawinan berjalan lancar, tetapi yang jadi masalah adalah jika rencana perkawinan itu dibatalkan. Apakah tanda pengikat (cincin tunangan) yang telah diterima oleh pihak wanita itu wajib dikembalikan atau tidak? Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat, Mazhab Syafi’I, Maliki dan Hambali mempunyai pandangan yang berbeda tentang permasalahan di atas.

Menurut Mazhab Syafi’I, benda-benda tunangan yang telah diterima pihak wanita sebagai pemberian pihak pria adalah hadiah, karenanya wajib untuk dikembalikan, baik benda-benda tersebut masih utuh ataupun sudah rusak. Bila benda tunangan itu sudah rusak atau hilang, maka pihak wanita wajib menggantikannya dengan benda yang serupa atau membayar dengan uang yang seharga bagi benda tunangan tersebut.

Kewajiban pengembalian benda tunangan ini berlaku apabila terjadi pembatalan perkawinan, baik atas permintaan pihak laki-laki maupun pihak wanita. Menurt Mazhab Hanafi, benda-benda yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak pinangannya dapat diminta kembali apabila benda-benda itu masih utuh, misalnya gelang, kalung, cincin, jam dan sebagainya. Apabila benda-benda itu sudah berkurang atau bertambah, seperti kain yang sudah dijadikan baju, jam dan cincin yang sudah dijual, maka pihak laki-laki tidak berhak meminta kembali dan tidak boleh meminta ganti rugi atas hilangnya barang-barang yang telah dia berikan.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa apabila pembatalan pihak wanita maka dia (pihak wanita) wajib mengembalikan benda-benda yang dia terima  dari pihak laki-laki. Bila benda itu masih utuh, maka yang harus dikembalikan adalah benda tersebut. Sedangkan jika benda itu sudah tidak ada, baik dijual, hilang atau karena yang lainnya, maka ia wajib menggantinya, baik dengan benda yang serupa maupun dengan uang yang senilai dengan benda tersebut. Apabila pembatalan datangnya dari pihak laki-laki, maka pemberian yang telah diterima oleh pihak wanita, tidak diperbolehkan untuk diminta kembali, baik barang itu masih utuh, berubah maupun hilang. Dalam riwayat lain menurut Mazhab Maliki, apabila adat (kebiasaan) berbeda dengan ketentuan Malikiyah di atas, maka yang diberlakukan adalah adat atau kebiasaan.

Ketiga mazhab di atas berbeda karena perbedaan tolak ukur yang dipakai. Hanafi bertolak ukur pada keutuhan benda pemberina, Maliki bertolak ukur kepada pihak yang membatalkan dan adat, Syafi’I menggunakan kaidah umum bahwa pemberian itu sama dengan pemberian yang berimbalan, yakni boleh diminta kembali bila imbalannya belum sesuai dengan yang diharapkan. Adapun hadis yang dijadikan alasan adalah hadis riwayat Imam Ahmad dan ibnu Majah dari Ibnu Abbas ra.

Hikmah Hibah

Saling membantu dengan cara memberi, baik berbentuk hibah, shadaqah, maupun hadiah dianjurkan oleh Allah dan rasul-Nya. Hikmah atau manfaat disyari’atkannya hibah adalah sebagai berikut:

Memberi atau hibah dapat menghilangkan penyakit dengki, yakni penyakit yang terdapat dalam hati dan dapat merusak nilai-nilai keimanan. Hibah dilakukan sebagai penawar racun hati, yaitu dengki. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Tirmidzi dari Abi Hurairah r.a. Nabi saw. bersabda:

Artinya:

“Beri-memberilah kamu, karena pemberian itu dapat menghilangkan sakit hati (dengki).

Pemberian atau hibah dapat mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai dan menyayangi. Hadiah atau pemberian dapat menghilangkan rasa dendam.

DAFTAR PUSTAKA

  • Al-Bugha, Musthafa Dib, Buku Pintar Transaksi Syariah terj. Fiqh Al-Mu’awadhah,Cet. I, Bandung: Mizan Media Utama, 2010.
  • Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, Cet. XX, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987.
  • Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, Edisi I, Cet. V, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Baca Juga: