Hubungan Agama dan Negara dalam pemikiran politik kontemporer

Munculnya permasalahan tersebut menurut Suyuti Pulungan (1999:XI) dipadang wajar, karena risalah Islam yang dibawa nabi Muhammad saw adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Artinya, Islam menekankan terwujudnya keselarasan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Karena itu Islam mengandung ajaran yang integratif antara tauhid, ibadah, akhlak dan moral, serta prinsip-prinsip umum tentang kehidupan bermasyarakat.

Sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat Islam setelah Muhammad saw wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau yang akan memimpin umat, atau juga lazim disebut persoalan imamah. Al-Qur’an sebagai acuan utama disamping sunnah Nabi tidak sedikitpun menyiratkan petunjuk tentang pengganti Nabi atau tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta pembentukannya. Sejarah politik umat Islam, sebagai satu kesatuan, secara umum dapat dibagi menjadi empat periode:

  1. Sejak hijrah Nabi Muhammad saw ke Madinah hingga akhir kekhalifahan rasyidin
    2. Sejak berdirinya Dinasti Umayyah hingga keruntuhan kekaisaran-kekaisaran dan negara-negara muslim pada abad 18 hingga 19 M
  2. Kolonisasi dan penaklukan atas negara-negara Muslim oleh kekuatan-kekuatan imperialis Barat selama dua abad terakhir
  3. Berdirinya kembali negara-negara muslim yang independen dan berdaulat sejak pertangahan adab 20.

Tentang hubungan agama dan negara terdapat tiga kelompok pemikiran, menurut Suyuti Pulungan (1999:XII), yaitu:

  • Kelompok pertama, berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus lembaga politik. Karena itu kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik.
  • Kelompok kedua mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tapi mempunyai fungsi politik. Karena itu kepala negara mempunyai kekuasaan agama yang berdimensi politik.
  • Kelompok ketiga menyatakan bahwa negara adalah lembaga politik yang samasekali terpisah dari agama. Kepala negara, karenanya, hanya mempunyai kekuasaan politik atau penguasa duniawi saja.

Sementara itu menurut Prof. Dr. Syed Husain Mohammad Jafri (2003:27), ada dua pandangan yang berseberangan tentang fungsi dan karakter agama:

  • Pandangan pertama membatasi peran agama hanya sebatas bidang spiritual dan etika. Pandangan ini menganggap agama tak ada urusanya dengan aspek-aspek temporal dan duniawi kehidupan dan masyarakat.
  • Pandangan kedua memandang agama memiliki fungsi yang luas. Fungsi ini mencakup setiap aspek kehidupan manusia baik itu aspek duniawi maupun aspek spiritual atau ukhrawi.

Sayyid Qutb, penulis tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, juga berpendapat bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan amat lengkap sebagai suatu sistem kehidupan yang tidak saja meliputi tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga sistem politik termasuk bentuk dan ciri-cirinya, sistem masyarakat, sistem ekonomi dan sebagainya. (Sayyid Qutb, 1974:1)