Menu Tutup

Hukum Crypto dalam Islam: Halal atau Haram?

Close-up koin Bitcoin yang menunjukkan logo dan pola sirkuit digital di permukaan abu-abu.

Cryptocurrency telah menjadi fenomena global dalam dunia keuangan digital. Menurut data yang dilansir dari Kriptopedia, jumlah investor aset kripto di Indonesia telah mencapai lebih dari 17 juta orang pada tahun 2024. Sebagai mata uang digital yang berbasis teknologi blockchain, aset ini menawarkan transaksi yang terdesentralisasi tanpa perantara seperti bank.

Namun, dalam perspektif Islam, penggunaan cryptocurrency masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Di Indonesia, tiga lembaga keagamaan utama, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah, telah mengeluarkan pandangan masing-masing terkait hukum cryptocurrency dalam Islam.

Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)

MUI dalam Fatwa DSN-MUI No. 144 Tahun 2021 menetapkan bahwa penggunaan cryptocurrency sebagai alat transaksi dan investasi adalah haram. Keputusan ini didasarkan pada beberapa alasan utama:

  • Mengandung Gharar dan Maisir: Cryptocurrency dianggap memiliki ketidakjelasan (gharar) dan unsur spekulasi tinggi (maisir), yang bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam.

  • Tidak Memenuhi Syarat sebagai Alat Tukar Syariah: Cryptocurrency tidak memiliki nilai intrinsik dan tidak diawasi oleh otoritas resmi, seperti bank sentral, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai mata uang yang sah menurut Islam.

  • Berpotensi Menimbulkan Kerugian: Volatilitas harga yang tinggi dapat menyebabkan kerugian besar bagi penggunanya, yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam.

Namun, MUI memberikan pengecualian jika cryptocurrency memenuhi prinsip syariah, seperti memiliki underlying asset yang jelas dan tidak digunakan untuk transaksi yang dilarang dalam Islam.

Pandangan Nahdlatul Ulama (NU)

NU melalui beberapa forum Bahtsul Masail memberikan pandangan yang berbeda-beda mengenai cryptocurrency. Beberapa keputusan penting yang telah diambil antara lain:

1. Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur (24 Oktober 2021)

PWNU Jawa Timur menegaskan bahwa cryptocurrency adalah aset fiktif yang tidak sah untuk diperjualbelikan.

Tidak memenuhi syarat sebagai komoditas dalam Islam karena tidak memiliki bentuk fisik (‘ain musyahadah) maupun jaminan aset (syai-in maushuf fid dzimmah).

Oleh karena itu, perdagangan cryptocurrency dianggap tidak diperbolehkan (ghairu jaizin).

2. Keputusan Bahtsul Masail PWNU DIY (21 November 2021)

PWNU DIY menyatakan bahwa cryptocurrency dapat dibolehkan sebagai alat tukar maupun komoditas dalam Islam.

Cryptocurrency memenuhi syarat sebagai alat tukar (al-tsaman) dan komoditas (al-mutsman) karena memiliki manfaat, dapat diserahterimakan, serta diakui oleh pihak yang bertransaksi.

Tidak ditemukan unsur gharar dan maisir dalam transaksi cryptocurrency, karena harga fluktuatifnya mengikuti hukum pasar.

Menyarankan pemerintah untuk membuat regulasi yang lebih ketat dalam mengawasi cryptocurrency.

3. Keputusan Bahtsul Masail Islamic Law Firm (ILF) (19 Juni 2021)

Cryptocurrency dianggap sebagai kekayaan (mal) dalam Islam, yang berarti dapat dipertukarkan jika tidak mengandung unsur gharar.

Karena terdapat perbedaan pendapat mengenai ada atau tidaknya gharar dalam transaksi crypto, maka hukum penggunaannya tergantung pada kondisi yang berlaku.

Masyarakat dihimbau untuk berhati-hati dalam bertransaksi dan memahami risiko yang ada.

Pandangan Muhammadiyah

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah mengeluarkan fatwa mengenai cryptocurrency yang dituangkan dalam Majalah Suara Muhammadiyah edisi 01 tahun 2022. Muhammadiyah membagi pembahasan menjadi dua aspek utama:

1. Cryptocurrency sebagai Alat Investasi

Muhammadiyah menilai bahwa cryptocurrency sebagai investasi memiliki unsur spekulatif (maisir) yang tinggi dan bersifat fluktuatif secara tidak wajar.

Mengandung gharar (ketidakjelasan) karena tidak memiliki underlying asset yang jelas.

Berdasarkan dalil Al-Qur’an dan hadis, spekulasi dan gharar dilarang dalam Islam.

2. Cryptocurrency sebagai Alat Tukar

Secara prinsip, penggunaan cryptocurrency sebagai alat tukar diperbolehkan karena menyerupai sistem barter.

Namun, Muhammadiyah menegaskan bahwa standar mata uang yang sah harus diterima oleh masyarakat dan disahkan oleh otoritas resmi seperti bank sentral.

Karena tidak diakui oleh Bank Indonesia dan tidak memiliki perlindungan hukum bagi penggunanya, cryptocurrency sebagai alat tukar menjadi bermasalah dalam perspektif Islam.

Sebagai kesimpulan, Muhammadiyah menetapkan bahwa cryptocurrency haram baik sebagai alat investasi maupun sebagai alat tukar.

Kesimpulan

Ketiga lembaga Islam di Indonesia memiliki pandangan yang berbeda mengenai cryptocurrency:

  • MUI: Mengharamkan cryptocurrency sebagai alat transaksi dan investasi karena mengandung gharar dan maisir.

  • NU: Terdapat perbedaan pendapat, di mana PWNU Jawa Timur melarang, sedangkan PWNU DIY membolehkan dengan syarat tertentu.

  • Muhammadiyah: Mengharamkan cryptocurrency karena dianggap mengandung spekulasi dan gharar, serta tidak diakui sebagai alat tukar resmi.

Dengan adanya perbedaan pendapat ini, umat Islam di Indonesia diharapkan lebih berhati-hati dalam menggunakan cryptocurrency dan mengikuti fatwa yang sesuai dengan keyakinan masing-masing. Pemerintah juga diharapkan dapat memberikan regulasi yang lebih jelas dan melindungi masyarakat dari risiko yang mungkin timbul akibat perdagangan aset digital ini.

Lainnya