Pengertian Hukum Material
Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fikih yang sudah barang tentu rentan terhadap perbedaan. Hukum materiil Peradilan Agama selama ini bukan merupakan hukum tertulis dan masih berserakan dalam berbagai kitab karya ulama masa lalu yang karena dari segi sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukumnya tentang masalah yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut di satu sisi dan adanya kesamaan di sisi lain, telah dikeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-Undang N0. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak dan rujuk. Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan surat biro Pengadilan Agama No. B/I/735 tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan peraturan pemerintah No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan peradilan agama diluar Jawa dan Madura.
Dalam surat biro peradilan tersebut di atas dinyatakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum material dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para hakim peradilan agama dianjurkan agar menggunakan sebagai rujukan 13 kitab-kitab ini, yakni: 1) Al-Bajuri, 2) Fatkhul Mu’in, 3) Syaraqawi ‘Alat Tahrir’, 4) Qalyubi Wa Umairah/ Al-Mahali, 5) Fatkhul Wahhab, 6) Tuhfah, 7) Targhib Al-Mustaq, 8) Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya, 9) Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shadaqah, 10) Syamsuri li Fara’id, 11) Bughyat Al-Musytarsyidin, 12) Al-Fiqih Ala Madzahib Al-Arba’ah dan 13) Mughni Al-Muhtaj.[1]
Asas dan Sasaran Hukum Material
Hukum material berasaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional, termasuk pembangunan hukum di dalamnya dijiwai, digerakkan dan dikendalika oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spritural, moral dan etik pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Iman dan taqwa serta segala sesuatu yang berkaitan dengannya dipamdang dari sudut ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) yang menjadi landasan kerangka dasar agama Islam, bersepadanan dengan aqidah dan syari’ah, dua dari tiga komponen agama Islam, aqidah, syari’ah dan akhlak.
Pembangunan jangka panjang kedua, menurut GBHN 1993, diselenggarakan melalui tujuh bidang pembangunan. Salah satu di antaranya adalah bidang hukum. Peningkatan dari sector menjadi bidang dalam pembangunan hukum mempunyai makna bahwa dalam waktu dua puluh lima tahun diharapkan akan tercapai yakni terbentuk dan berfungsinya system hukum nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran.[2]
Wawasan Hukum Material
Wawasan Kebangsaan
Wawasan kebangsaan sistem hukum materiil harus berorientasi penuh dalam aspirasi serta kepentingan bangsa Indonesia. Wawasan kebangsaan ini menurut menteri kehakiman, bukanlah wawasan kebangsaan yang tertutup tetapi terbuka memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang dan mampu menyerap nilai-nilai hukum modern
Wawasan Nusantara
Wawasan nusantara menginginkan adanya satu hukum nasional, maka usaha unifikasi di bidang hukum harus sejauh mungkin dilaksanakan. Ini berarti bahwa seluruh golongan masyarakat akan diatur oleh satu system hukum yaitu system hukum nasional.
Wawasan Bhinneka Tunggal Ika
Dengan mempergunakan wawasan terakhir ini unifikasi hukum yang diinginkan oleh wawasan nusantara itu harus menjamin tertuangnya aspirasi, nilai-nilai dan kebutuhan hukum masyarakat ke dalam system hukum nasional. Dengan wawasan bhinneka tunggal ika ini keragaman suku bangsa, budaya dan agama sebagai asset pembangunan nasional harus dihormati, sepanjang, tentu saja tidak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan mempergunakan ketiga wawasan itu secara serentak dan terpadu berbagai asas dan kaidah-kaidah hukum Islam juga hukum adat dan hukum eks barat akan menjadi bagian integral hukum nasional, baik hukum nasional yang tertulis maupun hukum nasional yang tidak tertulis atau hukum kebiasaan.[3]
Pengembangan Hukum Material di Peradilan Agama
Hukum material yang hendak dikembangkan di Peradilan Agama dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua adalah hukum perdata Islam mengenai, a) Perkawinan, b) Kewarisan, wasiat, dan hibah, c) Wakaf dan shadaqah, sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang (No. 7 tahun 1989) kepada Peradilan Agama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang tersebut. Hukum ini telah dihimpun dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan telah pula disebarluaskan sesuai dengan instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 melalui keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 154 tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991. Kompilasi hukum Islam ini, sesuai dengan konsiderans instruksi presiden dimaksudkan bersifat terbuka untuk dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan pemenuhan kebutuhan hukum umat Islam Indonesia.[4]
Dilihat dari sudut dimensi pembangunan hukum nasional tersebut di atas, pengembangan hukum material peradilan agama termasuk dalam kategori dimensi pembaharuan yaitu usaha untuk melengkapi dan menyempurnakan hukum material peradilan agama yang kini dihimpun secara sistematis dalam kompilasi hukum Islam. ini berarti bahwa dalam pengembangan hukum material peradilan agama, kita melengkapi apa yang belum ada dalam kompilasi itu dan menyempurnakan apa yang sudah ada di dalamnya.
Dilihat dari perangkat hukum nasional, disiplin hukum yang dikembangkan di lingkungan peradilan agama seperti disebut di atas adalah hukum kekeluargaan, hukum kewarisan dan hukum kesejahteraan sosial. Di samping mempergunakan dimensi pembaruan atau dimensi penyempurnaan tersebut di atas dalam pengembangan hukum material peradilan agama sesuai dengan arahan GBHN 1993 di atas, perlu ditingkatkan kualitas pembentukan hukum melalui yurisprudensi peradilan agama. Peningkatan kualitas yurisprudensi peradilan agama ini sangat bergantung pada kualitas dan wawasan hakim peradilan agama sebagai penegak hukum dan keadilan dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (muslim).
Dalam pasal 14 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan (padanya) dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya. Ini berarti bahwa hakim sebagai organ kelengkapan pengadilan dianggap mengetahui dan memahami hukum. Kalau ia tidak menemukan hukum tertulis atau hukum tertulis ini kurang atau tidak jelas, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutuskan (perkara yang diajukan padanya) berdasarkan hukum tidak tertulis itu atau memberi tafsiran terhadap hukum tertulis yang tidak jelas tersebut sebagai seorang yang bijaksana, bertanggungjawab penuh mengenai keputusannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.[5]
[1] Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 156
[2] Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), h. 368
[3] Ibid, h. 370-371
[4] Ibid, h. 375
[5] Farah Fitriani, Pengadilan Agama, http://farahfitriani.wordpress.com/2011/08/01/pengadilan-agama/