Suntik adalah salah satu cara untuk memasukkan obat atau zat lain ke dalam tubuh melalui jarum yang menusuk kulit. Suntik bisa dilakukan untuk berbagai tujuan, seperti pengobatan, pencegahan penyakit, atau pengaturan kelahiran. Namun, bagaimana hukumnya jika suntik dilakukan saat sedang berpuasa di bulan Ramadhan? Apakah suntik membatalkan puasa atau tidak?
Pertanyaan ini mungkin sering muncul di benak para muslim yang harus menjalani suntik karena alasan kesehatan atau lainnya. Untuk menjawabnya, kita perlu melihat pendapat para ulama dari berbagai mazhab dan fatwa-fatwa terkini yang berkaitan dengan masalah ini.
Secara umum, para ulama sepakat bahwa puasa akan batal jika ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui lubang-lubang alami, seperti mulut, hidung, telinga, mata, dubur, atau kemaluan. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
“Barangsiapa yang makan atau minum karena lupa maka hendaklah ia melanjutkan puasanya. Sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. Abu Dawud no. 2350)
Namun, bagaimana dengan suntik yang masuk melalui kulit atau otot? Apakah ini termasuk lubang alami atau tidak? Inilah yang menjadi perbedaan pendapat di antara para ulama.
Ada beberapa pendapat yang bisa kita rangkum sebagai berikut:
Pendapat pertama: Suntik membatalkan puasa.
Pendapat ini didasarkan pada analogi dengan huknah (enema) atau pemasukan cairan ke dalam dubur untuk membersihkan usus. Para ulama salaf (terutama mazhab Hanafi dan Maliki) berpendapat bahwa huknah membatalkan puasa karena cairan tersebut masuk ke dalam rongga tubuh dan bisa mencapai lambung. Demikian pula dengan suntik, baik yang dilakukan di pembuluh darah maupun otot, dianggap sebagai cara memasukkan zat ke dalam tubuh yang bisa menghilangkan rasa lapar atau haus.
Pendapat ini dianut oleh beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Awad Bawazir, Syekh Muhammada Najib Al-Muti’i dan Syekh Salim Saiid Bukayir Baagitsan.
Pendapat kedua: Suntik tidak membatalkan puasa.
Pendapat ini didasarkan pada pemahaman bahwa yang membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui lubang-lubang alami yang terhubung dengan lambung. Sedangkan suntik tidak masuk melalui lubang-lubang tersebut, melainkan melalui kulit atau otot yang merupakan bagian luar tubuh. Selain itu, suntik juga tidak mengandung makanan atau minuman yang bisa menghilangkan rasa lapar atau haus.
Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Al-Baihani, Syekh Al-Qodhi Abdullah bin Awad Bukayir dan Syekh Abdurrahman Tajj Al-Azhari.
Pendapat ketiga: Suntik membatalkan puasa jika dilakukan di pembuluh darah, tetapi tidak jika dilakukan di otot.
Pendapat ini didasarkan pada perbedaan antara pembuluh darah dan otot. Pembuluh darah dianggap sebagai bagian dalam tubuh yang terhubung dengan lambung dan organ-organ lainnya. Sedangkan otot dianggap sebagai bagian luar tubuh yang tidak terhubung dengan lambung. Oleh karena itu, suntik yang dilakukan di pembuluh
darah akan membatalkan puasa karena zat yang disuntikkan bisa mencapai lambung dan menghilangkan rasa lapar atau haus. Sedangkan suntik yang dilakukan di otot tidak membatalkan puasa karena zat yang disuntikkan tidak mencapai lambung dan tidak menghilangkan rasa lapar atau haus.
Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama kontemporer, seperti Al-Allammah al-Habib Abdullah bin Mahfudz Al-Hadad dalam Kitab Fatawa Ramadhan.
Pendapat keempat: Suntik makruh (dibenci) saat puasa, tetapi tidak membatalkan puasa.
Pendapat ini didasarkan pada sikap berhati-hati dan menjauhi perselisihan pendapat di antara para ulama. Meskipun suntik tidak membatalkan puasa secara pasti, tetapi ada kemungkinan bahwa zat yang disuntikkan bisa mencapai lambung dan menghilangkan rasa lapar atau haus. Oleh karena itu, lebih baik menghindari suntik saat puasa kecuali jika ada kebutuhan mendesak atau darurat.
Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama kontemporer, seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Kesimpulan
Dari berbagai pendapat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum suntik saat puasa adalah makruh atau mubah (boleh), tergantung pada jenis dan tujuan suntikannya. Suntik yang dilakukan untuk pengobatan atau pencegahan penyakit tidak membatalkan puasa, kecuali jika zat yang disuntikkan masuk ke dalam lambung dan menghilangkan rasa lapar atau haus. Suntik yang dilakukan untuk pengaturan kelahiran juga tidak membatalkan puasa, asalkan tidak mengandung hormon yang bisa mempengaruhi metabolisme tubuh.
Namun, sebaiknya suntik dilakukan di luar waktu puasa jika memungkinkan, atau setelah berbuka puasa jika mendesak. Hal ini untuk menjaga kesucian dan kesempurnaan ibadah puasa kita, serta untuk menghindari perselisihan pendapat di antara para ulama.