Ikhtilaf (perbedaan pendapat) adalah suatu fenomena yang tak terhindarkan dalam perjalanan sejarah Islam. Seiring berkembangnya zaman dan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, perbedaan pendapat muncul dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hal aqidah, ibadah, siyasah, maupun muamalah. Hal ini dapat dipahami sebagai bagian dari realitas kehidupan umat manusia yang tak mungkin sepenuhnya seragam, bahkan dalam urusan agama. Oleh karena itu, untuk memahami lebih dalam mengenai ikhtilaf, kita harus melihat sejarahnya, sebab-sebab kemunculannya, serta bagaimana cara umat Islam seharusnya menyikapinya.
1. Sejarah Ikhtilaf dalam Islam
Perbedaan pendapat dalam Islam bukanlah hal yang baru. Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, para sahabat pun sudah mengalami ikhtilaf, baik dalam memahami ajaran Islam maupun dalam menerapkan hukum-hukum tertentu. Sebuah kisah yang terkenal menggambarkan hal ini, yakni ketika Sultan Harun Ar-Rasyid ingin menggantungkan Kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik di Ka’bah dan memaksa umat Islam untuk mengikutinya. Imam Malik menolak permintaan tersebut, dengan alasan bahwa para sahabat Nabi Muhammad SAW sendiri memiliki perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang), apalagi setelah umat Islam tersebar ke berbagai penjuru dunia. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) adalah suatu hal yang sudah terjadi sejak zaman para sahabat dan merupakan bagian dari dinamika ilmu dan kehidupan umat Islam.
Imam Malik menanggapi permintaan Sultan Harun dengan bijak, mengingat bahwa khilafiyah sudah menjadi bagian dari realitas kehidupan umat Islam. Dengan berkembangnya wilayah kekuasaan Islam, perbedaan pendapat semakin meluas, bahkan muncul berbagai madzhab fiqh yang berbeda, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Masing-masing madzhab ini berkembang berdasarkan ijtihad dan pemahaman para ulama terhadap sumber-sumber hukum Islam yang utama, yakni Al-Qur’an dan Hadis.
2. Makna Ikhtilaf dalam Perspektif Islam
Secara bahasa, kata ikhtilaf berasal dari akar kata kh-l-f yang berarti perbedaan atau perselisihan. Dalam konteks agama Islam, ikhtilaf merujuk pada perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para ulama atau umat Islam dalam masalah-masalah fiqh, aqidah, dan bahkan dalam hal-hal yang lebih praktis seperti politik dan muamalah. Meskipun demikian, perbedaan pendapat dalam Islam tidak selalu bermakna perpecahan, melainkan merupakan bagian dari dinamika ilmu dan ijtihad yang terus berkembang seiring waktu.
Sebagai contoh, perbedaan pendapat bisa muncul dalam masalah fiqh yang bersifat furu’ (cabang), seperti masalah doa qunut dalam salat Subuh, atau masalah bacaan Basmalah dalam salat. Dalam hal ini, perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar, karena setiap madzhab memiliki dasar-dasar yang sah berdasarkan dalil-dalil yang mereka rujuk. Namun, perbedaan dalam masalah aqidah yang mendasar, seperti tauhid dan prinsip ketuhanan, tidak bisa dibenarkan karena merupakan pokok ajaran Islam yang sudah jelas dan tidak boleh diselisihi.
3. Sebab-sebab Kemunculan Ikhtilaf
Kemunculan ikhtilaf dalam Islam disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari sisi metodologi maupun kondisi sosial-politik umat Islam pada waktu itu. Berikut beberapa sebab utama kemunculan ikhtilaf:
a. Perbedaan dalam Pemahaman terhadap Sumber Hukum
Islam memiliki dua sumber hukum utama, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Namun, terkadang terdapat perbedaan dalam cara memahami dan menginterpretasikan kedua sumber ini. Misalnya, dalam hal tafsir (penafsiran Al-Qur’an) atau dalam memahami konteks hadis yang ada. Para ulama dari berbagai madzhab memiliki metode yang berbeda dalam memahami kedua sumber ini, sehingga dapat menghasilkan perbedaan pendapat.
b. Kondisi Sosial dan Politik yang Berbeda
Perbedaan kondisi sosial-politik juga turut mempengaruhi munculnya ikhtilaf. Ketika umat Islam tersebar di berbagai wilayah dengan latar belakang budaya dan tradisi yang berbeda, mereka menghadapi tantangan yang berbeda dalam mengaplikasikan ajaran agama. Hal ini menyebabkan ijtihad yang berbeda-beda, sehingga lahirlah beragam pendapat dan praktik.
c. Ijtihad yang Berbeda
Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dalam menggali hukum-hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Ijtihad ini seringkali melahirkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Masing-masing ulama berijtihad dengan menggunakan alat dan metode yang mereka yakini sebagai yang terbaik, yang kemudian menghasilkan pendapat yang beragam.
Sebagaimana contoh yang diberikan oleh Dr. Yusuf al-Qaradawi, ikhtilaf pun terjadi di kalangan Nabi dan Malaikat. Nabi Musa AS, misalnya, pernah berikhtilaf dengan saudaranya, Nabi Harun AS, ketika Bani Israil menyembah anak lembu buatan Samiri. Ini menunjukkan bahwa ikhtilaf bukanlah sesuatu yang aneh atau terlarang dalam Islam, tetapi bagian dari sunnatullah.
4. Jenis-jenis Ikhtilaf
Ikhtilaf dalam Islam dapat dibagi menjadi dua kategori utama:
a. Ikhtilaf yang Tidak Bisa Dibolehkan (Ikhtilaf dalam Aqidah dan Pokok Ajaran)
Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan adalah perbedaan yang terjadi dalam hal aqidah yang prinsip, seperti masalah tauhid dan konsep ketuhanan. Perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak dapat diterima karena merupakan pokok ajaran Islam yang jelas dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sebagai contoh, perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan sekte-sekte seperti Khawarij atau Rafidhah dalam masalah aqidah adalah bentuk ikhtilaf yang tidak dapat dibenarkan.
b. Ikhtilaf yang Diperbolehkan (Ikhtilaf dalam Furu’ dan Ijtihad)
Ikhtilaf yang dapat dibenarkan adalah perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang) atau masalah yang bersifat ijtihadi, seperti masalah fiqh, ibadah, dan muamalah. Dalam hal ini, perbedaan pendapat dapat diterima selama dilandasi oleh niat yang baik dan berdasarkan dalil yang sah. Misalnya, masalah bacaan Basmalah dalam salat atau masalah doa qunut dalam salat Subuh adalah contoh perbedaan yang diperbolehkan.
Rasulullah SAW sendiri mempersilakan umatnya untuk berijtihad, seperti yang tercatat dalam hadits mengenai Mu’adz bin Jabal yang ditugaskan untuk mengadili di Yaman. Rasulullah memuji Mu’adz karena ijtihadnya yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis, serta mengizinkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah yang tidak jelas. Hal ini menegaskan bahwa ikhtilaf dalam masalah furu’ adalah hal yang wajar dan tidak seharusnya dijadikan sumber perpecahan di kalangan umat Islam.
5. Ikhtilaf vs Iftiraq (Perpecahan)
Perlu dibedakan antara ikhtilaf dan iftiraq (perpecahan). Ikhtilaf adalah perbedaan yang terjadi dalam masalah-masalah yang memang terbuka untuk ijtihad, sementara iftiraq merujuk pada perpecahan yang terjadi dalam masalah pokok yang mendasar, seperti aqidah atau pokok-pokok syari’at yang sudah jelas. Iftiraq dapat dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran yang benar, sedangkan ikhtilaf merupakan bagian dari dinamika ijtihad yang sah.
Sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam, bid’ah yang mengarah pada iftiraq adalah bid’ah yang keluar dari Al-Qur’an dan Hadis yang shahih, atau yang bertentangan dengan ijma’ ulama dan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
6. Sikap Terhadap Ikhtilaf
Umat Islam seharusnya tidak menjadikan ikhtilaf sebagai sumber perpecahan. Sebaliknya, ikhtilaf harus dipandang sebagai rahmat dan kekayaan dalam syariat Islam. Perbedaan pendapat yang ada seharusnya dihargai, selama tidak menyentuh aqidah dan pokok ajaran Islam yang fundamental. Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk menjaga persatuan dan menghindari perpecahan, meskipun dalam masalah fiqh dan ijtihad terdapat perbedaan yang sah.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Ar-Rum: 22:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum: 22)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa perbedaan adalah bagian dari kebesaran Tuhan dan seharusnya diterima dengan sikap tawadhu’ dan saling menghargai.
Sumber: M.Yusuf Amin Nugroho, Fiqih Ikhtilaf NU dan Muhammadiyah