Menu Tutup

Imam Abu Hanifah: Biografi dan Kisah Teladan

Biografi Imam Abu Hanifah

Nu’man bin Tsabit bin Marzuban atau Abu Hanifah lahir di kota Kufah pada tahun 80 H/699 H dan wafat di kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Beliau tumbuh di dalam keluarga yang saleh dan kaya. Ayahnya, Tsabit merupakan seorang pedagang sutra yang masuk Islam masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.

Sejak kecil beliau sudah hafal al-Qur’an dan menghabiskan waktunya untuk terus-menerus mengulangi hafalan agar tidak lupa. Pada bulan Ramadan, Abu Hanifah bahkan bisa mengkhatamkan al-Qur’an berkali-kali.

Pada awalnya beliau menganggap bahwa belajar agama bukan tujuan utama karena sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berdagang di pasar. Namun, setelah bertemu dengan seorang ulama besar, al-Sya’bi beliau mulai serius dalam belajar agama. Al-Sya’bi mengatakan kepada Abu Hanifah, “Kamu harus memperdalam ilmu dan mengikuti halaqah para ulama karena kamu cerdas dan memiliki potensi yang sangat tinggi,” tutur al-Sya’bi.

Setelah itu, Imam Abu Hanifah pun mengikuti halaqah Hammad bin Abu Sulaiman. Beliau belajar selama 18 tahun kepada Hammad sampai guru beliau wafat pada 120 H.

Imam Abu Hanifah pernah pergi dari Kufah menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Madinah. Dalam perjalanan ini, beliau berguru kepada, Atha` bin Abi Rabah, ulama terbaik di kota Makkah dari generasi tabi’in. Jumlah total guru Imam Abu Hanifah adalah tak kurang dari 4000 orang guru. Di antaranya 7 orang dari sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in.

Imam Abu Hanifah dikenal dengan ulama yang terbuka. Beliau mau belajar dengan siapapun semisal dengan tokoh muktazilah dan syi’ah. Meskipun demikian, beliau tidak fanatik dengan pemikiran gurunya. Sa’id bin Abi ‘Arubah mengatakan, “Saya pernah menghadiri kajian Abu Hanifah dan dia memuji Utsman bin Affan. Saya tidak pernah sebelumnya mendengar orang memuji Utsman di Kufah”.

Sikap terbuka ini tertanam karena terbiasa hidup dengan kelompok yang berbeda. Abu Hanifah selalu berpesan kepada murid-muridnya agar selalu menjaga adab dan tutur kata ketika berhadapan dengan masyarakat, terutama orang yang berilmu. Pesan ini selalu disampaikan agar masyarakat bisa dekat dan tidak resah dengan pendapat yang disampaikan.

Imam Abu Hanifah tidak mau menerima bantuan pemerintah. Seluruh biaya hidupnya ditanggung sendiri dan diperoleh dari hasil usaha dagangannya. Hal yang berbeda dengan Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki yang biaya hidupnya ditanggung seluruhnya oleh baitul mal.

Abu Hanifah hidup dalam dua kekuasaan Umayyah selama 5 tahun dan 18 tahun dengan Abbasiyah. Saat Bani Umayyah atau pun Abbasiyah, Imam Abu Hanifah pernah ditawari jabatan hakim dan menolak tawaran tersebut. Hal tersebut membuatnya dipenjara dan dicambuk berkali-kali hingga akhirnya beliau keluar dari penjara dan wafat.

Kisah Imam Abu Hanifah Yang Perlu Diteladani

Saling memuji dan berbaik sangka

Ketika Imam Malik berkata, “Saya merasa tidak punya apa-apa ketika bersama Abu Hanifah, sesungguhnya ia benar-benar ahli fikih wahai orang Mesir, wahai al-Laits”

Kemudian al-Laits pun menceritakan ucapan pujian Imam Malik kepada Imam Abu Hanifah. Lalu beliau menjawab, “Bagus sekali ucapan Imam Malik terhadap anda”. Dan beliau menambahkan, “Demi Allah, saya belum pernah melihat orang yang lebih cepat memberikan jawaban yang benar dan zuhud serta sempurna melebihi Imam Malik”.

Bersikap terbuka dan mau menerima kritikan

Imam Abu Hanifah merupakan seorang yang tidak menganggap bahwa pendapat selain dirinya adalah salah. Bahkan beliau sering mengatakan:

“Apa yang aku sampaikan ini adalah sekedar pendapat. Ini yang dapat aku usahakan semampuku. Jika ada pendapat yang lebih baik dari ini, ia lebih patut diambil.”

Beliau juga pernah ditanya, “Tuan Abu Hanifah, apakah fatwa yang anda sampaikan telah sungguh-sungguh benar, tak ada keraguan lagi?”. Beliau pun menjawab:

“Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali keliru sama sekali”

Kedua pernyataan Imam Abu Hanifah ini membuktikan bahwa beliau merupakan orang yang terbuka dan toleransi. Beliau pun bersedia mencabut atau meralat pendapatnya jika keliru dan beliau menyampaikan terima kasih kepada yang mengkoreksinya. Beliau juga tak merasa harga dirinya jatuh karena mengakui hal itu.

Baca Juga: